Sikap PBNU terkait RUU Cipta Kerja Sektor Jaminan Produk Halal
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) sudah berulang kali menyampaikan pendapat terkait persoalan Jaminan Produk Halal y ang kemudian dituangkan dalam UU Nomor 33 Tahun 2014 (UU JPH), baik ketika UU itu masih dibahas di DPR, maupun ketika UU itu sudah disahkan.
Terakhir, pada 25 November 2019 yang lalu, PBNU berkirim surat ke Ketua DPR terkait dengan Hasil Pleno PBNU di Purwakarta pada 20-22 September 2019. Dalam surat itu, PBNU menyampaikan pendapat perlunya melakukan revisi terhadap UU JPH.
Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siraj mengatakan, meski secara filosofis NU berkeyakinan bahwa segala sesuatu pada dasarnya halal sehingga jelas keharamannya (al-ashlu fil asya’ al-ibahah illa an yadulla ad-dalil ‘ala tahrimihi), dan secara sosiologis masyarakat Indonesia mayoritas muslim sehingga sertifikasi halal itu seperti tahsilul hasil.
Namun, NU juga tidak bisa mengingkari realitas dan politik hukum yang dipilih DPR dan pemerintah dengan mengesahkan UU JPH. Karena itu, PBNU memberi beberapa catatan terhadap usulan revisi UU JPH, yang sebagian pendapat PBNU terakomodasi dalam RUU Cipta Kerja.
"PBNU menelaah secara cermat isi RUU Cipta Kerja, terutama yang terkait dengan kemudahan perizinan berusaha dimana JPH menjadi satu kesatuan dengan persoalan perizinan ini, yang di dalamnya ada izin edar, SNI, jaminan produk halal dan perizinan berusaha itu sendiri," katanya dalam keterangan resminya, dikutip SINDOnews, Jumat (12/6/2020).
Menurut Kiai Said, PBNU bisa memahami adanya pencabutan dan perubahan beberapa norma UU JPH melalui RUU Cipta Kerja. Perubahan dan pencabutan beberapa norma itu dimaksudkan untuk kemudahan berusaha dan menumbuhkan iklim investasi sebagaimana maksud awal dari RUU Cipta Kerja.
"PBNU memberi dukungan dalam RUU Cipta Kerja di mana ada afirmasi kepada pengusaha kecil dan mikro yang diperlakukan berbeda dengan usaha menengah dan besar," katanya.
( )
Dalam pengurusan JPH, usaha kecil dan mikro dalam sertifikasi halal cukup dengan membuat pernyataan kehalalan barang yang diproduksi. Pedagang gorengan, warteg dan sebagainya cukup menyatakan kehalalan makanan yang mereka produksi, dan itu sudah cukup untuk diberi sertifikat halal.
"Hal ini berbeda dengan UU JPH dimana pengusaha mikro dan kecil harus menempuh bikokrasi sertifikasi halal yang rumit," tuturnya.
Terakhir, pada 25 November 2019 yang lalu, PBNU berkirim surat ke Ketua DPR terkait dengan Hasil Pleno PBNU di Purwakarta pada 20-22 September 2019. Dalam surat itu, PBNU menyampaikan pendapat perlunya melakukan revisi terhadap UU JPH.
Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siraj mengatakan, meski secara filosofis NU berkeyakinan bahwa segala sesuatu pada dasarnya halal sehingga jelas keharamannya (al-ashlu fil asya’ al-ibahah illa an yadulla ad-dalil ‘ala tahrimihi), dan secara sosiologis masyarakat Indonesia mayoritas muslim sehingga sertifikasi halal itu seperti tahsilul hasil.
Namun, NU juga tidak bisa mengingkari realitas dan politik hukum yang dipilih DPR dan pemerintah dengan mengesahkan UU JPH. Karena itu, PBNU memberi beberapa catatan terhadap usulan revisi UU JPH, yang sebagian pendapat PBNU terakomodasi dalam RUU Cipta Kerja.
"PBNU menelaah secara cermat isi RUU Cipta Kerja, terutama yang terkait dengan kemudahan perizinan berusaha dimana JPH menjadi satu kesatuan dengan persoalan perizinan ini, yang di dalamnya ada izin edar, SNI, jaminan produk halal dan perizinan berusaha itu sendiri," katanya dalam keterangan resminya, dikutip SINDOnews, Jumat (12/6/2020).
Menurut Kiai Said, PBNU bisa memahami adanya pencabutan dan perubahan beberapa norma UU JPH melalui RUU Cipta Kerja. Perubahan dan pencabutan beberapa norma itu dimaksudkan untuk kemudahan berusaha dan menumbuhkan iklim investasi sebagaimana maksud awal dari RUU Cipta Kerja.
"PBNU memberi dukungan dalam RUU Cipta Kerja di mana ada afirmasi kepada pengusaha kecil dan mikro yang diperlakukan berbeda dengan usaha menengah dan besar," katanya.
( )
Dalam pengurusan JPH, usaha kecil dan mikro dalam sertifikasi halal cukup dengan membuat pernyataan kehalalan barang yang diproduksi. Pedagang gorengan, warteg dan sebagainya cukup menyatakan kehalalan makanan yang mereka produksi, dan itu sudah cukup untuk diberi sertifikat halal.
"Hal ini berbeda dengan UU JPH dimana pengusaha mikro dan kecil harus menempuh bikokrasi sertifikasi halal yang rumit," tuturnya.