Mengakselerasi Birokrasi dan Pelayanan Publik
Kamis, 30 Juni 2022 - 11:23 WIB
Pertama, ketimpangan mutu antarpusat dan daerah masih menjadi pekerjaan rumah (PR) reformasi sektor publik. Dari 39 kementerian/lembaga, sejumlah 30 institusi meraih predikat baik atau berkepatuhan tinggi (zona hijau), sisanya masuk zona kuning (berkepatuhan sedang). Sebaliknya dengan daerah: hanya 13 provinsi mengisi papan atas (zona hijau), sementara 19 provinsi berkepatuhan sedang, bahkan 2 propinsi masuk zona merah (berkepatuhan rendah).
Pada level kabupaten/kota, terdapat 137 daerah berpredikat baik (hijau), sementara berjumlah cukup signifikan 287 daerah berkepatuhan sedang (kuning) dan 90 daerah terbilang buruk atau berkepatuhan rendah (merah).
Sketsa awal tersebut jelas janggal. Kinerja kantor-kantor pelayanan di daerah jauh ketinggalan dari kantor-kantor kebijakan di pusat, padahal locus utama layanan yang langsung bersentuhan nyata dengan keseharian rakyat berada di sana. Dalam ikhtiar merespons pandemi Covid119, hal ini menunjukkan lemahnya kapabilitas pemda dalam layanan dasar dan layanan investasi sebagai titik tumpu untuk kita bisa kembali ke jalur transformasi kesejahteraan. Ketika pola respons pandemi makin berbasis lokal, kaki-kaki sektor publik di daerah justru rapuh.
Kedua, pada level kabupaten maupun sebagian kota dan provinsi, raut masalahnya bersegi tiga: rendahnya kinerja, timpangnya capaian, memburuknya peringkat. Kinerja aneka kantor pelayanan di daerah jauh tertinggal dari kantor-kantor kebijakan di pusat. Jelas terasa, fitur kepemimpinan (leadership) dan tata kelola (governance) belum juga optimal setelah 21 tahun kita berdesentralisasi. Alih-alih, pandemi menghadirkan lingkungan persoalan baru dan tekanan tersendiri atas kapabilitas lokal.
Ketiga, banyak instansi memiliki kelemahan pada standar layanan, transparansi informasi, unit pengaduan dan layanan inklusif. Lemahnya kesadaran diri sebagai kantor layanan, serta belum bergesernya mental-model dari ciri penguasa ke pelayan rakyat dan dilapisi service-culture yang kuat, berimplikasi pada absennya kepatuhan untuk menyusun standar proses, biaya, dan waktu.
Kalaupun pemda memiliki semua elemen tersebut, sumbatan terjadi pada keterbukaan informasi. Padahal, transparansi adalah prasyarat fundamental reformasi pelayanan. Hambatan akses publik, informasi asimetris, dan ruang gelap kekuasaan membuat governansi sebagai eksosistem pembangunan sulit mewujud. Unit-unit layanan masih menggunakan cara manual sebagai kanal utama; lebih sedikit lagi yang berinovasi dan berbasis elektronik.
Transformasi digital sebatas soal ketersediaan platform, citra pajangan dan latah saja meniru daerah-daerah lain.
Keempat, dari berbagai sektor yang dijadikan objek penilaian, umumnya masalah paling banyak terjadi di sektor pendidikan dan kesehatan. Beban layanan meningkat ekstrem, sementara langgam tata kelola dan kesiapan sumber daya tak banyak berubah.
Agenda Perubahan
Pasca-pandemi ke depan, tata kelola sektor publik dan cara pemerintah merespons permintaan layanan dari warga memang tidak bisa lagi sama seperti masa sebelumnya (business as usual). Pada aras sistem, birokrasi mesti bertransformasi menjadi learning organization yang dilapisi aras individual di mana kepala pemerintahan setiap jenjang terus membangun diri sebagai pemimpin perubahan. Hasil penilaian ombudsman di atas menjadi barometer guna melihat ruang-ruang perbaikan (room for improvement) secara makro-eksosistem maupun mikro-institusional.
Pada level kabupaten/kota, terdapat 137 daerah berpredikat baik (hijau), sementara berjumlah cukup signifikan 287 daerah berkepatuhan sedang (kuning) dan 90 daerah terbilang buruk atau berkepatuhan rendah (merah).
Sketsa awal tersebut jelas janggal. Kinerja kantor-kantor pelayanan di daerah jauh ketinggalan dari kantor-kantor kebijakan di pusat, padahal locus utama layanan yang langsung bersentuhan nyata dengan keseharian rakyat berada di sana. Dalam ikhtiar merespons pandemi Covid119, hal ini menunjukkan lemahnya kapabilitas pemda dalam layanan dasar dan layanan investasi sebagai titik tumpu untuk kita bisa kembali ke jalur transformasi kesejahteraan. Ketika pola respons pandemi makin berbasis lokal, kaki-kaki sektor publik di daerah justru rapuh.
Kedua, pada level kabupaten maupun sebagian kota dan provinsi, raut masalahnya bersegi tiga: rendahnya kinerja, timpangnya capaian, memburuknya peringkat. Kinerja aneka kantor pelayanan di daerah jauh tertinggal dari kantor-kantor kebijakan di pusat. Jelas terasa, fitur kepemimpinan (leadership) dan tata kelola (governance) belum juga optimal setelah 21 tahun kita berdesentralisasi. Alih-alih, pandemi menghadirkan lingkungan persoalan baru dan tekanan tersendiri atas kapabilitas lokal.
Ketiga, banyak instansi memiliki kelemahan pada standar layanan, transparansi informasi, unit pengaduan dan layanan inklusif. Lemahnya kesadaran diri sebagai kantor layanan, serta belum bergesernya mental-model dari ciri penguasa ke pelayan rakyat dan dilapisi service-culture yang kuat, berimplikasi pada absennya kepatuhan untuk menyusun standar proses, biaya, dan waktu.
Kalaupun pemda memiliki semua elemen tersebut, sumbatan terjadi pada keterbukaan informasi. Padahal, transparansi adalah prasyarat fundamental reformasi pelayanan. Hambatan akses publik, informasi asimetris, dan ruang gelap kekuasaan membuat governansi sebagai eksosistem pembangunan sulit mewujud. Unit-unit layanan masih menggunakan cara manual sebagai kanal utama; lebih sedikit lagi yang berinovasi dan berbasis elektronik.
Transformasi digital sebatas soal ketersediaan platform, citra pajangan dan latah saja meniru daerah-daerah lain.
Keempat, dari berbagai sektor yang dijadikan objek penilaian, umumnya masalah paling banyak terjadi di sektor pendidikan dan kesehatan. Beban layanan meningkat ekstrem, sementara langgam tata kelola dan kesiapan sumber daya tak banyak berubah.
Agenda Perubahan
Pasca-pandemi ke depan, tata kelola sektor publik dan cara pemerintah merespons permintaan layanan dari warga memang tidak bisa lagi sama seperti masa sebelumnya (business as usual). Pada aras sistem, birokrasi mesti bertransformasi menjadi learning organization yang dilapisi aras individual di mana kepala pemerintahan setiap jenjang terus membangun diri sebagai pemimpin perubahan. Hasil penilaian ombudsman di atas menjadi barometer guna melihat ruang-ruang perbaikan (room for improvement) secara makro-eksosistem maupun mikro-institusional.
Lihat Juga :
tulis komentar anda