Santri dan Nasionalisme Islam

Jum'at, 21 Oktober 2022 - 15:51 WIB
Kedua, pembentukan negara nasional berdasarkan dasar negara nasional yang ditafsiri secara islami. Hal ini terjadi dalam peran para tokoh NU di momen pendirian negara pada sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 29 Mei-18 Agustus 1945.

KH Wahid Hasyim dan KH Masykur terlibat dalam proses ini. Pada fase ini, Kiai Wahid menjadi anggota BPUPK, Panitia Delapan, Panitia Sembilan, Panitia Perancang Hukum Dasar dan anggota PPKI.

Peran sentral Kiai Wahid Hasyim terdapat pada proses menuju finalisasi Pancasila pada 18 Agustus 1945 pagi hari sebelum sidang PPKI. Pada hari itu, Kiai Wahid tampil memaknai sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai cerminan tauhid. Pemikiran Kiai Wahid tersebut disetujui para tokoh Islam lain, yakni Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo dan Teuku Muhammad Hasan.

Berdasarkan persetujuan para tokoh Islam inilah, tersusun rumusan final Pancasila dengan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama. Berdasarkan pemikiran Kiai Wahid ini, maka bagi umat Islam, Pancasila adalah dasar negara kebangsaan yang memuat doktrin utama Islam, yakni tauhid.

Ketiga, pembelaan negara dan pertahanan kemerdekaan dari serangan NICA melalui Resolusi Jihad 22 Oktober 1945. Ini berarti, Resolusi Jihad menjadi kesinambungan dari pembentukan nasionalisme dan negara nasional yang diperjuangkan NU atas nama Islam. Keempat, pengabsahan pemerintah Indonesia atas nama syariah Islam. Hal ini dilakukan NU dalam Munas Alim Ulama di Cipanas, Bogor, tahun 1954.

Melalui Munas tersebut, NU mendaulat pemerintah Indonesia sebagai pemimpin darurat yang memiliki kewenangan dalam menerapkan syariah (waly al-amri al-dlaruri bi al-syaukah). Pemerintah RI disebut darurat di tengah ketiadaan kekhalifahan dunia Islam. Meskipun darurat, namun ia memiliki kewenangan untuk menerapkan syariah Islam.

Kelima, penegasan keselarasan Islam dan Pancasila dalam Munas Alim Ulama NU di Situbondo, tahun 1983. Dalam Munas tersebut, NU menegaskan bahwa sila Ketuhanan YME merupakan cerminan tauhid, sedangkan sila-sila di bawahnya mencerminkan tujuan utama syariah Islam (maqashid al-syari’ah). Menurut Gus Dur, fase kelima ini merupakan titik puncak nasionalisme Islam yang dibangun oleh NU (Wahid, 1989: 9-15).

Berdasarkan uraian ini, maka Hari Santri Nasional menegaskan keselarasan Islam dan sendi-sendi kebangsaan kita, baik dengan bangsa, negara nasional, dasar negara Pancasila, serta pemerintah Republik Indonesia. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk mengafirkan negara ini, karena Indonesia didirikan melalui upaya gotong-royong seluruh elemen bangsa, termasuk oleh umat Islam. Selamat Hari Santri Nasional!
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
(bmm)
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More