Lonjakan Inflasi Global dan Normalisasi Kebijakan

Kamis, 15 September 2022 - 12:37 WIB
loading...
Lonjakan Inflasi Global dan Normalisasi Kebijakan
Ryan Kiryanto (Foto: Ist)
A A A
Ryan Kiryanto
Ekonom, Co-Founder dan Dewan Pakar Institute of Social, Economic and Digital/ISED

PADA awal periode pandemi Covid-19 terjadi di seluruh dunia, pada umumnya inflasi global bergerak melambat. Bahkan tren penurunan inflasi mengarah deflasi terjadi hingga menjelang krisis kesehatan global pada 2020 lalu.

Namun, lonjakan harga sejak akhir 2020 telah mendorong inflasi bergerak lebih tinggi. Biaya hidup secara global rata-rata telah meningkat lebih besar dalam satu setengah tahun terakhir sejak awal 2021. Bahkan rata-rata kenaikannya melampaui kenaikan pada periode gabungan lima tahun sebelumnya.

Sektor makanan dan energi adalah pendorong utama inflasi. Memang, sejak awal 2021 lalu, kontribusi rata-rata inflasi dari sektor makanan melebihi tingkat inflasi rata-rata keseluruhan selama kurun waktu 2016-2020. Dengan kata lain, inflasi pangan saja telah mengikis standar hidup global pada tingkat yang sama dengan inflasi semua konsumsi dalam lima tahun sebelum pandemi.

Kisah serupa berlaku untuk sektor energi, yang muncul baik secara langsung maupun tidak langsung, melalui biaya transportasi yang melonjak lebih tinggi. Kondisi ini telah merembet ke barang-barang konsumsi lainnya. Misalnya, inflasi sektor jasa atau layanan telah meningkat di Amerika Serikat (AS) dan Kawasan Euro. Dampak relatif dari sektor makanan, energi, dan barang-barang lainnya dalam mendorong inflasi sangat bervariasi di setiap negara, bergantung pada ketersediaan dan kelancaran distribusi.

Di Jerman dan Perancis, dalam beberapa minggu terakhir harga energi listrik melonjak drastis. Alasannya sederhana, yakni kelangkaan pasokan.

Sejak itu inflasi terus naik hingga Juli, meskipun sedikit lebih lambat. Kendati keadaan bervariasi di setiap negara, pengamatan terbaru menunjukkan sedikit perubahan dalam komposisi inflasi, dengan sektor makanan berkontribusi lebih tinggi, sementara sektor terkait energi sedikit mereda. Hal ini konsisten dengan kemungkinan bahwa kenaikan harga energi global telah diteruskan ke konsumen lebih cepat daripada harga makanan grosir yang lebih tinggi.

Normalisasi Kebijakan di Negara Maju
Pada laporan Global Economic Outlook edisi Juli 2022 oleh Dana Moneter Internasional (IMF), inflasi diproyeksikan mencapai 6,6% tahun ini di negara maju dan 9,5% di pasar negara berkembang — yang merupakan revisi ke atas masing-masing 0,9% dan 0,8% dari perkiraan April. Solusinya, bank-bank sentral akan menaikkan suku bunga acuan untuk melandaikan inflasi, dengan ekonomi global tumbuh hanya 2,9% dan pada gilirannya memperlambat kenaikan harga di seluruh dunia.

Sebuah survei yang dilakukan tak lama setelah invasi Rusia ke Ukraina menemukan bahwa inflasi menjadi perhatian nomor satu sejumlah bank sentral di dunia, diikuti oleh geopolitik. Invasi Rusia ke Ukraina dan dampak pandemi yang berkelanjutan telah membuat negara-negara di seluruh dunia tertatih-tatih, dimana rangkaian krisis tanpa henti telah memukul Eropa paling keras, menyebabkan lonjakan harga energi paling tajam, beberapa tingkat inflasi tertinggi dan risiko resesi terbesar.

Lebih dari 75% bank sentral yang disurvei oleh Global Public Investor edisi 2022 percaya inflasi akan terus meningkat atau lebih fluktuatif untuk jangka waktu yang lama. Hanya 20% yang berpikir inflasi akan bersifat sementara. Semua itu bersumbu pada dampak dari perang yang mengancam benua itu dengan apa yang ditakuti sebagian orang bisa menjadi krisis ekonomi dan keuangan yang paling menantang dalam beberapa dekade.

Bank sentral AS, The Fed, sudah terlebih dulu agresif menaikkan suku bunga acuan sebesar 225 basis poin (bps) dari Maret hingga Juli lalu. Peluang The Fed melanjutkan kenaikan masih terbuka di bulan-bulan berikutnya, meskipun besaran poin persentasenya berkisar 25-50 bps untuk mencapai target inflasi 2%. Langkah The Fed efektif melandaikan inflasi, dari 9,1% (Juni) menjadi 8,5% (Juli).

Pertumbuhan ekonomi di seluruh dunia melambat, namun perlambatan di Eropa dan lebih spesifik Inggris lebih dalam karena didorong oleh penurunan yang lebih mendasar dimana pendapatan riil dan standar hidup turun. Pada saat yang sama, dampak parah dari krisis energi yang mendorong laju inflasi telah menurunkan prospek pertumbuhan ekonomi dunia yang sangat gelap.

