Mengakselerasi Birokrasi dan Pelayanan Publik
Kamis, 30 Juni 2022 - 11:23 WIB
Pertama, mental-model berupa silo mentality dan budaya kerja berorientasi kuasa (power culture) terlebih dulu berubah menjadi pelayan rakyat (service cuture) dalam ekosistem pemerintahan terbuka (open government). Perubahan piranti lunak (software) ini jadi prasyarat menggeser paradigma layanan publik agar sunggguh berbasis permintaan/kebutuhan warga, bukan lagi terus didominasi kepentingan birokrasi (bureaucracy driven). Pada tingkat teknis, keterbukaan ekosistem jadi kunci bagi transformasi digital dan menghadirkan cara baru berpemerintahan yang akuntabel dan accessible.
Kedua, perbaikan layanan sebagai output di hilir (service-delivery) mensyaratkan beresnya dapur birokrasi sebagai pemasok input dan pelaksana proses (service manufacturing). Tertuang dalam RPJMN 2020-2024, Presiden Joko Widodo telah menempatkan transformasi pelayanan publik sebagai satu dari tujuh Prioritas Nasional (PN). Terjemahan di level daerah mesti terlihat pada strategi fokus perencanaan (RKPD), penganggaran (APBD) hingga program/kegiatan. Resonansi teknokratik yang lemah membuat pelayanan publik tidak menjadi prioritas atau hanya menjadi output sampingan dari aktivitas rutin pemerintahan.
Ketiga, berkaca dari capaian berbagai instansi yang berkepatuhan tinggi di atas, terlihat besarnya kontribusi dari fitur kepemimpinan progresif, birokrasi inovatif, serta masyarakat aktif-kolaboratif.
Standar pelayanan sejatinya adalah soal sistem sehingga fondasi institusional dan koalisi perubahan diperlukan. Determinasi figur pemimpin jelas perlu sebagai syarat awal. Namun, agar melembaga sebagai reformasi berkelanjutan, fitur kepemimpinan mesti bertransformasi menjadi kekuatan sistem (birokrasi) dan berbasis luas (jejaring perubahan). Berpadunya komitmen politik dan desain teknokratis menjadi kerangka kerja bagi hadirnya perubahan lebih mendasar ke depan.
Keempat, pengawasan atas malaadministrasi, inefisiensi, dan korupsi diperkuat. Strategi mengikis tritunggal patologi birokrasi tersebut adalah meletakkan pengawasan sebagai inti dari upaya pencegahan. Secara teknokratik, pengawasan mesti didesain sebagai instrumen akuntabilitas publik dan umpan balik perbaikan, menjadi alat kerja proteksi dan promosi tata kelola ke depan. Ukuran sukses tidak terletak pada kontrol dan sanksi, tapi adanya efek jera dan koreksi agar lebih akuntabel mengurus rakyat. Di sini wajib diperkuat pranata inspektorat (kedudukan, kewenangan, daya eksekusi dan dukungan sumber daya) serta keterbukaan bagi pengawasan eksternal dari lembaga negara (Ombudsman RI) maupun masyarakat.
Akhirnya, penting selalu disadari: inti dari seluruh proses berpemerintahan itu adalah pelayanan publik. Jelas, pelayanan publik itu politik, soal relasi rakyat sebagai warga dengan pemerintah. Pihak pertama memberikan mandat (suara dalam pemilu, pajak dalam ekonomi); pihak kedua mengonversi mandat itu ke dalam akuntabilitas kinerja. Relasi mandat dan akuntabilitas terlihat nyata pada pemenuhan layanan negara pada warga. Juga, pelayanan publik adalah hak konstitusional warga: negara tidak saja berkewajiban tetapi juga bisa ditagih dan bahkan digugat tanggung jawab dalam pemenuhannya.
Lebih lagi di masa pandemi dan ke depan, ketika ekspektasi dan ketergantungan rakyat tinggi, negara harus dibawa pulang (bringing the state back in). Tentu tak kembali dalam raut otokratik (kekuasaan), tetapi menampilkan wajah demokratik (pelayanan). Bukankah pelayanan publik menjadi tanda par excellence dari hadirnya negara (state in practice) dalam relung keseharian hidup rakyat?
