R20 dan Ujian Prasangka Baik Moderatisme
Jum'at, 14 Oktober 2022 - 12:26 WIB
Saiful Maarif
Nahdliyin dan Asesor SDM Kemenag
BERIRINGAN dengan Forum KTT G-20 pada November 2022, Nahdlatul Ulama (NU) akan menyelenggarakan forum Religion of Twenty (R20) dengan dukungan dari berbagai pihak, di antaranya Keuskupan Vatikan, Liga Muslim Dunia (Rabithah Ma'ahid Islami/RMI), lembaga yang mendapat sokongan penuh pemerintah Saudi Arabia, dan berbagai pihak lainnya.
Direncanakan dihadiri berbagai pemuka agama dari seluruh dunia, R20 dimaksudkan sebagai sarana dialog antargama secara global dengan membuka sekat-sekat, kecurigaan, dan prasangka relasi dan interaksi kehidupan beragama. Tujuannya adalah untuk untuk bersama-sama introspeksi dan mencari solusi atas problem keagamaan yang selama ini terjadi.
Baca Juga: koran-sindo.com
Forum R20 didesain sedemikian rupa agar pemimpin komunitas-komunitas agama berdiskusi secara terbuka, jujur, terus terang, dan langsung mengarah kepada masalah pokok tanpa adanya pengingkaran. Pola dan tujuan ini tentu sangat mulia karena kesediaan untuk mengakui adanya masalah bisa jadi adalah sebagian dari bangunan solusi itu sendiri.
Namun demikian, agenda dan rencana NU untuk menjadikan nilai moderasi sebagai jalan tengah terhadap problem relasi agama dengan peradaban dan negara–bangsa akan menemui beberapa tantangan. Pelibatan tokoh bermasalah dalam problem toleransi sebagai undangan dapat mengundang tanda tanya dan tantangan tersendiri.
Selepas forum 7th Congress of Leaders of World and Traditional Religions di Kazakhstan pada September 2022, Azza Karam, Sekretaris Jenderal Religions for Peace International sekaligus Anggota Dewan Penasehat Tingkat Tinggi untuk Multilaterisme yang Efektif menyatakan kegamangannya mengenai problem toleransi keberagaman ini.
"Mengalami perbedaan", dalam pandangan Karam, saat ini harus berdampingan dengan dan menjadi "sinonim" di antara sikap ultra-nasionalis, fanatisme agama, dan kepentingan politik yang sengaja memelihara perpecahan untuk mengamankan legitimasi. Atas kondisi demikian, Azzam Karam menyebutnya sebagai ancaman yang tidak kalah menyeramkan dengan perubahan iklim dan kondisi pandemik.
Nahdliyin dan Asesor SDM Kemenag
BERIRINGAN dengan Forum KTT G-20 pada November 2022, Nahdlatul Ulama (NU) akan menyelenggarakan forum Religion of Twenty (R20) dengan dukungan dari berbagai pihak, di antaranya Keuskupan Vatikan, Liga Muslim Dunia (Rabithah Ma'ahid Islami/RMI), lembaga yang mendapat sokongan penuh pemerintah Saudi Arabia, dan berbagai pihak lainnya.
Direncanakan dihadiri berbagai pemuka agama dari seluruh dunia, R20 dimaksudkan sebagai sarana dialog antargama secara global dengan membuka sekat-sekat, kecurigaan, dan prasangka relasi dan interaksi kehidupan beragama. Tujuannya adalah untuk untuk bersama-sama introspeksi dan mencari solusi atas problem keagamaan yang selama ini terjadi.
Baca Juga: koran-sindo.com
Forum R20 didesain sedemikian rupa agar pemimpin komunitas-komunitas agama berdiskusi secara terbuka, jujur, terus terang, dan langsung mengarah kepada masalah pokok tanpa adanya pengingkaran. Pola dan tujuan ini tentu sangat mulia karena kesediaan untuk mengakui adanya masalah bisa jadi adalah sebagian dari bangunan solusi itu sendiri.
Namun demikian, agenda dan rencana NU untuk menjadikan nilai moderasi sebagai jalan tengah terhadap problem relasi agama dengan peradaban dan negara–bangsa akan menemui beberapa tantangan. Pelibatan tokoh bermasalah dalam problem toleransi sebagai undangan dapat mengundang tanda tanya dan tantangan tersendiri.
Selepas forum 7th Congress of Leaders of World and Traditional Religions di Kazakhstan pada September 2022, Azza Karam, Sekretaris Jenderal Religions for Peace International sekaligus Anggota Dewan Penasehat Tingkat Tinggi untuk Multilaterisme yang Efektif menyatakan kegamangannya mengenai problem toleransi keberagaman ini.
"Mengalami perbedaan", dalam pandangan Karam, saat ini harus berdampingan dengan dan menjadi "sinonim" di antara sikap ultra-nasionalis, fanatisme agama, dan kepentingan politik yang sengaja memelihara perpecahan untuk mengamankan legitimasi. Atas kondisi demikian, Azzam Karam menyebutnya sebagai ancaman yang tidak kalah menyeramkan dengan perubahan iklim dan kondisi pandemik.
tulis komentar anda