Lonjakan Inflasi Global dan Normalisasi Kebijakan

Kamis, 15 September 2022 - 12:37 WIB
Pada laporan Global Economic Outlook edisi Juli 2022 oleh Dana Moneter Internasional (IMF), inflasi diproyeksikan mencapai 6,6% tahun ini di negara maju dan 9,5% di pasar negara berkembang — yang merupakan revisi ke atas masing-masing 0,9% dan 0,8% dari perkiraan April. Solusinya, bank-bank sentral akan menaikkan suku bunga acuan untuk melandaikan inflasi, dengan ekonomi global tumbuh hanya 2,9% dan pada gilirannya memperlambat kenaikan harga di seluruh dunia.

Sebuah survei yang dilakukan tak lama setelah invasi Rusia ke Ukraina menemukan bahwa inflasi menjadi perhatian nomor satu sejumlah bank sentral di dunia, diikuti oleh geopolitik. Invasi Rusia ke Ukraina dan dampak pandemi yang berkelanjutan telah membuat negara-negara di seluruh dunia tertatih-tatih, dimana rangkaian krisis tanpa henti telah memukul Eropa paling keras, menyebabkan lonjakan harga energi paling tajam, beberapa tingkat inflasi tertinggi dan risiko resesi terbesar.

Lebih dari 75% bank sentral yang disurvei oleh Global Public Investor edisi 2022 percaya inflasi akan terus meningkat atau lebih fluktuatif untuk jangka waktu yang lama. Hanya 20% yang berpikir inflasi akan bersifat sementara. Semua itu bersumbu pada dampak dari perang yang mengancam benua itu dengan apa yang ditakuti sebagian orang bisa menjadi krisis ekonomi dan keuangan yang paling menantang dalam beberapa dekade.

Bank sentral AS, The Fed, sudah terlebih dulu agresif menaikkan suku bunga acuan sebesar 225 basis poin (bps) dari Maret hingga Juli lalu. Peluang The Fed melanjutkan kenaikan masih terbuka di bulan-bulan berikutnya, meskipun besaran poin persentasenya berkisar 25-50 bps untuk mencapai target inflasi 2%. Langkah The Fed efektif melandaikan inflasi, dari 9,1% (Juni) menjadi 8,5% (Juli).

Pertumbuhan ekonomi di seluruh dunia melambat, namun perlambatan di Eropa dan lebih spesifik Inggris lebih dalam karena didorong oleh penurunan yang lebih mendasar dimana pendapatan riil dan standar hidup turun. Pada saat yang sama, dampak parah dari krisis energi yang mendorong laju inflasi telah menurunkan prospek pertumbuhan ekonomi dunia yang sangat gelap.

Itulah pernyataan Christine Lagarde, Presiden Bank Sentral Eropa (ECB). Betapa hebatnya tantangan ekonomi Uni Eropa direspon oleh ECB, yang mengawasi kebijakan ekonomi 19 negara yang menggunakan euro, dengan mengambil langkah agresif untuk memerangi inflasi, yakni menaikkan suku bunga utama terbesar yang pernah ada sebesar 75 basis poin (bps) pada Kamis lalu (8/9/2022).

Langkah ini menjadi bukti bahwa ECB memenuhi janjinya untuk mengambil langkah besar dalam memerangi inflasi. Setelah kenaikan suku bunga utama, maka suku bunga pada operasi refinancing utama dan suku bunga pada fasilitas pinjaman marjinal dan simpanan juga akan naik masing-masing menjadi 1,25%, 1,5%, dan 0,75%, mulai 14 September 2022. Dengan demikian, setelah penyesuaian kini suku bunga simpanan telah berada di zona positif untuk pertama kalinya dalam satu dekade.

Menariknya, ECB juga mengatakan bahwa kenaikan suku bunga pada hari itu akan diikuti oleh kenaikan lebih lanjut dalam beberapa bulan mendatang untuk mengekang spiral inflasi, yang menjadi luas dan mengakar.

Menurut Lagarde, harga energi yang sangat tinggi telah mengurangi daya beli dan menggerus pendapatan masyarakat serta menghambat kegiatan ekonomi. Dengan menaikkan suku bunga, ECB bermaksud untuk "mengurangi permintaan dan menjaga dari risiko peningkatan ekspektasi inflasi yang terus-menerus."

Dengan optimis, ECB percaya inflasi akan turun begitu faktor pendorongnya memudar, dan kebijakannya mulai bekerja. Namun data menunjukkan situasinya bisa menjadi lebih buruk sebelum berbalik arah menjadi lebih baik. ECB memperkirakan inflasi menjadi 8,1% pada 2022, lalu 5,5% pada 2023, dan akhirnya 2,3% pada 2024 di kawasan euro.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More