Penebusan Tanah Tergadaikan
Rabu, 27 Juli 2022 - 15:26 WIB
Praktik demikian bertentangan dengan asas sosialisme Indonesia. Karena itu, di dalam UUPA hak gadai dikategorikan hak-hak sifatnya “sementara”. Hak demikian diusahakan dihapus dalam waktu singkat. Sebelum penghapusannya terealisasi, hak gadai tanah diatur sedemikian rupa, agar hilang unsur-unsur pemerasannya dan terhadap gadai yang sudah berlangsung tujuh tahun atau lebih wajib mengembalikan tanahnya kepada pemilik dalam waktu sebulan, setelah tanaman yang ada selesai dipanen dengan tidak ada hak untuk menuntut pembayaran uang tebusan.
Hak gadai tanah baru dapat dihapuskan (artinya dilarang) jika sudah tersedia lembaga perkreditan yang mampu menyuplai kredit yang dibutuhkan petani. Kini lembaga-lembaga perkreditan telah marak di seluruh pelosok Tanah Air. Dengan itu mestinya gadai tanah dihapus secara alamiah. Bila logika demikian berlaku secara linier, maka ketimpangan pemilikan dan penguasaan tanah mulai berkurang (teratasi). Benarkah demikian? Kenyataannya tidak.
Diwartakan berbagai media (16/12/2021), bahwa menurut Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), indeks Gini dalam bidang pertanahan saat ini 0,59. Artinya, 1% penduduk menguasai 59% lahan yang ada di negeri ini. Sementara itu, 99% lainnya hanya menguasai 41% lahan. Ada 68% tanah di seluruh daratan Indonesia telah dikuasai oleh 1% kelompok pengusaha dan badan korporasi skala besar. Sisanya barulah diperebutkan oleh 99% masyarakat yang tersisa.
Ketimpangan struktur dan penguasaan lahan masih terjadi dan terus berlangsung. Kondisi ini diperparah oleh kegiatan ekspansi-ekspansi bisnis ataupun pembangunan skala besar, mulai sektor perkebunan sawit, hutan tanaman industri, pertambangan, hingga pembangunan infrastruktur.
Setelah dicermati saksama, berikut sebab-sebab semakin akutnya ketimpangan pemilikan dan penguasaan tanah akhir-akhir ini. Pertama, menjelmanya hak gadai menjadi konsesi berupa hak guna usaha (HGU). Diatur di Pasal 8 PP Nomor 40/1996 bahwa HGU diberikan untuk jangka waktu paling lama 35 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 25 tahun. Sesudah jangka waktu HGU dan perpanjangannya berakhir, kepada pemegang hak dapat diberikan pembaruan HGU di atas tanah yang sama. Dijumlahkan, sebuah perusahaan dapat menguasai tanah HGU hingga 95 tahun. Bahkan bisa lebih lama lagi.
Kedua, tuan-tuan tanah zaman dulu kini menjelma menjadi pebisnis, pengusaha, oligarki. Mereka mampu mendikte substansi regulasi bidang pertanahan. Pola usaha dan bisnis berkarakter kapitalistik dijadikan alat pembenar atas penguasaan tanah dalam jumlah besar, tanpa peduli terhadap nasib kehidupan mayoritas penduduk. Karakter populis yang melekat pada UUPA kini tinggal teks tanpa makna karena peraturan-peraturan pelaksanaan UUPA berkarakter elitis-kapitalistik.
Ketiga, bukti empiris menunjukkan bahwa reforma agraria melempem. Konflik agraria dan kemiskinan struktural terus bertambah. Selama 2021 mencapai 241 kasus di 359 desa atau kota, dan lebih dari 135.000 keluarga terdampak. Penyebab konflik antara lain tumpang tindih lahan perkebunan skala besar dengan puluhan ribu desa, tanah pertanian, dan kebun rakyat.
Hemat saya, semakin maraknya tanah-tanah tergadaikan melalui rekayasa perizinan atau pemberian konsesi (misal: perkebunan, pertambangan, dll), mestinya ditebus dan kepemilikannya dikembalikan kepada bangsa Indonesia. Bagaimana caranya? Ketentuan-ketentuan penebusan tanah tergadaikan dalam UU Nomor 56 Prp/1960 perlu diaktualisasikan dan ditransformasikan dalam konteks kekinian. Adalah tugas Kementerian ATR/BPN untuk mendetailkan peraturan penebusan tanah-tanah tergadaikan dalam bentuk HGU itu. Wallahua’lam.
