Meningkatkan Sistem Kesehatan Nasional
Rabu, 01 Juli 2020 - 06:38 WIB
Untuk kepesertaan, data menunjukkan bahwa masyarakat yang terjamin melalui Jaminan Kesehatan Nasional semakin meningkat dari 2014 hingga 2018. Jumlah orang miskin yang ditanggung iurannya melalui APBN/APBD juga meningkat dari 95 juta orang pada 2014 menjadi 122 juta pada 2018. Demikian pula peserta yang membayar sendiri dari 9 juta orang menjadi 31 juta orang.
Hasbullah Thabrany mencatat bahwa kenaikan kelompok masyarakat miskin ke dalam sistem JKN sebesar 240%. Kenaikan ini juga menandakan bahwa potensi masyarakat miskin yang memiliki risiko menjadi jatuh miskin karena biaya kesehatan yang mahal semakin berkurang.
Namun, masih harus dicatat bahwa yang rentan kesehatannya bukan hanya yang miskin, juga yang menengah ke bawah (near poor). Mereka yang bekerja mandiri tanpa upah dengan penghasilan pas-pasan atau karena sakitnya kemudian tidak bisa lagi bekerja seperti dulu dan mereka yang memasuki usia 50.
Hasbullah Thabrany menggarisbawahi pentingnya kita melihat risiko alamiah suatu masyarakat untuk menambah konsumsi layanan kesehatan, yakni karena faktor usia dan gender. Mereka yang masuk dalam kategori miskin, berpenghasilan pas-pasan, atau karena sakitnya kemudian tidak lagi bisa bekerja seperti seharusnya orang di usianya masih bekerja adalah mereka yang perlu dibantu lewat sistem JKN.
Dari data yang tersedia, dapat dikonfirmasi bahwa JKN masih belum sempurna karena beberapa faktor. Pertama, ada persepsi yang berkembang di tataran pengambil kebijakan saat ini adalah untuk mengejar peningkatan iuran demi menutup defisit JKN.
Padahal, ketika kita bicara iuran kita perlu lebih cermat melihat profil penduduk Indonesia. Data JKN menunjukkan bahwa pengguna terbanyak JKN untuk rawat jalan adalah kelas I dan II.
Namun, sejak 2014 yang terjadi justru penurunan angka admisi rawat inap untuk kelas I dan II. Angka perawatan kelas III meningkat hingga 40%. Ketika diumumkan peningkatan iuran pada 2018 dan 2020 pun reaksi turun kelas menjadi kelas III cepat sekali terjadi.
Bahkan pemerintah daerah yang bertanggung jawab untuk ikut memberi subsidi bagi warganya yang kurang mampu justru memilih mengurangi subsidi. Artinya, ada segmen masyarakat yang memang masuk kelas I atau kelas II, tetapi kemampuan bayar iurannya sangat rentan berubah. Jadi, ketika pemerintah menggunakan sistem pukul rata untuk menaikkan iuran di segala kelas, efeknya sangatlah memberatkan bagi sekelompok masyarakat.
Kedua, ada persepsi bahwa kelompok masyarakat tanpa upah memanfaatkan JKN dengan hanya mau membayar ketika sedang sakit, selebihnya mereka akan menunggak pembayaran. Data yang ada belum menceritakan tentang bagaimana pekerja tanpa upah mengatur konsumsi penghasilan bulanannya.
Pekerja tanpa upah itu ada yang upahnya lebih dari Rp50 juta sebulan karena ia membuka bisnis sendiri yang skalanya menengah ke atas. Tetapi, ada juga yang upahnya sebatas upah minimum atau tak jauh dari upah minimum.
Hasbullah Thabrany mencatat bahwa kenaikan kelompok masyarakat miskin ke dalam sistem JKN sebesar 240%. Kenaikan ini juga menandakan bahwa potensi masyarakat miskin yang memiliki risiko menjadi jatuh miskin karena biaya kesehatan yang mahal semakin berkurang.
Namun, masih harus dicatat bahwa yang rentan kesehatannya bukan hanya yang miskin, juga yang menengah ke bawah (near poor). Mereka yang bekerja mandiri tanpa upah dengan penghasilan pas-pasan atau karena sakitnya kemudian tidak bisa lagi bekerja seperti dulu dan mereka yang memasuki usia 50.
Hasbullah Thabrany menggarisbawahi pentingnya kita melihat risiko alamiah suatu masyarakat untuk menambah konsumsi layanan kesehatan, yakni karena faktor usia dan gender. Mereka yang masuk dalam kategori miskin, berpenghasilan pas-pasan, atau karena sakitnya kemudian tidak lagi bisa bekerja seperti seharusnya orang di usianya masih bekerja adalah mereka yang perlu dibantu lewat sistem JKN.
Dari data yang tersedia, dapat dikonfirmasi bahwa JKN masih belum sempurna karena beberapa faktor. Pertama, ada persepsi yang berkembang di tataran pengambil kebijakan saat ini adalah untuk mengejar peningkatan iuran demi menutup defisit JKN.
Padahal, ketika kita bicara iuran kita perlu lebih cermat melihat profil penduduk Indonesia. Data JKN menunjukkan bahwa pengguna terbanyak JKN untuk rawat jalan adalah kelas I dan II.
Namun, sejak 2014 yang terjadi justru penurunan angka admisi rawat inap untuk kelas I dan II. Angka perawatan kelas III meningkat hingga 40%. Ketika diumumkan peningkatan iuran pada 2018 dan 2020 pun reaksi turun kelas menjadi kelas III cepat sekali terjadi.
Bahkan pemerintah daerah yang bertanggung jawab untuk ikut memberi subsidi bagi warganya yang kurang mampu justru memilih mengurangi subsidi. Artinya, ada segmen masyarakat yang memang masuk kelas I atau kelas II, tetapi kemampuan bayar iurannya sangat rentan berubah. Jadi, ketika pemerintah menggunakan sistem pukul rata untuk menaikkan iuran di segala kelas, efeknya sangatlah memberatkan bagi sekelompok masyarakat.
Kedua, ada persepsi bahwa kelompok masyarakat tanpa upah memanfaatkan JKN dengan hanya mau membayar ketika sedang sakit, selebihnya mereka akan menunggak pembayaran. Data yang ada belum menceritakan tentang bagaimana pekerja tanpa upah mengatur konsumsi penghasilan bulanannya.
Pekerja tanpa upah itu ada yang upahnya lebih dari Rp50 juta sebulan karena ia membuka bisnis sendiri yang skalanya menengah ke atas. Tetapi, ada juga yang upahnya sebatas upah minimum atau tak jauh dari upah minimum.
tulis komentar anda