Fahri Sebut RUU Cipta Kerja Solusi Tumpang Tindih Regulasi
Rabu, 01 Juli 2020 - 17:00 WIB
JAKARTA - Dinamika perubahan global akibat pandemi virus Corona (Covid-19), perlu direspons secara cepat dan tepat. Tanpa reformulasi kebijakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia dinilai bisa mengalami perlambatan dan tertinggal oleh negara lain.
(Baca juga: Sikap PBNU terkait RUU Cipta Kerja Sektor Jaminan Produk Halal)
Pakar hukum tata negara Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Fahri Bachmid mengatakan, urgensi dari pembahasan Rancangan Undang Undang (RUU) Cipta Kerja atau Omnibus Law adalah untuk merespons dinamika perubahan global. Menurutnya, melalui Omnibus Law, pemerintah hendak mendorong pertumbuhan melalui penciptaan lapangan kerja.
"Dengan pranata Omnibus Law, diharapkan terjadi pertumbuhan di semua sektor melalui penciptaan lapangan kerja, peningkatan investasi, dan produktivitas. Jika Omnibus Law tidak dilakukan, lapangan pekerjaan akan pindah ke negara lain yang lebih kompetitif," kata Fahri, Rabu (1/7/2020).
(Baca juga: Kerja Sama Asing Disorot, Pemerintah Diminta Utamakan Perusahaan Domestik)
Fahri mengatakan, salah satu manfaat penerapan Omnibus Law di Indonesia adalah menyelesaikan tumpang tindih regulasi hingga kondisi hiperregulasi. Berdasarkan catatan Fahri, saat ini ada 8.451 Peraturan Pusat dan 15.965 Peraturan Daerah.
"Skema Omnibus Law memang digunakan untuk kepentingan deregulasi demi menghindari tumpang tindih dan mewujudkan efisiensi dan implementasi kebijakan," ucap Fahri. (Baca juga: Hobi Pemerintah Gandeng Perusahaan Asing Dikritik)
Lebih lanjut Fahri mengatakan, Omnibus Law merupakan metode yang digunakan untuk mengganti atau mencabut ketentuan dalam undang-undang atau mengatur ulang beberapa ketentuan dalam UU ke dalam satu UU tematik. Fahri menyebut, sejumlah negara sudah menggunakan Omnibus Law untuk memperbaiki regulasi dalam rangka penciptaan lapangan kerja serta meningkatkan iklim investasi dan daya saing.
(Infografis: Komisaris dari Kaum Milenial di Perusahaan BUMN Harus Kerja Nyata)
Karena itu dia mendorong, agar pembahasan di DPR dilakukan secara cermat dan teliti sehingga visi pembangunan nasional, khususnya pada sektor ekonomi dapat berjalan dengan baik dan proporsional di bawah payung konsep hukum Omnibus Law. Sementara di sisi lain, keberadaan Omnibus Law tidak mengacaukan sistem hukum nasional yang sudah dibangun.
"Penerapan Omnibus Law sebagai suatu sistem perundang-undangan secara teknis akan berdampak pada dibatalkannya sekitar 79 undang-undang, baik pada pasal atau ayat tertentu. Karenanya, butuh kajian mendalam serta harmonisasi harus dilakukan secara cermat dan hati-hati agar tidak terjadi kekacauan hukum dalam penerapannya di lapangan," jelas Fahri.
(Baca juga: Sikap PBNU terkait RUU Cipta Kerja Sektor Jaminan Produk Halal)
Pakar hukum tata negara Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Fahri Bachmid mengatakan, urgensi dari pembahasan Rancangan Undang Undang (RUU) Cipta Kerja atau Omnibus Law adalah untuk merespons dinamika perubahan global. Menurutnya, melalui Omnibus Law, pemerintah hendak mendorong pertumbuhan melalui penciptaan lapangan kerja.
"Dengan pranata Omnibus Law, diharapkan terjadi pertumbuhan di semua sektor melalui penciptaan lapangan kerja, peningkatan investasi, dan produktivitas. Jika Omnibus Law tidak dilakukan, lapangan pekerjaan akan pindah ke negara lain yang lebih kompetitif," kata Fahri, Rabu (1/7/2020).
(Baca juga: Kerja Sama Asing Disorot, Pemerintah Diminta Utamakan Perusahaan Domestik)
Fahri mengatakan, salah satu manfaat penerapan Omnibus Law di Indonesia adalah menyelesaikan tumpang tindih regulasi hingga kondisi hiperregulasi. Berdasarkan catatan Fahri, saat ini ada 8.451 Peraturan Pusat dan 15.965 Peraturan Daerah.
"Skema Omnibus Law memang digunakan untuk kepentingan deregulasi demi menghindari tumpang tindih dan mewujudkan efisiensi dan implementasi kebijakan," ucap Fahri. (Baca juga: Hobi Pemerintah Gandeng Perusahaan Asing Dikritik)
Lebih lanjut Fahri mengatakan, Omnibus Law merupakan metode yang digunakan untuk mengganti atau mencabut ketentuan dalam undang-undang atau mengatur ulang beberapa ketentuan dalam UU ke dalam satu UU tematik. Fahri menyebut, sejumlah negara sudah menggunakan Omnibus Law untuk memperbaiki regulasi dalam rangka penciptaan lapangan kerja serta meningkatkan iklim investasi dan daya saing.
(Infografis: Komisaris dari Kaum Milenial di Perusahaan BUMN Harus Kerja Nyata)
Karena itu dia mendorong, agar pembahasan di DPR dilakukan secara cermat dan teliti sehingga visi pembangunan nasional, khususnya pada sektor ekonomi dapat berjalan dengan baik dan proporsional di bawah payung konsep hukum Omnibus Law. Sementara di sisi lain, keberadaan Omnibus Law tidak mengacaukan sistem hukum nasional yang sudah dibangun.
"Penerapan Omnibus Law sebagai suatu sistem perundang-undangan secara teknis akan berdampak pada dibatalkannya sekitar 79 undang-undang, baik pada pasal atau ayat tertentu. Karenanya, butuh kajian mendalam serta harmonisasi harus dilakukan secara cermat dan hati-hati agar tidak terjadi kekacauan hukum dalam penerapannya di lapangan," jelas Fahri.
(maf)
tulis komentar anda