Santri dan Nasionalisme Islam

Jum'at, 21 Oktober 2022 - 15:51 WIB
Pendaulatan ini menjadi pertanyaan para muktamirin saat itu, yakni, “Apakah status keagamaan wilayah Hindia-Belanda (Nusantara) yang diperintah oleh Pemerintah Kolonial Belanda? Apakah wilayah ini wajib dibela dari penjajahan?” Menjawab pertanyaan forum tersebut, maka Muktamar ke-11 NU menyatakan bahwa wilayah Nusantara ialah wilayah Islam (dar al-Islam) sehingga wajib dibela.

Mengapa Nusantara dihukumi sebagai wilayah Islam? Karena dua alasan. Pertama, umat Muslim bebas melaksanakan ibadah dan syariah meskipun dalam pemerintahan kolonial Belanda. Kedua, zaman dahulu Nusantara pernah dikuasai oleh kerajaan-kerajaan Islam, dimulai dari Samudera Pasai, Perlak, Gowa, Demak, hingga Mataram Islam.

Sehingga meskipun saat itu Nusantara dikuasai kolonial Belanda yang non-Islam, namun status keagamaan wilayah tersebut tetap Islam. Argumentasi ini didasarkan pada kitab fikih, Bughyatul Mustarsyidin karya Abdur Rahman al-Masyhur.

Pendaulatan secara fikih atas Nusantara sebagai wilayah Islam, dibedakan oleh para kiai dengan konsep wilayah perang (dar al-harb). Wilayah perang artinya, wilayah non-Islam yang menentang syariah Islam sehingga berhak diperangi. Ini artinya, Nusantara sejak awal bukan dar al-harb, tetapi justru merupakan dar al-Islam.

Dalam kaitan ini, NU membedakan dar al-Islam dengan daulah Islamiyyah (negara Islam). Oleh karena itu, meskipun Nusantara merupakan wilayah Islam, namun ia bukan negara Islam.

Keputusan Muktamar ke-11 NU 1936 inilah yang menjadi landasan fiqhiyyah bagi Resolusi Jihad tahun 1945. Artinya, sejak tahun 1936, para kiai telah mewajibkan pembelaan terhadap wilayah Nusantara dari penjajahan. Maka pembelaan ini dilanjutkan hingga 1945 dalam rangka mempertahankan kemerdekaan.

Nasionalisme Islam

KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) melakukan analisa terhadap kesejarahan NU dalam berbangsa dan bernegara tersebut. Dalam hal ini, Resolusi Jihad oleh kakeknya, Mbah Hasyim, Gus Dur letakkan sebagai bagian dari proses panjang nasionalisme Islam yang telah dibentuk oleh NU. Menurut Gus Dur, nasionalisme Islam tersebut dikembangkan dalam beberapa fase.

Pertama, pembentukan kebangsaan Islam (Islamic nationhood). Pada fase ini, NU telah membentuk kebangsaan berdasarkan syariah Islam. Kebangsaan yang dimaksud ialah keterikatan pada satu wilayah. Keabsahan atas keterikatan wilayah ini didasarkan atas pertimbangan keislaman. Inilah fase pertama yang dilahirkan oleh Muktamar ke-11 NU tahun 1936 tersebut.

Dalam kaitan ini, Gus Dur menyatakan bahwa tradisi kebangsaan telah ada dalam pemikiran Islam, sejak sosiolog Muslim, Ibnu Khaldun, mencetuskan gagasan tentang solidaritas sosial berdasarkan wilayah dan agama (‘ashabiyyah).
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More