Polemik Nama JIS: Mau Nginggris atau Ngindonesia?
Sabtu, 14 Mei 2022 - 13:27 WIB
Sementara itu, dalam Perpres yang diteken Jokowi, Perpres Nomor 63 Tahun 2019, kewajiban penggunaan bahasa Indonesia dalam fasilitas publik tercantum dalam Pasal 33. Stadion olahraga masuk bangunan atau gedung yang diwajibkan menggunakan bahasa Indonesia. Pertanyaannya, apakah ada sanksi tegas jika tidak melaksanakan bunyi UU tersebut?
Berbeda dengan pernyataan Wakil Gubernur DKI ini, sebenarnya di satu sisi saya lebih kagum terhadap Gubernur DKI Anies Baswedan dalam hal "kata-kata". Ia beberapa kali menganjurkan penggunaan dan pemakaian bahasa Indonesia di ruang-ruang publik. Misalnya, beliau sudah memperkenalkan nama MRT (baca: em-er-te), singkatan dari “Moda Raya Terpadu”, bukan Mass Rapid Transit (MRT, dibaca em-ar-ti), yang nginggris.
Anies bahkan menamakan kereta MRT pertama itu "Ratangga". Ratangga, yang berarti "kereta perang", diambil dari kitab Arjuna Wijaya dan Sutasoma karya Mpu Tantular. Dalam bahasa Sanskerta, Ratangga artinya "roda" atau "kereta". Ini mau menunjukkan bahwa MRT tersebut dibangun oleh putra-putri Indonesia dengan kerja keras dan perjuangan. Nah, betul-betul ngindonesia sekali, bukan? Saat ini saya sedang menunggu pernyataan beliau terkait penamaan gedung atau stadion baru ini.
Dulu, ada gubernur yang mewajibkan "Indonesianisasi" istilah, misalnya, mall menjadi “mal”, Satay House Senayan menjadi “Satè Khas Senayan”, Boulevard menjadi “Bulevar”, dan lain-lain. Namun, apa boleh buat, kini kita kebanyakan sudah telanjur lebih senang nginggris (atau bahasa Jaksel).
Anda tahu tidak? Kebiasaan nginggris ini bisa mengakibatkan harga-harga menjadi mahal. Ini buktinya:
Kopi Hitam Rp3.000 - Black Coffee Rp15.000
Es Teh Manis Rp2.000 - Ice Tea Rp15.000
Mendoan Rp5.000 - Crispy Salty Soya Bean Rp20.000
Pecel Rp5.000 - Javanese Salad with Peanut Sauce Rp25.000
Perumahan Tepi Sungai Rp300juta/unit - Riverside Residence Rp900juta/unit.
Berbeda dengan pernyataan Wakil Gubernur DKI ini, sebenarnya di satu sisi saya lebih kagum terhadap Gubernur DKI Anies Baswedan dalam hal "kata-kata". Ia beberapa kali menganjurkan penggunaan dan pemakaian bahasa Indonesia di ruang-ruang publik. Misalnya, beliau sudah memperkenalkan nama MRT (baca: em-er-te), singkatan dari “Moda Raya Terpadu”, bukan Mass Rapid Transit (MRT, dibaca em-ar-ti), yang nginggris.
Anies bahkan menamakan kereta MRT pertama itu "Ratangga". Ratangga, yang berarti "kereta perang", diambil dari kitab Arjuna Wijaya dan Sutasoma karya Mpu Tantular. Dalam bahasa Sanskerta, Ratangga artinya "roda" atau "kereta". Ini mau menunjukkan bahwa MRT tersebut dibangun oleh putra-putri Indonesia dengan kerja keras dan perjuangan. Nah, betul-betul ngindonesia sekali, bukan? Saat ini saya sedang menunggu pernyataan beliau terkait penamaan gedung atau stadion baru ini.
Dulu, ada gubernur yang mewajibkan "Indonesianisasi" istilah, misalnya, mall menjadi “mal”, Satay House Senayan menjadi “Satè Khas Senayan”, Boulevard menjadi “Bulevar”, dan lain-lain. Namun, apa boleh buat, kini kita kebanyakan sudah telanjur lebih senang nginggris (atau bahasa Jaksel).
Anda tahu tidak? Kebiasaan nginggris ini bisa mengakibatkan harga-harga menjadi mahal. Ini buktinya:
Kopi Hitam Rp3.000 - Black Coffee Rp15.000
Es Teh Manis Rp2.000 - Ice Tea Rp15.000
Mendoan Rp5.000 - Crispy Salty Soya Bean Rp20.000
Pecel Rp5.000 - Javanese Salad with Peanut Sauce Rp25.000
Perumahan Tepi Sungai Rp300juta/unit - Riverside Residence Rp900juta/unit.
tulis komentar anda