Mendobrak Batasan dalam Membaca Karya Sastra
Minggu, 26 Juni 2022 - 16:25 WIB
Jamak diketahui bahwa sebuah cerita wajib mengandung konflik. Itulah yang dijual, dipersembahkan seorang penulis untuk pembaca. Cerita tanpa konflik sama saja dengan jurnal harian. Sekalipun terdapat peristiwa luar biasa, tentu tetap dipandang kurang menarik untuk disimak. Konflik, bagaimanapun, akan membuat cerita lebih hidup, meskipun tokoh yang mengalaminya mungkin merasa setengah hidup.
Tak terhitung berapa banyak buku, baik novel maupun kumpulan cerpen, yang sudah saya baca. Ada yang membekas, ada pula yang sekadar lewat dan begitu saja terlupa isinya. Sewajarnya memang seperti itu. Sebab, memori manusia jelas terbatas, tak sanggup menampung semua yang pernah ia baca. Maka dari itu, mereka melakukan pencatatan setelah membaca, menuangkan kesan dalam bentuk ulasan karya.
Kali ini kita akan fokus kepada alasan-alasan mengapa sebuah karya begitu membekas di benak. Banyak faktor, di antaranya adalah karakter tokoh, jalinan cerita, set lokasi, juga akhir kisah yang berbeda. Khusus untuk jalinan cerita, bisa dipecah lagi jadi dua poin, yaitu irisan peristiwa dengan pembaca serta konflik yang menggugah penikmat karya untuk tetap diam dan menuntaskan semua bab.
Manusia memiliki kecenderungan lebih mengingat sesuatu yang buruk. Memori itu melekat untuk jangka waktu lama sampai nanti ada ingatan lain yang menggantikan. Jika peristiwa itu terjadi di masa kecil, ia akan mengendap di alam bawah sadar. Ketika dewasa, ingatan itu akan terakses begitu saja tanpa diminta. Dukacita akan sulit terlepas, apalagi jika tidak dibarengi dengan kesadaran bahwa tiap individu berhak bahagia.
Begitu pula saat kita membaca atau menyimak sebuah cerita. Kemalangan tokoh(-tokohnya) adalah bahan bakar penulis untuk mengikat pembaca. Kepedihan dan dukacita yang tergambar di benak pembaca akan mengantar mereka pada ingatan alam bawah sadar—ingatan-ingatan yang buruk atau kurang disukai. Dukacita itu akan bertambah dalam jika penulis dengan teganya menghadirkan akhir cerita yang tidak indah.
Sebagai makhluk hidup, tentu kita tidak ingin menderita. Kita ingin merasakan hidup nyaman dan mudah. Maka, dalam setiap usaha menggapai sesuatu, kita merapal doa dan harapan agar akhir baiklah yang kita dapatkan. Memperoleh nilai bagus dalam ujian, lulus cepat, bertemu pasangan yang baik, bekerja di tempat yang baik dan berpenghasilan cukup, berlimpahan kasih sayang tanpa batas dan syarat dari keluarga dan para sahabat, serta mendapat keturunan dengan mudah, adalah beberapa dari sekian banyak keinginan dalam hidup. Termasuk, ketika membaca sebuah kisah, inginnya mendapat akhir bahagia untuk para tokohnya.
Penulis fiksi bekerja dengan dasar konsep what if. Gagasan-gagasan atas sebuah karya sejatinya tidak memiliki batasan. Jika ada limit yang lahir, itu atas prakarsa si penulis sendiri. Konsep what if inilah yang membuka banyak kemungkinan untuk para lakon di dalam sebuah cerita. Dengan konsep ini, penulis bisa bermain-main, membangun semesta sendiri, dan menetapkan takdir karakter-karakter ciptaannya. Hal yang lumrah, memang begitulah penulis fiksi bekerja. Lumrah juga jika pembaca sampai gemas jika apa yang mereka duga akan terjadi ternyata jauh melenceng.
Saya dulu mengira, dwilogi Saman dan Larung akan berakhir bahagia, setidaknya untuk Saman dan Yasmin, dua tokoh yang paling melekat di benak saya. Membayangkan keduanya bersatu setelah sekian banyak halangan muncul, tentu akan sangat menyenangkan. Ternyata, Ayu dengan teganya menghadirkan ketetapan berbeda untuk Saman. Sebuah akhir cerita yang menghenyak. Adegannya cukup sederhana, yaitu lepasnya peluru menuju kepala Saman, tetapi itu menciptakan efek yang cukup kurang ajar sekian hari lamanya. Saya geram. Mengapa Ayu tak menulis saja bahwa Saman dan Larung selamat, lalu Saman kembali bersatu dengan Yasmin, meskipun dengan cara yang tak biasa?
Ada juga trilogi Divergent karya Veronica Roth. Sampai pertengahan buku ketiga, saya masih memiliki harapan Tris dan Four akan hidup bahagia. Lalu, sama seperti Ayu, Roth tega menghilangkan begitu saja sosok Tris di akhir cerita. Ya, meskipun Tris tidak benar-benar lenyap, ia terus hidup dalam hati Four dan Christina.
Satu lagi novel yang cukup menampar pakem di otak saya adalah The Appeal karya John Grisham. Tokoh utamanya adalah pasangan pengacara yang sudah tak lagi muda. Mereka membantu class action sekelompok orang yang tinggal dekat sebuah pabrik yang limbah kimianya dibuang begitu saja ke sungai. Sejak awal, perjuangan pasangan pengacara ini memang tidak pernah mudah, apalagi yang mereka hadapi adalah orang-orang yang memiliki dana nyaris tak terbatas untuk sekadar membungkam beberapa mulut lapar. Dan, pada akhirnya, uanglah yang menang. Pabrik itu tetap di sana dan tetap membuang limbahnya ke sungai.
