Lima Kali Digugat, MK Pertahankan Ambang Batas Parlemen Harus Ada
Minggu, 28 Juni 2020 - 12:52 WIB
JAKARTA - Bukan sekali sekali persoalan ambang batas parlemen (parliamentary threshold/PT) digugat di Mahkamah Konstitusi (MK) . Lembaga itu telah lima kali menggelar sidang gugatan uji materi ambang batas parlemen pada UU Pemilu. Dari lima gugatan yang masuk, hanya satu yang dikabulkan, yakni penghapusan ambang batas untuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) tingkat provinsi, kabupaten, dan kota.
Uji materi sudah dilakukan sejak pemilihan umum (pemilu) tahun 2009. Baik perorangan dan badan hukum telah menyeret Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
“Alasan konstitusional (penggugat) itu hilangnya hak mereka untuk diikutkan dalama perhuitungan kursi di DPR. Mereka menjadi parpol yang tidak diperlakukan secara adil dalam kontestasi. Sudah ikut tapi tidak ikut di DPR. Juga (alasan) banyak suara pemilih yang hilang,” ujar Manajer Program Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil dalam diskusi virtual, Minggu (28/6/2020).
(Baca: Uji Materi UU Pemilu, Perludem: Agar Basis Ambang Batas Terbuka)
MK, katanya, menyatakan ketentuan ambang batas parlemen bukan merupakan bagian yang menghambat hak konsititusi warga negara. Kini, Perludem akan mengajukan uji materil pasal 414 UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu.
Uji materi ini untuk membuka atau mengetahui rumusan perhitungan ambang batas yang ditetapkan oleh para pembuat UU. Fadil mengatakan pemilihan legislatif Indonesia itu menganut sistem proporsional, maka hasil pemilunya pun harus proporsional.
Selama ini, pemerintah dan DPR selalu mewacanakan kenaikan ambang batas di setiap menjelang hajatan lima tahun itu. Di pemilu ada sekitar 13 juta suara yang tak terakomodasi di Senayan karena partai pemilik suara tak mampu memenuhi ambang batas sebesar 4 persen.
(Baca: Ramai-Ramai Menguji 'Kekebalan' UU Covid-19)
Sampai saat ini, sikap MK tidak pernah berubah, yakni ambang batas parlemen harus ada. Hanya satu kali MK memberangus ambang batas untuk DPRD Provinsi, Kabupaten, dan Kota, yang dicantumkan dalam UU Nomor 8 Tahu 2012.
“MK memandang pemberlakuan ambang batas parlemen yang relevan itu hanya di DPR. Di provinsi, kabupaten, dan kota, MK itu bertentangan dengan rasionalitas. Ketentuan ambang batas parlemen yang diberlakukan DPRD bertentangan dengan UUD,” ujar Fadli.
Ambang batas parlemen dianggap sebagai sistem alamiah untuk menyeleksi partai untuk masuk ke senayan. “MK dalam lima putusan sebelumnya, kebijakan (ambang batas) yang bermanfaat untuk menyederhanakan kepartaian,” pungkasnya.
Uji materi sudah dilakukan sejak pemilihan umum (pemilu) tahun 2009. Baik perorangan dan badan hukum telah menyeret Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
“Alasan konstitusional (penggugat) itu hilangnya hak mereka untuk diikutkan dalama perhuitungan kursi di DPR. Mereka menjadi parpol yang tidak diperlakukan secara adil dalam kontestasi. Sudah ikut tapi tidak ikut di DPR. Juga (alasan) banyak suara pemilih yang hilang,” ujar Manajer Program Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil dalam diskusi virtual, Minggu (28/6/2020).
(Baca: Uji Materi UU Pemilu, Perludem: Agar Basis Ambang Batas Terbuka)
MK, katanya, menyatakan ketentuan ambang batas parlemen bukan merupakan bagian yang menghambat hak konsititusi warga negara. Kini, Perludem akan mengajukan uji materil pasal 414 UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu.
Uji materi ini untuk membuka atau mengetahui rumusan perhitungan ambang batas yang ditetapkan oleh para pembuat UU. Fadil mengatakan pemilihan legislatif Indonesia itu menganut sistem proporsional, maka hasil pemilunya pun harus proporsional.
Selama ini, pemerintah dan DPR selalu mewacanakan kenaikan ambang batas di setiap menjelang hajatan lima tahun itu. Di pemilu ada sekitar 13 juta suara yang tak terakomodasi di Senayan karena partai pemilik suara tak mampu memenuhi ambang batas sebesar 4 persen.
(Baca: Ramai-Ramai Menguji 'Kekebalan' UU Covid-19)
Sampai saat ini, sikap MK tidak pernah berubah, yakni ambang batas parlemen harus ada. Hanya satu kali MK memberangus ambang batas untuk DPRD Provinsi, Kabupaten, dan Kota, yang dicantumkan dalam UU Nomor 8 Tahu 2012.
“MK memandang pemberlakuan ambang batas parlemen yang relevan itu hanya di DPR. Di provinsi, kabupaten, dan kota, MK itu bertentangan dengan rasionalitas. Ketentuan ambang batas parlemen yang diberlakukan DPRD bertentangan dengan UUD,” ujar Fadli.
Ambang batas parlemen dianggap sebagai sistem alamiah untuk menyeleksi partai untuk masuk ke senayan. “MK dalam lima putusan sebelumnya, kebijakan (ambang batas) yang bermanfaat untuk menyederhanakan kepartaian,” pungkasnya.
(muh)
tulis komentar anda