Mencermati Tren Paylater
Rabu, 28 September 2022 - 16:05 WIB
Dampak negatif lain jika industri pembiayaan paylater tidak disertai dengan aturan yang memadai adalah kecenderungan akan banyak memicu pelanggaran hak konsumen. Kondisi tersebut berkaca dari pengalaman pembiayaan berbasis fintech yang pada waktu itu beroperasi lebih dahulu sebelum kemudian diatur dengan POJK Nomor 77/2016.
Bagian penting yang perlu diatur di balik hadirnya industri pembiayaan ini adalah kehati-hatian (aspek prudential) penyelenggara tatkala akan memberikan pinjaman kepada calon pelanggan. Hal ini penting untuk menghindari bad debt yang berakhir pada tingginya nonperforming loan (NPL), yakni kondisi di mana peminjam tidak dapat membayar kewajiban angsuran yang sudah dijanjikan di awal. Sikap kehati-hatian sekaligus untuk melindungi masyarakat dari jeratan utang akibat gaya hidup konsumtif.
Aspek penting lain yang perlu diatur adalah standardisasi bunga paylater yang saat ini berkisar antara 1-4%, namun jika Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tidak mengatur maka bunga dan denda akan sangat berpotensi meningkat.
Demikian juga cara penghitungan bunga dan denda yang adil dan tidak memberatkan bagi konsumen maupun bagi platform penyelenggara pembiayaan berbasis paylater itu sendiri.
Cara penagihan jika terjadi kegagalan bayar pada konsumen juga merupakan komponen yang harus diatur dalam aturan (setidaknya setingkat POJK) mengingat sengketa konsumen terbesar adalah terkait bunga, denda dan cara penagihan. Hal ini lagi-lagi berkaca dari industri pembiayaan berbasis fintech.
Untuk menjamin hak-hak konsumen dalam aturan yang nantinya perlu dibuat maka ketentuan mengenai mekanisme penyelesaian sengketa yang adil harus diatur secara spesifik.
Ketentuan memadai yang menjadi dasar operasional multifinance yang menjalankan industri paylater itu sendiri mendesak untuk segera dibuat mengingat nilai transaksi e-commerce di Indonesia pada 2021 telah mencapai di atas USD530 juta dan diprediksi akan mencapai lebih dari USD2 miliar pada 2022.
Pada 2025 nilai transaksi pembayaran e-commerce diprediksi akan mencapai di atas USD5 miliar sehingga kondisi dinilai akan sangat rawan jika tidak dibarengi dengan aturan operasional yang memadai, termasuk aturan perlindungan data pribadi. Ancaman kerawanan ini perlu ditegaskan mengingat hingga saat ini persoalan keamanan data pribadi masih menjadi momok pada industri e-commerce.
Baca Juga: koran-sindo.com
Bagian penting yang perlu diatur di balik hadirnya industri pembiayaan ini adalah kehati-hatian (aspek prudential) penyelenggara tatkala akan memberikan pinjaman kepada calon pelanggan. Hal ini penting untuk menghindari bad debt yang berakhir pada tingginya nonperforming loan (NPL), yakni kondisi di mana peminjam tidak dapat membayar kewajiban angsuran yang sudah dijanjikan di awal. Sikap kehati-hatian sekaligus untuk melindungi masyarakat dari jeratan utang akibat gaya hidup konsumtif.
Aspek penting lain yang perlu diatur adalah standardisasi bunga paylater yang saat ini berkisar antara 1-4%, namun jika Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tidak mengatur maka bunga dan denda akan sangat berpotensi meningkat.
Demikian juga cara penghitungan bunga dan denda yang adil dan tidak memberatkan bagi konsumen maupun bagi platform penyelenggara pembiayaan berbasis paylater itu sendiri.
Cara penagihan jika terjadi kegagalan bayar pada konsumen juga merupakan komponen yang harus diatur dalam aturan (setidaknya setingkat POJK) mengingat sengketa konsumen terbesar adalah terkait bunga, denda dan cara penagihan. Hal ini lagi-lagi berkaca dari industri pembiayaan berbasis fintech.
Untuk menjamin hak-hak konsumen dalam aturan yang nantinya perlu dibuat maka ketentuan mengenai mekanisme penyelesaian sengketa yang adil harus diatur secara spesifik.
Ketentuan memadai yang menjadi dasar operasional multifinance yang menjalankan industri paylater itu sendiri mendesak untuk segera dibuat mengingat nilai transaksi e-commerce di Indonesia pada 2021 telah mencapai di atas USD530 juta dan diprediksi akan mencapai lebih dari USD2 miliar pada 2022.
Pada 2025 nilai transaksi pembayaran e-commerce diprediksi akan mencapai di atas USD5 miliar sehingga kondisi dinilai akan sangat rawan jika tidak dibarengi dengan aturan operasional yang memadai, termasuk aturan perlindungan data pribadi. Ancaman kerawanan ini perlu ditegaskan mengingat hingga saat ini persoalan keamanan data pribadi masih menjadi momok pada industri e-commerce.
Baca Juga: koran-sindo.com
(bmm)
tulis komentar anda