Kepada negara, nasib warga dalam mengakses perlindungan dan pelayanan publik digantungkan. Jangan lagi alih-alih melayani, birokrasi malah menjadi benalu perusak tubuh negara atau lintah pengisap darah rakyatnya sendiri.
Baca Juga: koran-sindo.com
Kedua, perbaikan layanan sebagai output di hilir (service-delivery) mensyaratkan beresnya dapur birokrasi sebagai pemasok input dan pelaksana proses (service manufacturing). Tertuang dalam RPJMN 2020-2024, Presiden Joko Widodo telah menempatkan transformasi pelayanan publik sebagai satu dari tujuh Prioritas Nasional (PN). Terjemahan di level daerah mesti terlihat pada strategi fokus perencanaan (RKPD), penganggaran (APBD) hingga program/kegiatan. Resonansi teknokratik yang lemah membuat pelayanan publik tidak menjadi prioritas atau hanya menjadi output sampingan dari aktivitas rutin pemerintahan.
Ketiga, berkaca dari capaian berbagai instansi yang berkepatuhan tinggi di atas, terlihat besarnya kontribusi dari fitur kepemimpinan progresif, birokrasi inovatif, serta masyarakat aktif-kolaboratif.
Standar pelayanan sejatinya adalah soal sistem sehingga fondasi institusional dan koalisi perubahan diperlukan. Determinasi figur pemimpin jelas perlu sebagai syarat awal. Namun, agar melembaga sebagai reformasi berkelanjutan, fitur kepemimpinan mesti bertransformasi menjadi kekuatan sistem (birokrasi) dan berbasis luas (jejaring perubahan). Berpadunya komitmen politik dan desain teknokratis menjadi kerangka kerja bagi hadirnya perubahan lebih mendasar ke depan.
Keempat, pengawasan atas malaadministrasi, inefisiensi, dan korupsi diperkuat. Strategi mengikis tritunggal patologi birokrasi tersebut adalah meletakkan pengawasan sebagai inti dari upaya pencegahan. Secara teknokratik, pengawasan mesti didesain sebagai instrumen akuntabilitas publik dan umpan balik perbaikan, menjadi alat kerja proteksi dan promosi tata kelola ke depan. Ukuran sukses tidak terletak pada kontrol dan sanksi, tapi adanya efek jera dan koreksi agar lebih akuntabel mengurus rakyat. Di sini wajib diperkuat pranata inspektorat (kedudukan, kewenangan, daya eksekusi dan dukungan sumber daya) serta keterbukaan bagi pengawasan eksternal dari lembaga negara (Ombudsman RI) maupun masyarakat.
Akhirnya, penting selalu disadari: inti dari seluruh proses berpemerintahan itu adalah pelayanan publik. Jelas, pelayanan publik itu politik, soal relasi rakyat sebagai warga dengan pemerintah. Pihak pertama memberikan mandat (suara dalam pemilu, pajak dalam ekonomi); pihak kedua mengonversi mandat itu ke dalam akuntabilitas kinerja. Relasi mandat dan akuntabilitas terlihat nyata pada pemenuhan layanan negara pada warga. Juga, pelayanan publik adalah hak konstitusional warga: negara tidak saja berkewajiban tetapi juga bisa ditagih dan bahkan digugat tanggung jawab dalam pemenuhannya.
Lebih lagi di masa pandemi dan ke depan, ketika ekspektasi dan ketergantungan rakyat tinggi, negara harus dibawa pulang (bringing the state back in). Tentu tak kembali dalam raut otokratik (kekuasaan), tetapi menampilkan wajah demokratik (pelayanan). Bukankah pelayanan publik menjadi tanda par excellence dari hadirnya negara (state in practice) dalam relung keseharian hidup rakyat?
Kepada negara, nasib warga dalam mengakses perlindungan dan pelayanan publik digantungkan. Jangan lagi alih-alih melayani, birokrasi malah menjadi benalu perusak tubuh negara atau lintah pengisap darah rakyatnya sendiri.
Baca Juga: koran-sindo.com
(bmm)
tulis komentar anda