Harga BBM dan Belanja Subsidi

Kamis, 25 Agustus 2022 - 17:34 WIB
Kebutuhan anggaran perlindungan sosial bisa naik lebih tajam lagi lantaran jumlah orang miskin dan rentan miskin yang terdampak kenaikan harga BBM cukup besar. Orang miskin yang tidak punya kendaraan bermotor pun tetap saja menanggung dampak kenaikan harga BBM karena biaya hidup ikutan naik.

Selain itu, efek domino dari kenaikan harga BBM bisa sangat panjang termasuk memengaruhi keberlanjutan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Saat ini ada 64 juta unit UMKM yang keberlangsungan usahanya sangat bergantung pada harga BBM bersubsidi, baik pertalie maupun solar.

Jika UMKM tersebut harus menutup usahanya, akan ada tambahan puluhan juta pengangguran baru. Sementara apabila pelaku UMKM ingin menyesuaikan harga jual produknya, lagi-lagi, daya beli konsumen belum pulih. Oleh karenanya, UMKM juga butuh mendapatkan kompensasi dari kenaikan harga BBM.

Artinya, subsidi energi yang bisa dihemat tidak sepadan dengan kenaikan kompensasinya. Berangkat dari sini, logika sederhana akan mempertanyakan kembali mengapa harga BBM harus dinaikkan jika pada akhirnya hanya bergeser pos menjadi kenaikan belanja perlindungan sosial.

Alhasil, kenaikan harga BBM sejatinya bukan solusi untuk mengatasi membengkaknya belanja subsidi. Potensi jebolnya kuota subsidi karena pergeseran konsumsi dari BBM nonsubsidi menuju kepada BBM bersubsidi. Selisih harga keduanya menjadi disinsentif bagi penggunaan BBM non subsidi.

Jika ditelusur ke belakang, pertalite pada awalnya diproduksi untuk “mengisi” kekosongan di antara – yang kala itu hanya ada – dua jenis BBM. Harga BBM pertalite ditetapkan lebih rendah dari BBM jenis pertama (super) namun lebih tinggi daripada jenis kedua (premium).

Dengan subsidi yang lebh kecil, pertalite mengakomodasi fluktuasi harga BBM tipe pertama yang sepenuhnya diserahkan pada mekanisme pasar. Pertalite diharapkan juga bisa “menggeser’ konsumen BBM jenis premium. Emisi karbon BBM pertalite lebih rendah daripada premium sehingga lebih ramah lingkungan.

Belakangan BBM bersubsidi jenis premium, yang sejak dulu memang disasar oleh segmen masyarakat berpenghasilan rendah, dihapus. Publik kembali dihadapkan pada dua jenis BBM dengan disparitas harga yang sangat kontras. Artinya, pembatasan pertalite sesuai dengan peruntukannya mutlak dilakukan.

Ide pembatasan konsumsi BBM bersubsidi sejatinya bukan barang baru. Dulu pernah muncul wacana penyematan stiker khusus, teknologi RFID (radio frequency identification), bahkan BBM bersubsidi hanya dijual untuk melayani kendaraan umum dan sepeda motor. Belakangan pemerintah mau pakai aplikasi MyPertamina.

Belum sempat konkret diterapkan, berbagai upaya pembatasan konsumsi BBM bersubsidi tersebut menghilang dari peredaran. Penyebabnya bisa ditebak, aneka piranti itu tidak mampu membedakan konsumen - dengan kualifikasi tertentu - yang memang berhak memperoleh BBM bersubsidi.

Kenaikan harga BBM (jika betul-betul ditempuh pemerintah) kali ini harus menjadi momentum dalam membuat formula khusus agar subsidi tepat sasaran. Kecermatan membuat formula subsidi akan menjarangkan frekuensi kenaikan harga BBM bersubsidi pun seandainya harga minyak dunia mengalami kenaikan.

Bukan begitu?
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More