Peta Jalan Memberangus Kekerasan Seksual
Sabtu, 16 Juli 2022 - 22:51 WIB
Ganti rugi terhadap korban kekerasan seksual telah memasuki rezim yang baru. Pasca dibentuknya UU TPKS, setidaknya ada dua hal baru yang diatur.Pertama, penyidik dapat melakukan penyitaan terhadap harta pelaku kekerasan seksual, sebagai bagian dari jaminan restitusi.Kedua, korban bisa mendapatkan kompensasi dari negara melalui dana bantuan korban, apabila harta kekayaan pelaku yang disita tidak cukup untuk membayar restitusi.
Pembaharuan hukum sangat menarik dan progresif. Karena memberikan kepastian kepada korban untuk mendapatkan haknya tanpa bergantung kepada keadaan ekonomi pelaku. Untuk merealisasikannya dalam waktu cepat, ada beberapa hal yang harus segera dilakukan. Dalam hal ini pemerintah tentu saja harus segera merampungkan Peraturan Pemerintahnya, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 35 ayat 4 UU TPKS.
Berikutnya, untuk pengelolaan yang transparan dan akuntabel dana bantuan korban harus dikelola oleh lembaga yang mandiri. Untuk mengisi kekosongan, fungsi tersebut sementara waktu bisa diletakan di LPSK sambil mempersiapkan lembaga mandiri.
LPSK merupakan lembaga yang berpengalaman dalam mengelola dana kompensasi khususnya untuk tindak pidana terorisme. Hal ini penting, karena ke depan lembaga ini bisa dimanfaatkan untuk menjamin semua korban tindak pidana, tidak hanya terbatas pada isu kekerasan seksual.
Yang juga penting, terkait dengan sumber pendanaan di mana dana bantuan korban memang tidak sepenuhnya dibebankan kepada negara. Ada peluang sumber pendanaan melalui filantropi, masyarakat atau individu, atau boleh juga berasal dari tanggung jawab sosial perusahaan (sepanjang tidak mengikat). Akan tetapi, sebagai awalan dana bantuan korban bisa dialokasikan dari sitaan hasil kejahatan yang sudah dieksekusi melalui putusan pengadilan.
Berdasarkan keterangan resmi Kejaksaan Agung, pada semester I/2021 (Januari-Juni), Kejaksaan Agung telah menyelamatkan keuangan Negara mencapai Rp15,8 triliun. Contoh terbaru pada April 2022, Kejaksaan Agung menyebutkan telah menyetorkan uang tunai sebesar Rp253 miliar ke kas negara, hanya dari satu kasus tindak pidana korupsi atas terpidana PT Indosat Mega Media dan terpidana Indar Atmanto.
Dengan nilai yang besar tersebut, tidak berlebihan rasanya jika negara menyiapkan regulasi pendukung untuk memungkinkan harta tersebut sedikit dialokasikan untuk keperluan Dana Bantuan Korban.
Selain berbagai pengaturan dana bantuan korban dan penguatan tata kelola kelembagaan, hal tidak kalah pentingnya adalah partisipasi aktif masyarakat. Semua usaha yang dilakukan bisa saja menjadi sia-sia dan kehilangan makna, manakala tidak didukung oleh partisipasi aktif dari masyarakat.
Penting untuk diingat, keberhasilan penanganan kekerasan seksual tidak cukup pada pemidanan terhadap para predator seksual, akan tetapi korban harus dipulihkan baik secara fisik, psikologis, maupun kehidupan sosialnya.
Pembaharuan hukum sangat menarik dan progresif. Karena memberikan kepastian kepada korban untuk mendapatkan haknya tanpa bergantung kepada keadaan ekonomi pelaku. Untuk merealisasikannya dalam waktu cepat, ada beberapa hal yang harus segera dilakukan. Dalam hal ini pemerintah tentu saja harus segera merampungkan Peraturan Pemerintahnya, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 35 ayat 4 UU TPKS.
Berikutnya, untuk pengelolaan yang transparan dan akuntabel dana bantuan korban harus dikelola oleh lembaga yang mandiri. Untuk mengisi kekosongan, fungsi tersebut sementara waktu bisa diletakan di LPSK sambil mempersiapkan lembaga mandiri.
LPSK merupakan lembaga yang berpengalaman dalam mengelola dana kompensasi khususnya untuk tindak pidana terorisme. Hal ini penting, karena ke depan lembaga ini bisa dimanfaatkan untuk menjamin semua korban tindak pidana, tidak hanya terbatas pada isu kekerasan seksual.
Yang juga penting, terkait dengan sumber pendanaan di mana dana bantuan korban memang tidak sepenuhnya dibebankan kepada negara. Ada peluang sumber pendanaan melalui filantropi, masyarakat atau individu, atau boleh juga berasal dari tanggung jawab sosial perusahaan (sepanjang tidak mengikat). Akan tetapi, sebagai awalan dana bantuan korban bisa dialokasikan dari sitaan hasil kejahatan yang sudah dieksekusi melalui putusan pengadilan.
Berdasarkan keterangan resmi Kejaksaan Agung, pada semester I/2021 (Januari-Juni), Kejaksaan Agung telah menyelamatkan keuangan Negara mencapai Rp15,8 triliun. Contoh terbaru pada April 2022, Kejaksaan Agung menyebutkan telah menyetorkan uang tunai sebesar Rp253 miliar ke kas negara, hanya dari satu kasus tindak pidana korupsi atas terpidana PT Indosat Mega Media dan terpidana Indar Atmanto.
Dengan nilai yang besar tersebut, tidak berlebihan rasanya jika negara menyiapkan regulasi pendukung untuk memungkinkan harta tersebut sedikit dialokasikan untuk keperluan Dana Bantuan Korban.
Selain berbagai pengaturan dana bantuan korban dan penguatan tata kelola kelembagaan, hal tidak kalah pentingnya adalah partisipasi aktif masyarakat. Semua usaha yang dilakukan bisa saja menjadi sia-sia dan kehilangan makna, manakala tidak didukung oleh partisipasi aktif dari masyarakat.
Penting untuk diingat, keberhasilan penanganan kekerasan seksual tidak cukup pada pemidanan terhadap para predator seksual, akan tetapi korban harus dipulihkan baik secara fisik, psikologis, maupun kehidupan sosialnya.
(ynt)
tulis komentar anda