Harga BBM dan Belanja Subsidi

Kamis, 25 Agustus 2022 - 17:34 WIB
loading...
Harga BBM dan Belanja...
Haryo Kuncoro (Foto: Ist)
A A A
Haryo Kuncoro
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta, Direktur Riset SEEBI (the Socio-Economic & Educational Business Institute) Jakarta, Anggota Focus Group Bidang Fiskal dan Keuangan Negara PP-ISEI

SINYAL kenaikan harga energi bersubsidi, terutama bahan bakar minyak (BBM) pertalite dan solar, kian terang benderang. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi mengungkapkan pengumuman kenaikan BBM bersubsidi akan langsung disampaikan oleh Presiden Jokowi dalam waktu dekat.

Setiap kenaikan harga barang yang diatur (administered price) pemerintah senantiasa mengundang polemik publik. Pokok masalah berkutat pada penentuan waktu (timing). Kenaikan harga energi - di saat proses pemulihan ekonomi nasional dari paparan pandemi Covid-19 tengah berjalan - diklaim tidak bijak.

Kebijakan kenaikan harga energi juga dipandang tidak tepat di kala daya beli masyarakat masih tertekan. Inflasi pangan pada Juli 2022 mencapai 11,47% secara tahunan. Alhasil, kenaikan harga BBM akan melejitkan inflasi umum yang mencapai 4,94%, melampaui batas atas yang ditoleransi, 4%.

Argumen fiskal selalu dipakai sebagai pijakan untuk menaikkan harga BBM. Subsidi yang dipatok menurut Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2022 sebesar Rp502 triliun. Alokasi itu ditetapkan dengan asumsi harga minyak mentah Indonesia sebesar USD100 per barel, kurs Rp 14.450 per dolar AS, dan volume 23 juta kiloliter hingga akhir 2022.

Namun, perang Rusia-Ukraina memicu kenaikan tajam harga energi di pasar global. Mereka pemasok 20% perdagangan dunia. Harga minyak mentah terus melesat hingga di atas USD100 per barel dengan kurs dollar Rp14.750 atau melemah sekitar 4% yang memaksa pemerintah untuk nombok.

Pertamina mencatat sampai Juli 2022, pertalite yang tersalurkan telah mencapai 16,8 juta kilo liter dari kuota 23 juta kilo liter. Untuk solar sudah tersalurkan 9,9 juta kilo liter, sementara kuotanya 14,9 juta kilo liter. Dengan tren peningkatan konsumsi kedua jenis BBM tersebut, kuota akan habis sebelum tutup anggaran.

Polemik kian meruncing tatkala melihat kinerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun berjalan tengah menikmati surplus selama tujuh bulan berturut-turut. Ditopang oleh kenaikan penerimaan dari hasil ekspor komoditas unggulan di pasar internasional, surplus APBN per Juli tercatat Rp 106 triliun.

Sampai di titik ini, pertanyaan yang mengemuka mengapa surplus APBN itu tidak digunakan untuk menambah alokasi subsidi BBM, alih-alih menaikkan harganya. Pemerintah terkesan lebih mengutamakan “kecantikan” laporan keuangan APBN sehingga seolah mengorbankan hajat hidup orang banyak.

Kompensasi yang akan diberikan kepada pihak yang terpapar dampak kenaikan harga BBM tidak serta-merta meredakan polemik. Jika harga BBM pertalite naik dari Rp7.650 menjadi Rp10.000 per liter, anggaran untuk perlindungan sosial bisa meningkat lebih tinggi daripada penerimaan yang diraup pemerintah.

Kebutuhan anggaran perlindungan sosial bisa naik lebih tajam lagi lantaran jumlah orang miskin dan rentan miskin yang terdampak kenaikan harga BBM cukup besar. Orang miskin yang tidak punya kendaraan bermotor pun tetap saja menanggung dampak kenaikan harga BBM karena biaya hidup ikutan naik.

Selain itu, efek domino dari kenaikan harga BBM bisa sangat panjang termasuk memengaruhi keberlanjutan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Saat ini ada 64 juta unit UMKM yang keberlangsungan usahanya sangat bergantung pada harga BBM bersubsidi, baik pertalie maupun solar.

Jika UMKM tersebut harus menutup usahanya, akan ada tambahan puluhan juta pengangguran baru. Sementara apabila pelaku UMKM ingin menyesuaikan harga jual produknya, lagi-lagi, daya beli konsumen belum pulih. Oleh karenanya, UMKM juga butuh mendapatkan kompensasi dari kenaikan harga BBM.

Artinya, subsidi energi yang bisa dihemat tidak sepadan dengan kenaikan kompensasinya. Berangkat dari sini, logika sederhana akan mempertanyakan kembali mengapa harga BBM harus dinaikkan jika pada akhirnya hanya bergeser pos menjadi kenaikan belanja perlindungan sosial.

Alhasil, kenaikan harga BBM sejatinya bukan solusi untuk mengatasi membengkaknya belanja subsidi. Potensi jebolnya kuota subsidi karena pergeseran konsumsi dari BBM nonsubsidi menuju kepada BBM bersubsidi. Selisih harga keduanya menjadi disinsentif bagi penggunaan BBM non subsidi.

Jika ditelusur ke belakang, pertalite pada awalnya diproduksi untuk “mengisi” kekosongan di antara – yang kala itu hanya ada – dua jenis BBM. Harga BBM pertalite ditetapkan lebih rendah dari BBM jenis pertama (super) namun lebih tinggi daripada jenis kedua (premium).

Dengan subsidi yang lebh kecil, pertalite mengakomodasi fluktuasi harga BBM tipe pertama yang sepenuhnya diserahkan pada mekanisme pasar. Pertalite diharapkan juga bisa “menggeser’ konsumen BBM jenis premium. Emisi karbon BBM pertalite lebih rendah daripada premium sehingga lebih ramah lingkungan.

Belakangan BBM bersubsidi jenis premium, yang sejak dulu memang disasar oleh segmen masyarakat berpenghasilan rendah, dihapus. Publik kembali dihadapkan pada dua jenis BBM dengan disparitas harga yang sangat kontras. Artinya, pembatasan pertalite sesuai dengan peruntukannya mutlak dilakukan.

Ide pembatasan konsumsi BBM bersubsidi sejatinya bukan barang baru. Dulu pernah muncul wacana penyematan stiker khusus, teknologi RFID (radio frequency identification), bahkan BBM bersubsidi hanya dijual untuk melayani kendaraan umum dan sepeda motor. Belakangan pemerintah mau pakai aplikasi MyPertamina.

Belum sempat konkret diterapkan, berbagai upaya pembatasan konsumsi BBM bersubsidi tersebut menghilang dari peredaran. Penyebabnya bisa ditebak, aneka piranti itu tidak mampu membedakan konsumen - dengan kualifikasi tertentu - yang memang berhak memperoleh BBM bersubsidi.

Kenaikan harga BBM (jika betul-betul ditempuh pemerintah) kali ini harus menjadi momentum dalam membuat formula khusus agar subsidi tepat sasaran. Kecermatan membuat formula subsidi akan menjarangkan frekuensi kenaikan harga BBM bersubsidi pun seandainya harga minyak dunia mengalami kenaikan.

Bukan begitu?

Baca Juga: koran-sindo.com
(bmm)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1077 seconds (0.1#10.140)