Itulah pernyataan Christine Lagarde, Presiden Bank Sentral Eropa (ECB). Betapa hebatnya tantangan ekonomi Uni Eropa direspon oleh ECB, yang mengawasi kebijakan ekonomi 19 negara yang menggunakan euro, dengan mengambil langkah agresif untuk memerangi inflasi, yakni menaikkan suku bunga utama terbesar yang pernah ada sebesar 75 basis poin (bps) pada Kamis lalu (8/9/2022).

Langkah ini menjadi bukti bahwa ECB memenuhi janjinya untuk mengambil langkah besar dalam memerangi inflasi. Setelah kenaikan suku bunga utama, maka suku bunga pada operasi refinancing utama dan suku bunga pada fasilitas pinjaman marjinal dan simpanan juga akan naik masing-masing menjadi 1,25%, 1,5%, dan 0,75%, mulai 14 September 2022. Dengan demikian, setelah penyesuaian kini suku bunga simpanan telah berada di zona positif untuk pertama kalinya dalam satu dekade.

Menariknya, ECB juga mengatakan bahwa kenaikan suku bunga pada hari itu akan diikuti oleh kenaikan lebih lanjut dalam beberapa bulan mendatang untuk mengekang spiral inflasi, yang menjadi luas dan mengakar.

Menurut Lagarde, harga energi yang sangat tinggi telah mengurangi daya beli dan menggerus pendapatan masyarakat serta menghambat kegiatan ekonomi. Dengan menaikkan suku bunga, ECB bermaksud untuk "mengurangi permintaan dan menjaga dari risiko peningkatan ekspektasi inflasi yang terus-menerus."

Dengan optimis, ECB percaya inflasi akan turun begitu faktor pendorongnya memudar, dan kebijakannya mulai bekerja. Namun data menunjukkan situasinya bisa menjadi lebih buruk sebelum berbalik arah menjadi lebih baik. ECB memperkirakan inflasi menjadi 8,1% pada 2022, lalu 5,5% pada 2023, dan akhirnya 2,3% pada 2024 di kawasan euro.

Normalisasi Kebijakan di Negara Berkembang
Di negara berkembang, agresivitas kenaikan suku bunga acuan tak kalah serunya dengan di negara maju. Terbaru, Komite Kebijakan Moneter (MPC) Bank Negara Malaysia (BNM) menaikkan lagi suku bunga overnight sebesar 25 bps menjadi 2,50%. Menurut BNM, ekonomi global terus berkembang meski dengan kecepatan lebih lambat, terbebani oleh meningkatnya tekanan biaya, kondisi keuangan global yang lebih ketat, dan langkah pembatasan yang ketat di Tiongkok.

Namun, pertumbuhan global terus didukung oleh perbaikan kondisi pasar tenaga kerja, dan pembukaan kembali sebagian besar ekonomi dan perbatasan internasional. Tekanan inflasi tetap tinggi, karena kenaikan harga komoditas dan pasar tenaga kerja yang ketat, meskipun kondisi rantai pasokan global terus mereda.

Akibatnya, menurut BNM, bank sentral diperkirakan akan terus menyesuaikan pengaturan kebijakan moneter mereka, beberapa dengan kecepatan yang lebih cepat, untuk mengurangi tekanan inflasi. Sementara penyesuaian suku bunga acuan yang agresif oleh bank sentral AS, The Fed, telah berkontribusi pada kondisi dolar AS yang kuat. Hal itu mengakibatkan volatilitas yang lebih tinggi di pasar keuangan, mempengaruhi mata uang utama dunia dan pasar berkembang lainnya, termasuk ringgit Malaysia.

Di Indonesia, penyesuaian stance kebijakan pun dilakukan, ketika Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 22-23 Agustus 2022 lalu memutuskan menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 bps menjadi 3,75%, suku bunga Deposit Facility sebesar 25 bps menjadi 3,00%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 25 bps menjadi 4,50%.

Keputusan ini sebagai langkah pre-emptive dan forward looking untuk memitigasi risiko peningkatan inflasi inti dan ekspektasi inflasi ke depan akibat penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dan nonsubsidi dan inflasi volatile food, serta memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah agar sejalan dengan nilai fundamentalnya karena masih tingginya ketidakpastian pasar keuangan global. Dengan kebijakan tersebut, stabilitas nilai tukar rupiah tetap terjaga.

Tekanan inflasi meningkat terutama karena tingginya harga komoditas pangan dan energi global. Inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) Juli 2022 tercatat 4,94% (yoy), lebih tinggi dibandingkan inflasi bulan sebelumnya yang 4,35% (yoy). Sementara inflasi inti masih relatif rendah 2,86% (yoy) didukung oleh konsistensi kebijakan BI dalam menjaga ekspektasi inflasi.

Berbagai perkembangan terkini terkait penyesuaian harga BBM bersubsidi dan nonsubsidi diperkirakan dapat mendorong inflasi pada 2022 dan 2023 berisiko melebihi batas atas sasaran 3,0±1% dan karenanya diperlukan sinergi kebijakan yang lebih kuat antara Pemerintah Pusat dan Daerah dengan BI untuk langkah-langkah pengendaliannya. Jadi, perubahan stance atau haluankebijakan memang harus dilakukan untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan yang terjadi ke depannya.

Baca Juga: koran-sindo.com
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2128 seconds (0.1#10.140)