Meningkatkan Sistem Kesehatan Nasional
Rabu, 01 Juli 2020 - 06:38 WIB
Mereka bekerja sebagai petugas sekuriti, asisten rumah tangga, penjaga toko, guru honorer, sopir ojek, bahkan pegawai honorer di sejumlah perusahaan outsourcing, dan sejenisnya. Mereka yang ada di kategori pekerja tanpa upah lapis bawah ini kerap dianggap tidak layak menerima subsidi pemerintah pusat atau pemerintah daerah sebagai penerima bantuan iuran (PBI) karena mereka masih punya pekerjaan dan kebanyakan juga punya rumah atau kendaraan bermotor.
Kenyataannya, ketika mereka jatuh sakit atau harus menanggung anggota keluarganya yang sakit, mereka kehabisan dana. Data JKN ke depan perlu menampung variasi yang lebih detail tentang profil pekerja tanpa upah ini.
Ketiga, ada persepsi bahwa orang miskin menghabiskan banyak anggaran kesehatan, terutama mereka yang berada di Pulau Jawa. Dari data JKN 2014-2018, dapat kita lihat bahwa fasilitas kesehatan yang ada di Indonesia, khususnya di luar Pulau Jawa, masih kurang dari memadai.
Jika melihat jenis penyakit yang diderita rata-rata orang Indonesia, terutama yang memasuki usia lanjut, sebenarnya kita tidak bisa menuding orang-orang di Pulau Jawa sebagai penyedot dana JKN. Alasannya, karena ketika orang sakit mereka memang punya hak untuk memanfaatkan JKN.
Justru yang belum tertangani adalah bagaimana pemerintah pusat maupun daerah memobilisasi dana tambahan untuk kebutuhan subsidi JKN bagi mereka yang hidup jauh dari fasilitas kesehatan, padahal mereka sakit.
Dari penelitian yang sedang saya jalankan, dapatlah dikonfirmasi bahwa mereka yang kurang mampu cenderung enggan memanfaatkan JKN jika mereka harus dirujuk jauh dari rumah atau wilayah mereka. Selain karena mereka merasa kurang paham soal prosedur JKN, mereka tidak punya kendaraan ataupun dana ekstra untuk membawa dan menemani sanak saudaranya yang sakit di luar kota.
Apalagi karena memang ternyata masih ada kerumitan di lapangan bila orang sakit yang kurang mampu menggunakan fasilitas kesehatan di luar kabupaten/kotanya; karena ada pemerintah daerah yang tidak merestui pengeluaran anggaran kesehatan selain untuk dirawat di rumah-rumah sakit umum daerah di tempat asal. Selain itu, secara umum orang miskin dikenai prosedur yang cukup panjang untuk bisa mendapatkan status PBI.
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28/2014 yang bisa mencantumkan nama di daftar PBI adalah Kementerian Sosial dan dinas sosial dengan pengusulan dari musyawarah daerah, verifikasi dari tenaga kesejahteraan sosial kecamatan, entri data oleh badan pusat statistik kabupaten/kota, dan validasi oleh dinas sosial.
Padahal, di tataran praktis biasanya orang tidak mampu baru akan menggunakan JKN saat sakit; artinya ada kemungkinan mereka justru tidak punya JKN di saat membutuhkan karena tidak tahu mereka masuk PBI, data PBI-nya belum tentu sesuai atau nama mereka tidak ada di daftar PBI.
Dalam situasi Covid-19 ini, pemerintah diminta lebih peka akan kerentanan masyarakat. Pertama, bahwa perlu dilakukan uji proporsional peningkatan iuran JKN dan untuk kelas menengah ke atas diterapkan tarif yang berbeda.
Kenyataannya, ketika mereka jatuh sakit atau harus menanggung anggota keluarganya yang sakit, mereka kehabisan dana. Data JKN ke depan perlu menampung variasi yang lebih detail tentang profil pekerja tanpa upah ini.
Ketiga, ada persepsi bahwa orang miskin menghabiskan banyak anggaran kesehatan, terutama mereka yang berada di Pulau Jawa. Dari data JKN 2014-2018, dapat kita lihat bahwa fasilitas kesehatan yang ada di Indonesia, khususnya di luar Pulau Jawa, masih kurang dari memadai.
Jika melihat jenis penyakit yang diderita rata-rata orang Indonesia, terutama yang memasuki usia lanjut, sebenarnya kita tidak bisa menuding orang-orang di Pulau Jawa sebagai penyedot dana JKN. Alasannya, karena ketika orang sakit mereka memang punya hak untuk memanfaatkan JKN.
Justru yang belum tertangani adalah bagaimana pemerintah pusat maupun daerah memobilisasi dana tambahan untuk kebutuhan subsidi JKN bagi mereka yang hidup jauh dari fasilitas kesehatan, padahal mereka sakit.
Dari penelitian yang sedang saya jalankan, dapatlah dikonfirmasi bahwa mereka yang kurang mampu cenderung enggan memanfaatkan JKN jika mereka harus dirujuk jauh dari rumah atau wilayah mereka. Selain karena mereka merasa kurang paham soal prosedur JKN, mereka tidak punya kendaraan ataupun dana ekstra untuk membawa dan menemani sanak saudaranya yang sakit di luar kota.
Apalagi karena memang ternyata masih ada kerumitan di lapangan bila orang sakit yang kurang mampu menggunakan fasilitas kesehatan di luar kabupaten/kotanya; karena ada pemerintah daerah yang tidak merestui pengeluaran anggaran kesehatan selain untuk dirawat di rumah-rumah sakit umum daerah di tempat asal. Selain itu, secara umum orang miskin dikenai prosedur yang cukup panjang untuk bisa mendapatkan status PBI.
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28/2014 yang bisa mencantumkan nama di daftar PBI adalah Kementerian Sosial dan dinas sosial dengan pengusulan dari musyawarah daerah, verifikasi dari tenaga kesejahteraan sosial kecamatan, entri data oleh badan pusat statistik kabupaten/kota, dan validasi oleh dinas sosial.
Padahal, di tataran praktis biasanya orang tidak mampu baru akan menggunakan JKN saat sakit; artinya ada kemungkinan mereka justru tidak punya JKN di saat membutuhkan karena tidak tahu mereka masuk PBI, data PBI-nya belum tentu sesuai atau nama mereka tidak ada di daftar PBI.
Dalam situasi Covid-19 ini, pemerintah diminta lebih peka akan kerentanan masyarakat. Pertama, bahwa perlu dilakukan uji proporsional peningkatan iuran JKN dan untuk kelas menengah ke atas diterapkan tarif yang berbeda.
tulis komentar anda