Polemik Nama JIS: Mau Nginggris atau Ngindonesia?

Sabtu, 14 Mei 2022 - 13:27 WIB
loading...
Polemik Nama JIS: Mau Nginggris atau Ngindonesia?
BARU-BARU ini muncul polemik penamaan gedung Jakarta International Stadium (JIS) di Jakarta yang menggunakan bahasa asing. Foto/SINDOnews
A A A
Febry Silaban
Pegiat Bahasa
Alumnus Magister Kebijakan Publik dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia.

BARU-BARU ini muncul polemik penamaan gedung Jakarta International Stadium (JIS) di Jakarta yang menggunakan bahasa asing. Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria mengatakan penamaan gedung tersebut masih menggunakan bahasa asing atau bahasa Inggris karena mengikuti Jakarta sebagai kota dunia.

Menurut saya, justru logikanya begini, karena Jakarta kota dunia, gedung tersebut seharusnya dinamakan dalam bahasa Indonesia. Mengapa? Inilah momennya menunjukkan kekuatan bahasa Indonesia kita ke dunia internasional. Ini kok malah bangga memakai bahasa asing dan malu memakai bahasa negaranya sendiri.

Wagub DKI ini juga menyampaikan alasan lain pemilihan nama JIS, yaitu di Jakarta banyak warga asing. Tentu alasan ini semakin aneh. Justru orang asing seharusnya belajar dan perlu tahu bahasa Indonesia di negara ini. Kita juga perlu memperkenalkannya. Bukan kita yang mengalah dan mengikuti bahasa mereka.

Negara di luar sana begitu senang dan bangga menggunakan bahasanya sendiri untuk memperkenalkan stadionnya, seperti Stade de France, Santiago Bernabéu Stadium, San Siro, dan lain-lain. Sementara, negara kita sendiri mengapa tidak bangga memperkenalkan dan menggunakan nama stadion dalam bahasa Indonesia?

Lagipula, apakah pejabat kita sudah membaca aturan atau UU bahwa penamaan bangunan atau gedung wajib menggunakan bahasa Indonesia? Undang-undang yang dimaksud adalah UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.

Begini bunyi UU 24/2019 Pasal 36 ayat 3: “Bahasa Indonesia wajib digunakan untuk nama bangunan atau gedung, jalan, apartemen atau permukiman, perkantoran, kompleks perdagangan, merek dagang, lembaga usaha, lembaga pendidikan, organisasi yang didirikan atau dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia.”

Sementara itu, dalam Perpres yang diteken Jokowi, Perpres Nomor 63 Tahun 2019, kewajiban penggunaan bahasa Indonesia dalam fasilitas publik tercantum dalam Pasal 33. Stadion olahraga masuk bangunan atau gedung yang diwajibkan menggunakan bahasa Indonesia. Pertanyaannya, apakah ada sanksi tegas jika tidak melaksanakan bunyi UU tersebut?

Berbeda dengan pernyataan Wakil Gubernur DKI ini, sebenarnya di satu sisi saya lebih kagum terhadap Gubernur DKI Anies Baswedan dalam hal "kata-kata". Ia beberapa kali menganjurkan penggunaan dan pemakaian bahasa Indonesia di ruang-ruang publik. Misalnya, beliau sudah memperkenalkan nama MRT (baca: em-er-te), singkatan dari “Moda Raya Terpadu”, bukan Mass Rapid Transit (MRT, dibaca em-ar-ti), yang nginggris.

Anies bahkan menamakan kereta MRT pertama itu "Ratangga". Ratangga, yang berarti "kereta perang", diambil dari kitab Arjuna Wijaya dan Sutasoma karya Mpu Tantular. Dalam bahasa Sanskerta, Ratangga artinya "roda" atau "kereta". Ini mau menunjukkan bahwa MRT tersebut dibangun oleh putra-putri Indonesia dengan kerja keras dan perjuangan. Nah, betul-betul ngindonesia sekali, bukan? Saat ini saya sedang menunggu pernyataan beliau terkait penamaan gedung atau stadion baru ini.

Dulu, ada gubernur yang mewajibkan "Indonesianisasi" istilah, misalnya, mall menjadi “mal”, Satay House Senayan menjadi “Satè Khas Senayan”, Boulevard menjadi “Bulevar”, dan lain-lain. Namun, apa boleh buat, kini kita kebanyakan sudah telanjur lebih senang nginggris (atau bahasa Jaksel).

Anda tahu tidak? Kebiasaan nginggris ini bisa mengakibatkan harga-harga menjadi mahal. Ini buktinya:
Kopi Hitam Rp3.000 - Black Coffee Rp15.000
Es Teh Manis Rp2.000 - Ice Tea Rp15.000
Mendoan Rp5.000 - Crispy Salty Soya Bean Rp20.000
Pecel Rp5.000 - Javanese Salad with Peanut Sauce Rp25.000
Perumahan Tepi Sungai Rp300juta/unit - Riverside Residence Rp900juta/unit.

Bahkan, contoh yang lebih parah, ada pertandingan sepakbola yang memperebutkan piala bupati dinamakan "Bupati Cup". Ayo, ada yang tahu, itu bahasa apa? Kalau menurut saya, itu bahasa gado-gado. Inggris tidak, Indonesia pun tidak. Mengapa tidak dibikin saja Regent's Cup atau "Piala Bupati"?

Atau memang sudah tidak ada kebanggaan lagi bagi kita menggunakan bahasa Indonesia?
(kri)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1139 seconds (0.1#10.140)