Lonjakan Inflasi Global dan Normalisasi Kebijakan
Kamis, 15 September 2022 - 12:37 WIB
Normalisasi Kebijakan di Negara Berkembang
Di negara berkembang, agresivitas kenaikan suku bunga acuan tak kalah serunya dengan di negara maju. Terbaru, Komite Kebijakan Moneter (MPC) Bank Negara Malaysia (BNM) menaikkan lagi suku bunga overnight sebesar 25 bps menjadi 2,50%. Menurut BNM, ekonomi global terus berkembang meski dengan kecepatan lebih lambat, terbebani oleh meningkatnya tekanan biaya, kondisi keuangan global yang lebih ketat, dan langkah pembatasan yang ketat di Tiongkok.
Namun, pertumbuhan global terus didukung oleh perbaikan kondisi pasar tenaga kerja, dan pembukaan kembali sebagian besar ekonomi dan perbatasan internasional. Tekanan inflasi tetap tinggi, karena kenaikan harga komoditas dan pasar tenaga kerja yang ketat, meskipun kondisi rantai pasokan global terus mereda.
Akibatnya, menurut BNM, bank sentral diperkirakan akan terus menyesuaikan pengaturan kebijakan moneter mereka, beberapa dengan kecepatan yang lebih cepat, untuk mengurangi tekanan inflasi. Sementara penyesuaian suku bunga acuan yang agresif oleh bank sentral AS, The Fed, telah berkontribusi pada kondisi dolar AS yang kuat. Hal itu mengakibatkan volatilitas yang lebih tinggi di pasar keuangan, mempengaruhi mata uang utama dunia dan pasar berkembang lainnya, termasuk ringgit Malaysia.
Di Indonesia, penyesuaian stance kebijakan pun dilakukan, ketika Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 22-23 Agustus 2022 lalu memutuskan menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 bps menjadi 3,75%, suku bunga Deposit Facility sebesar 25 bps menjadi 3,00%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 25 bps menjadi 4,50%.
Keputusan ini sebagai langkah pre-emptive dan forward looking untuk memitigasi risiko peningkatan inflasi inti dan ekspektasi inflasi ke depan akibat penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dan nonsubsidi dan inflasi volatile food, serta memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah agar sejalan dengan nilai fundamentalnya karena masih tingginya ketidakpastian pasar keuangan global. Dengan kebijakan tersebut, stabilitas nilai tukar rupiah tetap terjaga.
Tekanan inflasi meningkat terutama karena tingginya harga komoditas pangan dan energi global. Inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) Juli 2022 tercatat 4,94% (yoy), lebih tinggi dibandingkan inflasi bulan sebelumnya yang 4,35% (yoy). Sementara inflasi inti masih relatif rendah 2,86% (yoy) didukung oleh konsistensi kebijakan BI dalam menjaga ekspektasi inflasi.
Berbagai perkembangan terkini terkait penyesuaian harga BBM bersubsidi dan nonsubsidi diperkirakan dapat mendorong inflasi pada 2022 dan 2023 berisiko melebihi batas atas sasaran 3,0±1% dan karenanya diperlukan sinergi kebijakan yang lebih kuat antara Pemerintah Pusat dan Daerah dengan BI untuk langkah-langkah pengendaliannya. Jadi, perubahan stance atau haluankebijakan memang harus dilakukan untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan yang terjadi ke depannya.
Baca Juga: koran-sindo.com
Di negara berkembang, agresivitas kenaikan suku bunga acuan tak kalah serunya dengan di negara maju. Terbaru, Komite Kebijakan Moneter (MPC) Bank Negara Malaysia (BNM) menaikkan lagi suku bunga overnight sebesar 25 bps menjadi 2,50%. Menurut BNM, ekonomi global terus berkembang meski dengan kecepatan lebih lambat, terbebani oleh meningkatnya tekanan biaya, kondisi keuangan global yang lebih ketat, dan langkah pembatasan yang ketat di Tiongkok.
Namun, pertumbuhan global terus didukung oleh perbaikan kondisi pasar tenaga kerja, dan pembukaan kembali sebagian besar ekonomi dan perbatasan internasional. Tekanan inflasi tetap tinggi, karena kenaikan harga komoditas dan pasar tenaga kerja yang ketat, meskipun kondisi rantai pasokan global terus mereda.
Akibatnya, menurut BNM, bank sentral diperkirakan akan terus menyesuaikan pengaturan kebijakan moneter mereka, beberapa dengan kecepatan yang lebih cepat, untuk mengurangi tekanan inflasi. Sementara penyesuaian suku bunga acuan yang agresif oleh bank sentral AS, The Fed, telah berkontribusi pada kondisi dolar AS yang kuat. Hal itu mengakibatkan volatilitas yang lebih tinggi di pasar keuangan, mempengaruhi mata uang utama dunia dan pasar berkembang lainnya, termasuk ringgit Malaysia.
Di Indonesia, penyesuaian stance kebijakan pun dilakukan, ketika Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 22-23 Agustus 2022 lalu memutuskan menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 bps menjadi 3,75%, suku bunga Deposit Facility sebesar 25 bps menjadi 3,00%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 25 bps menjadi 4,50%.
Keputusan ini sebagai langkah pre-emptive dan forward looking untuk memitigasi risiko peningkatan inflasi inti dan ekspektasi inflasi ke depan akibat penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dan nonsubsidi dan inflasi volatile food, serta memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah agar sejalan dengan nilai fundamentalnya karena masih tingginya ketidakpastian pasar keuangan global. Dengan kebijakan tersebut, stabilitas nilai tukar rupiah tetap terjaga.
Tekanan inflasi meningkat terutama karena tingginya harga komoditas pangan dan energi global. Inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) Juli 2022 tercatat 4,94% (yoy), lebih tinggi dibandingkan inflasi bulan sebelumnya yang 4,35% (yoy). Sementara inflasi inti masih relatif rendah 2,86% (yoy) didukung oleh konsistensi kebijakan BI dalam menjaga ekspektasi inflasi.
Berbagai perkembangan terkini terkait penyesuaian harga BBM bersubsidi dan nonsubsidi diperkirakan dapat mendorong inflasi pada 2022 dan 2023 berisiko melebihi batas atas sasaran 3,0±1% dan karenanya diperlukan sinergi kebijakan yang lebih kuat antara Pemerintah Pusat dan Daerah dengan BI untuk langkah-langkah pengendaliannya. Jadi, perubahan stance atau haluankebijakan memang harus dilakukan untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan yang terjadi ke depannya.
Baca Juga: koran-sindo.com
(bmm)
tulis komentar anda