Baca Juga: koran-sindo.com
Hak gadai tanah baru dapat dihapuskan (artinya dilarang) jika sudah tersedia lembaga perkreditan yang mampu menyuplai kredit yang dibutuhkan petani. Kini lembaga-lembaga perkreditan telah marak di seluruh pelosok Tanah Air. Dengan itu mestinya gadai tanah dihapus secara alamiah. Bila logika demikian berlaku secara linier, maka ketimpangan pemilikan dan penguasaan tanah mulai berkurang (teratasi). Benarkah demikian? Kenyataannya tidak.
Diwartakan berbagai media (16/12/2021), bahwa menurut Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), indeks Gini dalam bidang pertanahan saat ini 0,59. Artinya, 1% penduduk menguasai 59% lahan yang ada di negeri ini. Sementara itu, 99% lainnya hanya menguasai 41% lahan. Ada 68% tanah di seluruh daratan Indonesia telah dikuasai oleh 1% kelompok pengusaha dan badan korporasi skala besar. Sisanya barulah diperebutkan oleh 99% masyarakat yang tersisa.
Ketimpangan struktur dan penguasaan lahan masih terjadi dan terus berlangsung. Kondisi ini diperparah oleh kegiatan ekspansi-ekspansi bisnis ataupun pembangunan skala besar, mulai sektor perkebunan sawit, hutan tanaman industri, pertambangan, hingga pembangunan infrastruktur.
Setelah dicermati saksama, berikut sebab-sebab semakin akutnya ketimpangan pemilikan dan penguasaan tanah akhir-akhir ini. Pertama, menjelmanya hak gadai menjadi konsesi berupa hak guna usaha (HGU). Diatur di Pasal 8 PP Nomor 40/1996 bahwa HGU diberikan untuk jangka waktu paling lama 35 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 25 tahun. Sesudah jangka waktu HGU dan perpanjangannya berakhir, kepada pemegang hak dapat diberikan pembaruan HGU di atas tanah yang sama. Dijumlahkan, sebuah perusahaan dapat menguasai tanah HGU hingga 95 tahun. Bahkan bisa lebih lama lagi.
Kedua, tuan-tuan tanah zaman dulu kini menjelma menjadi pebisnis, pengusaha, oligarki. Mereka mampu mendikte substansi regulasi bidang pertanahan. Pola usaha dan bisnis berkarakter kapitalistik dijadikan alat pembenar atas penguasaan tanah dalam jumlah besar, tanpa peduli terhadap nasib kehidupan mayoritas penduduk. Karakter populis yang melekat pada UUPA kini tinggal teks tanpa makna karena peraturan-peraturan pelaksanaan UUPA berkarakter elitis-kapitalistik.
Ketiga, bukti empiris menunjukkan bahwa reforma agraria melempem. Konflik agraria dan kemiskinan struktural terus bertambah. Selama 2021 mencapai 241 kasus di 359 desa atau kota, dan lebih dari 135.000 keluarga terdampak. Penyebab konflik antara lain tumpang tindih lahan perkebunan skala besar dengan puluhan ribu desa, tanah pertanian, dan kebun rakyat.
Hemat saya, semakin maraknya tanah-tanah tergadaikan melalui rekayasa perizinan atau pemberian konsesi (misal: perkebunan, pertambangan, dll), mestinya ditebus dan kepemilikannya dikembalikan kepada bangsa Indonesia. Bagaimana caranya? Ketentuan-ketentuan penebusan tanah tergadaikan dalam UU Nomor 56 Prp/1960 perlu diaktualisasikan dan ditransformasikan dalam konteks kekinian. Adalah tugas Kementerian ATR/BPN untuk mendetailkan peraturan penebusan tanah-tanah tergadaikan dalam bentuk HGU itu. Wallahua’lam.
Baca Juga: koran-sindo.com
(bmm)
Lihat Juga :
tulis komentar anda