Pemerintah Diharapkan Tak Asal Bubarkan ACT dan Lembaga Sosial Lain
Sabtu, 09 Juli 2022 - 20:47 WIB
"Beberapa kawan dan saya sendiri telah mendorong adanya perubahan Undang-Undang tentang Pengumpulan Uang atau Barang ini," tuturnya.
Tetapi, dorongan revisi undang-undang tersebut selalu terkendala di DPR RI dengan alasan politik yang tidak jelas. "Mudah-mudahan ini menjadi momentum bagus untuk merevisi undang-undang tersebut," harap Bivitri.
Tak hanya revisi UU, Bivitri menilai aturan turunan dari undang-undang itu, yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 29 Tahun 1980 harus diperbarui. Dorongan tersebut sejalan dengan kasus yang terjadi pada Aksi Cepat Tanggap (ACT), salah satu filantropi yang bergerak di bidang sosial dan kemanusiaan.
Ia membandingkan keberadaan UU tentang Pengumpulan Uang atau Barang dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat yang bisa dikatakan cukup jauh tertinggal.
"Makanya cara berpikir pengelolaan zakat lebih modern, rapi, dan lebih akuntabel," tuturnya.
Menurutnya, pemberian izin dan pendaftaran kepada suatu pihak untuk mengelola dana kepentingan masyarakat banyak, seperti filantropi tidak cukup hanya sebatas pemberian izin. Jauh dari itu, pengawasan dan akuntabilitas harus tetap diawasi agar tidak terjadi penyelewengan dana.
Sementara, dalam UU tentang Pengumpulan Uang atau Barang yang diterbitkan pada tahun 1960 tersebut belum mengangkat aspek akuntabilitas.
Dari pihak Perhimpunan Filantropi Indonesia mengingatkan para pegiat atau pelaku filantropi di Tanah Air, pentingnya menjaga kepercayaan masyarakat yang mengumpulkan dana kemanusiaan.
"Kepercayaan dan dukungan masyarakat dapat tergerus atau turun akibat perilaku tidak etis dari pegiat filantropi," tegas Ketua Pengurus Perhimpunan Filantropi Indonesia Rizal Algamar.
Beberapa waktu lalu, kata dia, Perhimpunan Filantropi Indonesia baru saja meluncurkan kode etik filantropi yang dikembangkan dengan beberapa tujuan.
Tetapi, dorongan revisi undang-undang tersebut selalu terkendala di DPR RI dengan alasan politik yang tidak jelas. "Mudah-mudahan ini menjadi momentum bagus untuk merevisi undang-undang tersebut," harap Bivitri.
Tak hanya revisi UU, Bivitri menilai aturan turunan dari undang-undang itu, yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 29 Tahun 1980 harus diperbarui. Dorongan tersebut sejalan dengan kasus yang terjadi pada Aksi Cepat Tanggap (ACT), salah satu filantropi yang bergerak di bidang sosial dan kemanusiaan.
Ia membandingkan keberadaan UU tentang Pengumpulan Uang atau Barang dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat yang bisa dikatakan cukup jauh tertinggal.
"Makanya cara berpikir pengelolaan zakat lebih modern, rapi, dan lebih akuntabel," tuturnya.
Menurutnya, pemberian izin dan pendaftaran kepada suatu pihak untuk mengelola dana kepentingan masyarakat banyak, seperti filantropi tidak cukup hanya sebatas pemberian izin. Jauh dari itu, pengawasan dan akuntabilitas harus tetap diawasi agar tidak terjadi penyelewengan dana.
Sementara, dalam UU tentang Pengumpulan Uang atau Barang yang diterbitkan pada tahun 1960 tersebut belum mengangkat aspek akuntabilitas.
Dari pihak Perhimpunan Filantropi Indonesia mengingatkan para pegiat atau pelaku filantropi di Tanah Air, pentingnya menjaga kepercayaan masyarakat yang mengumpulkan dana kemanusiaan.
"Kepercayaan dan dukungan masyarakat dapat tergerus atau turun akibat perilaku tidak etis dari pegiat filantropi," tegas Ketua Pengurus Perhimpunan Filantropi Indonesia Rizal Algamar.
Beberapa waktu lalu, kata dia, Perhimpunan Filantropi Indonesia baru saja meluncurkan kode etik filantropi yang dikembangkan dengan beberapa tujuan.
tulis komentar anda