Mendobrak Batasan dalam Membaca Karya Sastra
Minggu, 26 Juni 2022 - 16:25 WIB
Itu baru tiga di antara banyak judul. Belum lagi segambreng cerpen koran yang rata-rata memang memberi akhir twisted atau berkebalikan, atau paling tidak, akhir ceritanya tidak terduga. Tren ini tampaknya berbeda dengan karya sastra zaman dulu. Sebut saja Jane Austen dengan segenap romansa berakhir manis. Saya bahkan lupa seperti apa tepatnya akhir cerita novel Pride and Prejudice serta Mansfield Park. Sebab, ya, memang terasa kurang memberi kesan tajam. Oh, saya tidak mengatakan bahwa karya-karya Austen tidak bagus. Justru tulisan Austen digandrungi banyak perempuan karena menggambarkan impian mereka dengan detail. Saya hanya kurang menyukai jenis kisah yang dihadirkan.
Agak paradoks sebenarnya. Di satu sisi, manusia cenderung ingin sesuatu yang positif atau akhir yang bahagia. Namun, di sisi lainnya, jika melihat sesuatu yang melenceng dan tidak sesuai pakem, mereka justru berpikir soal akhir yang buruk. Ini masuk dalam mekanisme bertahan hidup, layaknya mangsa yang menginginkan pemburunya tertimpa sial, lalu mati.
Misalnya, seorang tokoh dalam cerpen tengah kelaparan dan tidak memiliki uang untuk membeli makanan. Ia lalu memutuskan untuk mencuri. Dalam benak kebanyakan pembaca, bisa jadi mereka berharap si tokoh ditangkap, lalu dihukum. Akan tetapi, penulis bisa menciptakan takdir lain yang mungkin dianggap tidak ideal. Penulis bisa membuat si pemilik toko memaafkan si pencuri, dan malah memberinya sejumlah uang dan makanan, juga menawari pekerjaan agar tidak perlu mencuri lagi.
Begitu pula sebaliknya. Yang sejak awal baik-baik saja, lancar menghadapai konflik, tetapi dapat berakhir malang. Ya, seperti Saman, juga pasangan pengacara tua itu. Lantas, apa yang bisa kita simpulkan dari penjabaran di atas? Ini bergantung pada seberapa lebar kita membuka pintu probabilitas dalam pikiran kita.
Membaca sebuah karya sastra memang sepantasnya tidak dibarengi dengan harapan muluk soal akhir yang bahagia. Perlu diingat bahwa penulisnya bisa melakukan apa pun terhadap karakter-karakter rekaannya, bahkan hal-hal yang tidak tidak pernah kita pikirkan bisa terjadi. Berharap lebih hanya akan membuat kita gemas tak keruan.
Dunia what if ini tidak terbatas. Ia terus berkembang selayaknya kemampuan manusia menghadapi hidup. Yang selalu menetapkan limit, mungkin akan sulit menyesuaikan diri dengan perubahan. Mereka mungkin akan meronta jika melihat hal-hal yang tidak pada tempatnya. Memang, limit atau batasan tetap harus dipakai agar kita tidak berakhir terjebak dalam situasi merugikan. Namun, terkadang kita harus meletakkan pikiran sejenak agar hati bisa bekerja, agar hati bisa merasa, betapa mahaluas semesta ini. Maka, membacalah dengan bijak.
Lihat Juga: Hargai Pendapat Penyair di Payakumbuh, Denny JA: Puisi Esai dan Satupena Dua Entitas Berbeda
Agak paradoks sebenarnya. Di satu sisi, manusia cenderung ingin sesuatu yang positif atau akhir yang bahagia. Namun, di sisi lainnya, jika melihat sesuatu yang melenceng dan tidak sesuai pakem, mereka justru berpikir soal akhir yang buruk. Ini masuk dalam mekanisme bertahan hidup, layaknya mangsa yang menginginkan pemburunya tertimpa sial, lalu mati.
Misalnya, seorang tokoh dalam cerpen tengah kelaparan dan tidak memiliki uang untuk membeli makanan. Ia lalu memutuskan untuk mencuri. Dalam benak kebanyakan pembaca, bisa jadi mereka berharap si tokoh ditangkap, lalu dihukum. Akan tetapi, penulis bisa menciptakan takdir lain yang mungkin dianggap tidak ideal. Penulis bisa membuat si pemilik toko memaafkan si pencuri, dan malah memberinya sejumlah uang dan makanan, juga menawari pekerjaan agar tidak perlu mencuri lagi.
Begitu pula sebaliknya. Yang sejak awal baik-baik saja, lancar menghadapai konflik, tetapi dapat berakhir malang. Ya, seperti Saman, juga pasangan pengacara tua itu. Lantas, apa yang bisa kita simpulkan dari penjabaran di atas? Ini bergantung pada seberapa lebar kita membuka pintu probabilitas dalam pikiran kita.
Membaca sebuah karya sastra memang sepantasnya tidak dibarengi dengan harapan muluk soal akhir yang bahagia. Perlu diingat bahwa penulisnya bisa melakukan apa pun terhadap karakter-karakter rekaannya, bahkan hal-hal yang tidak tidak pernah kita pikirkan bisa terjadi. Berharap lebih hanya akan membuat kita gemas tak keruan.
Dunia what if ini tidak terbatas. Ia terus berkembang selayaknya kemampuan manusia menghadapi hidup. Yang selalu menetapkan limit, mungkin akan sulit menyesuaikan diri dengan perubahan. Mereka mungkin akan meronta jika melihat hal-hal yang tidak pada tempatnya. Memang, limit atau batasan tetap harus dipakai agar kita tidak berakhir terjebak dalam situasi merugikan. Namun, terkadang kita harus meletakkan pikiran sejenak agar hati bisa bekerja, agar hati bisa merasa, betapa mahaluas semesta ini. Maka, membacalah dengan bijak.
Lihat Juga: Hargai Pendapat Penyair di Payakumbuh, Denny JA: Puisi Esai dan Satupena Dua Entitas Berbeda
(hdr)
tulis komentar anda