Kado Pahit Hari Tani
Sabtu, 24 September 2022 - 10:40 WIB
GTRA mengadakan rakor untuk melihat potensi reforma agraria (RA) dan membahas aduan masyarakat. Hasil putaran GTRA provinsi dan kabupaten melahirkan surat usulan lokasi-lokasi untuk ditetapkan sebagai tanah obyek RA oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang. Ali-alih usulan ditetapkan, dibahas pun tidak (Nurdin, 2022).
Janji-janji membagikan 9 juta hektare (ha) program RA jauh dari realisasi. Sebaliknya, justru terjadi selebrasi program RA semu dalam dua bentuk: perhutanan sosial dan sertifikasi tanah. RA yang dimaksudkan untuk membalik pola penguasaan dan kepemilikan lahan yang timpang tak berubah.
Sistem sosial yang hendak dikoreksi lewat UUPA tak tersentuh. Didera berbagai kebijakan destruktif, kini sektor pertanian jauh dari seksi. Bagi tenaga terdidik, sektor pertanian tidak menarik.
Maka, terjadilah gerontokrasi tenaga kerja pertanian. Sempitnya kesempatan kerja di perdesaan dan pertanian membuat tenaga kerja muda mengais rezeki ke kota jadi buruh. Sebagian lagi mengadu nasib sebagai buruh migran dengan risiko nyawa.
Terkait peluang kerja di perdesaan, sebetulnya bisa ditempuh dengan industrialisasi pertanian dan pembangunan perdesaan. Namun, pemerintah gagal membangun keduanya.
Indikatornya bisa dilihat dari tingkat kemiskinan. Per Maret 2009, jumlah penduduk miskin perdesaan mencapai 20,6 juta orang atau sekitar 63,4% dari total penduduk miskin. Per Maret 2022, angka kemiskinan di perdesaan mencapai 14,34 juta orang atau 54,8% dari total warga miskin.
Ini fakta getir: pembangunan meminggirkan warga perdesaan. Data ini menunjukkan, puluhan tahun pembangunan ekonomi ternyata kemiskinan tidak pernah beranjak jauh dari desa. Pelbagai laporan peningkatan produksi pangan tidak membuat petani makin sejahtera.
Meningkatnya kemiskinan di perdesaan berhubungan dengan penurunan produktivitas di sektor pertanian, baik produktivitas lahan maupun tenaga kerja. Sejak otonomi daerah pada 2001, produktivitas lahan pertanian kini hanya 2,2 ton pangan ekuivalen per ha. Padahal, dekade 1980-an produktivitas lahan 5,6 ton per ha.
Produktivitas tenaga kerja pertanian idem ditto: menurun dari 4,1 ton pangan per tenaga kerja tahun 1980-an kini tinggal 2 ton pangan ekuivalen per tenaga kerja (Arifin, 2010). Hal ini terjadi karena lahan kian letih dan rusak, sarana irigasi dan infrastruktur perdesaan merosot, riset dan penyuluhan tak terurus.
Data-data yang ada menunjukkan petani saat ini justru lebih miskin ketimbang 60-70 tahun lalu. Tahun 1960-an satu kuintal beras sama nilainya dengan 10 gram emas (Pakpahan, 2007). Saat itu para petani mampu mengirimkan anak-anaknya sekolah ke perguruan tinggi.
Janji-janji membagikan 9 juta hektare (ha) program RA jauh dari realisasi. Sebaliknya, justru terjadi selebrasi program RA semu dalam dua bentuk: perhutanan sosial dan sertifikasi tanah. RA yang dimaksudkan untuk membalik pola penguasaan dan kepemilikan lahan yang timpang tak berubah.
Sistem sosial yang hendak dikoreksi lewat UUPA tak tersentuh. Didera berbagai kebijakan destruktif, kini sektor pertanian jauh dari seksi. Bagi tenaga terdidik, sektor pertanian tidak menarik.
Maka, terjadilah gerontokrasi tenaga kerja pertanian. Sempitnya kesempatan kerja di perdesaan dan pertanian membuat tenaga kerja muda mengais rezeki ke kota jadi buruh. Sebagian lagi mengadu nasib sebagai buruh migran dengan risiko nyawa.
Terkait peluang kerja di perdesaan, sebetulnya bisa ditempuh dengan industrialisasi pertanian dan pembangunan perdesaan. Namun, pemerintah gagal membangun keduanya.
Indikatornya bisa dilihat dari tingkat kemiskinan. Per Maret 2009, jumlah penduduk miskin perdesaan mencapai 20,6 juta orang atau sekitar 63,4% dari total penduduk miskin. Per Maret 2022, angka kemiskinan di perdesaan mencapai 14,34 juta orang atau 54,8% dari total warga miskin.
Ini fakta getir: pembangunan meminggirkan warga perdesaan. Data ini menunjukkan, puluhan tahun pembangunan ekonomi ternyata kemiskinan tidak pernah beranjak jauh dari desa. Pelbagai laporan peningkatan produksi pangan tidak membuat petani makin sejahtera.
Meningkatnya kemiskinan di perdesaan berhubungan dengan penurunan produktivitas di sektor pertanian, baik produktivitas lahan maupun tenaga kerja. Sejak otonomi daerah pada 2001, produktivitas lahan pertanian kini hanya 2,2 ton pangan ekuivalen per ha. Padahal, dekade 1980-an produktivitas lahan 5,6 ton per ha.
Produktivitas tenaga kerja pertanian idem ditto: menurun dari 4,1 ton pangan per tenaga kerja tahun 1980-an kini tinggal 2 ton pangan ekuivalen per tenaga kerja (Arifin, 2010). Hal ini terjadi karena lahan kian letih dan rusak, sarana irigasi dan infrastruktur perdesaan merosot, riset dan penyuluhan tak terurus.
Data-data yang ada menunjukkan petani saat ini justru lebih miskin ketimbang 60-70 tahun lalu. Tahun 1960-an satu kuintal beras sama nilainya dengan 10 gram emas (Pakpahan, 2007). Saat itu para petani mampu mengirimkan anak-anaknya sekolah ke perguruan tinggi.
tulis komentar anda