Penegakan Kasus HAM di Papua Harus Transparan

Sabtu, 20 Juni 2020 - 22:20 WIB
Sejak kembalinya ke pangkuan Ibu Pertiwi Indonesia, Papua telah meraih banyak kemajuan, apalagi di era Presiden Jokowi. Namun, masalah penegakan hukum kasus pelanggaran HAM masih terasa jauh dari harapan.

Bung Karno pada pidato Proklamasi 17 Agustus 1951 di Medan, Sumatera Utara mengatakan: “Hukum ini buat segala zaman, buat segala tempat, buat segala warna kulit, buat segala agama dan ideologi...... Hak-hak Asasi Manusia itu, satu konstitusi yang dapat kamu banggakan, satu konstitusi yang dapat kamu teladani” (Wawan Tunggul Alam, 2001: hal. 131).

Pada kenyataannya, dalam ekspresi damai tersebut, terjadi pembakaran rumah dan kios ataupun kerusakan ikutan lainnya yang ditimbulkan, tentunya ini menjadi kejahatan terpisah. Akibat ulah “provokator” yang menyusup masuk diantara massa pendemo damai tersebut.

Dalam situasi yang demikian, negara cukup menggunakan hukum pidananya untuk menginvestigasi orang-orang yang terlibat dalam aksi-aksi yang menggunakan kekerasan. Jangan digeneralisir perbuatannya, apalagi seolah semuanya melakukan kejahatan melawan negara. Negara harus bisa memisahkan mana perbuatan yang benar-benar kriminal, makar dan mana yang bukan kriminal dan bukan makar.

Kita sesalkan adanya oknum-oknum Papua yang tega membakar kios-kios saudaranya yang berasal dari luar Papua. Hal ini pasti menimbulkan kemarahan bagi mereka yang merasa dirugikan.

Konflik-konflik ini harus segera diatasi terutama oleh pejabat pemerintahan di Papua agar tidak melebarkan jurang kebencian dan dendam antar sesama anak bangsa Indonesia. Jangan sampai nilai-nilai kebangsaan yang kita junjung tinggi seperti Pancasila, UUD 1945, Bhinneka tunggal Ika serta Reformasi yang terus kita kobarkan dengan semangat demokrasi dan keadilan sirna karena rezim pemerintah yang terus silih berganti tidak mampu melindungi rakyatnya.

Profesor Thoby Mutis (Rektor Universitas Trisakti) dalam bukunya Manajemen Kemajemukan – Sebuah Keniscayaan Untuk Mengelola Kebhinnekaan Manusia Indonesia Visi 2030 (Universitas Trisakti, Jakarta, 2008: hal. 5) mengatakan: “Arti sebagai bangsa dan warga negara Indonesia menjadi kabur, manakala dirasakan bahwa menjadi Indonesia hanya sebuah nama tanpa makna”.
(mpw)
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More