Tak terhitung berapa banyak buku, baik novel maupun kumpulan cerpen, yang sudah saya baca. Ada yang membekas, ada pula yang sekadar lewat dan begitu saja terlupa isinya. Sewajarnya memang seperti itu. Sebab, memori manusia jelas terbatas, tak sanggup menampung semua yang pernah ia baca. Maka dari itu, mereka melakukan pencatatan setelah membaca, menuangkan kesan dalam bentuk ulasan karya.
Kali ini kita akan fokus kepada alasan-alasan mengapa sebuah karya begitu membekas di benak. Banyak faktor, di antaranya adalah karakter tokoh, jalinan cerita, set lokasi, juga akhir kisah yang berbeda. Khusus untuk jalinan cerita, bisa dipecah lagi jadi dua poin, yaitu irisan peristiwa dengan pembaca serta konflik yang menggugah penikmat karya untuk tetap diam dan menuntaskan semua bab.
Manusia memiliki kecenderungan lebih mengingat sesuatu yang buruk. Memori itu melekat untuk jangka waktu lama sampai nanti ada ingatan lain yang menggantikan. Jika peristiwa itu terjadi di masa kecil, ia akan mengendap di alam bawah sadar. Ketika dewasa, ingatan itu akan terakses begitu saja tanpa diminta. Dukacita akan sulit terlepas, apalagi jika tidak dibarengi dengan kesadaran bahwa tiap individu berhak bahagia.
Begitu pula saat kita membaca atau menyimak sebuah cerita. Kemalangan tokoh(-tokohnya) adalah bahan bakar penulis untuk mengikat pembaca. Kepedihan dan dukacita yang tergambar di benak pembaca akan mengantar mereka pada ingatan alam bawah sadar—ingatan-ingatan yang buruk atau kurang disukai. Dukacita itu akan bertambah dalam jika penulis dengan teganya menghadirkan akhir cerita yang tidak indah.
Sebagai makhluk hidup, tentu kita tidak ingin menderita. Kita ingin merasakan hidup nyaman dan mudah. Maka, dalam setiap usaha menggapai sesuatu, kita merapal doa dan harapan agar akhir baiklah yang kita dapatkan. Memperoleh nilai bagus dalam ujian, lulus cepat, bertemu pasangan yang baik, bekerja di tempat yang baik dan berpenghasilan cukup, berlimpahan kasih sayang tanpa batas dan syarat dari keluarga dan para sahabat, serta mendapat keturunan dengan mudah, adalah beberapa dari sekian banyak keinginan dalam hidup. Termasuk, ketika membaca sebuah kisah, inginnya mendapat akhir bahagia untuk para tokohnya.
Penulis fiksi bekerja dengan dasar konsep what if. Gagasan-gagasan atas sebuah karya sejatinya tidak memiliki batasan. Jika ada limit yang lahir, itu atas prakarsa si penulis sendiri. Konsep what if inilah yang membuka banyak kemungkinan untuk para lakon di dalam sebuah cerita. Dengan konsep ini, penulis bisa bermain-main, membangun semesta sendiri, dan menetapkan takdir karakter-karakter ciptaannya. Hal yang lumrah, memang begitulah penulis fiksi bekerja. Lumrah juga jika pembaca sampai gemas jika apa yang mereka duga akan terjadi ternyata jauh melenceng.
Saya dulu mengira, dwilogi Saman dan Larung akan berakhir bahagia, setidaknya untuk Saman dan Yasmin, dua tokoh yang paling melekat di benak saya. Membayangkan keduanya bersatu setelah sekian banyak halangan muncul, tentu akan sangat menyenangkan. Ternyata, Ayu dengan teganya menghadirkan ketetapan berbeda untuk Saman. Sebuah akhir cerita yang menghenyak. Adegannya cukup sederhana, yaitu lepasnya peluru menuju kepala Saman, tetapi itu menciptakan efek yang cukup kurang ajar sekian hari lamanya. Saya geram. Mengapa Ayu tak menulis saja bahwa Saman dan Larung selamat, lalu Saman kembali bersatu dengan Yasmin, meskipun dengan cara yang tak biasa?
Ada juga trilogi Divergent karya Veronica Roth. Sampai pertengahan buku ketiga, saya masih memiliki harapan Tris dan Four akan hidup bahagia. Lalu, sama seperti Ayu, Roth tega menghilangkan begitu saja sosok Tris di akhir cerita. Ya, meskipun Tris tidak benar-benar lenyap, ia terus hidup dalam hati Four dan Christina.
Satu lagi novel yang cukup menampar pakem di otak saya adalah The Appeal karya John Grisham. Tokoh utamanya adalah pasangan pengacara yang sudah tak lagi muda. Mereka membantu class action sekelompok orang yang tinggal dekat sebuah pabrik yang limbah kimianya dibuang begitu saja ke sungai. Sejak awal, perjuangan pasangan pengacara ini memang tidak pernah mudah, apalagi yang mereka hadapi adalah orang-orang yang memiliki dana nyaris tak terbatas untuk sekadar membungkam beberapa mulut lapar. Dan, pada akhirnya, uanglah yang menang. Pabrik itu tetap di sana dan tetap membuang limbahnya ke sungai.
Lihat Juga :
tulis komentar anda