Penegakan Kasus HAM di Papua Harus Transparan
Sabtu, 20 Juni 2020 - 22:20 WIB
PAPUA - Ambassador Freddy Numberi
Sesepuh Masyarakat Papua
SEJAK reformasi bergulir dan jatuhnya Soeharto pada 21 Mei 1998, negeri ini telah dipimpin oleh lima orang Presiden, yaitu B.J. Habibie (21 Mei 1998 – 20 Oktober 1999), Abdurrachman Wahid (20 Oktober 1999 – 23 Juli 2001), Megawati Soekarnoputri (23 Juli 2001 – 20 Oktober 2004), Susilo Bambang Yudhoyono (20 Oktober 2004 – 20 Oktober 2009 dan 20 Oktober 2009 – 20 Oktober 2014), dan Joko Widodo (20 Oktober 2014 – 20 Oktober 2019 dan 20 Oktober 2019 – sekarang).
Para keluarga korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) mengatakan bahwa kasus pelanggaran HAM masa lalu tidak terselesaikan dengan tuntas. Waktu terus bergulir dan terbuang sia-sia, apalagi korban yang berjatuhan sebelum reformasi, sebagai contoh terjadi di Papua sejak 1962. Dengan terpilihnya Ir. Joko Widodo sebagai Presiden RI ke-6, keluarga para korban tersebut sangat mengharapkan adanya kebijakan untuk mengungkapkan kebenaran dan penegakan keadilan secara transparan dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM ini.
Kondisi yang tidak diinginkan keluarga para korban adalah adanya impunitas (kondisi-kondisi ketiadaan hukuman walaupun telah jelas ada yang melanggar hukum). Oleh karena itu, selesaikanlah kasus-kasus hukum dan pelanggaran HAM yang mereka alami. Undang-Undang Otonomi khusus telah memerintahkan Pemerintah untuk mendirikan Komisi HAM, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, dan Pengadilan HAM. Semuanya berkedudukan di Papua. Mengapa mandat ini belum juga dilaksanakan?
Pemerintah kerap berdalih bahwa pelanggaran HAM itu terjadi karena adanya ancaman terhadap keutuhan wilayah negara. Apakah benar? Jangan-jangan ini hanya ilusi yang tak berdasar. Mengapa saya katakan demikian? Sebab permasalahan status Papua berkaitan dengan keutuhan NKRI sejak kembalinya ke Indonesia sudah tuntas dan final dengan adanya Resolusi PBB No. 205 (XXIV), tanggal 19 November 1969 dengan hasil 84 negara setuju, negara yang tidak setuju nihil, 30 negara abstain/blanko, dan yang tidak hadir sebanyak 12 negara.
John Saltford dalam bukunya The United Nations and The Indonesian Takeover West Papua 1962-1969, The Anatomy of Betrayal (Routledge Curzon, New York, 2003: hal. 8) mengatakan: “Oleh karena itu, di bawah prinsip uti possidetis juris, West New guinea (WNG) sah milik Indonesia. Jika Belanda memberikan kemerdekaan kepada WNG, maka akan menjadi tindakan separatisme terhadap Indonesia”.
Sejak menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-60 tanggal 28 September 1950, kemudian Indonesia keluar tahun 1965 (konflik dengan malaysia) dan kembali bergabung tahun 1966. Indonesia telah ikut meratifikasi sejumlah piagam maupun konvensi-konvensi PBB yang melindungi HAM dalam bentuk undang-undang Republik Indonesia.
Dalam era globalisasi dewasa ini, kita perlu lebih berhati-hati dalam menjatuhkan hukuman bagi mereka yang melakukan “ekspresi politik dengan cara damai”. Karena ini akan menjadi sumber kebencian rakyat terhadap rezim pemerintah yang ada, apalagi jika berkaitan dengan orang Papua yang merasa dirinya selama ini “terabaikan” dan “didiskriminasi”.
Sesepuh Masyarakat Papua
SEJAK reformasi bergulir dan jatuhnya Soeharto pada 21 Mei 1998, negeri ini telah dipimpin oleh lima orang Presiden, yaitu B.J. Habibie (21 Mei 1998 – 20 Oktober 1999), Abdurrachman Wahid (20 Oktober 1999 – 23 Juli 2001), Megawati Soekarnoputri (23 Juli 2001 – 20 Oktober 2004), Susilo Bambang Yudhoyono (20 Oktober 2004 – 20 Oktober 2009 dan 20 Oktober 2009 – 20 Oktober 2014), dan Joko Widodo (20 Oktober 2014 – 20 Oktober 2019 dan 20 Oktober 2019 – sekarang).
Para keluarga korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) mengatakan bahwa kasus pelanggaran HAM masa lalu tidak terselesaikan dengan tuntas. Waktu terus bergulir dan terbuang sia-sia, apalagi korban yang berjatuhan sebelum reformasi, sebagai contoh terjadi di Papua sejak 1962. Dengan terpilihnya Ir. Joko Widodo sebagai Presiden RI ke-6, keluarga para korban tersebut sangat mengharapkan adanya kebijakan untuk mengungkapkan kebenaran dan penegakan keadilan secara transparan dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM ini.
Kondisi yang tidak diinginkan keluarga para korban adalah adanya impunitas (kondisi-kondisi ketiadaan hukuman walaupun telah jelas ada yang melanggar hukum). Oleh karena itu, selesaikanlah kasus-kasus hukum dan pelanggaran HAM yang mereka alami. Undang-Undang Otonomi khusus telah memerintahkan Pemerintah untuk mendirikan Komisi HAM, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, dan Pengadilan HAM. Semuanya berkedudukan di Papua. Mengapa mandat ini belum juga dilaksanakan?
Pemerintah kerap berdalih bahwa pelanggaran HAM itu terjadi karena adanya ancaman terhadap keutuhan wilayah negara. Apakah benar? Jangan-jangan ini hanya ilusi yang tak berdasar. Mengapa saya katakan demikian? Sebab permasalahan status Papua berkaitan dengan keutuhan NKRI sejak kembalinya ke Indonesia sudah tuntas dan final dengan adanya Resolusi PBB No. 205 (XXIV), tanggal 19 November 1969 dengan hasil 84 negara setuju, negara yang tidak setuju nihil, 30 negara abstain/blanko, dan yang tidak hadir sebanyak 12 negara.
John Saltford dalam bukunya The United Nations and The Indonesian Takeover West Papua 1962-1969, The Anatomy of Betrayal (Routledge Curzon, New York, 2003: hal. 8) mengatakan: “Oleh karena itu, di bawah prinsip uti possidetis juris, West New guinea (WNG) sah milik Indonesia. Jika Belanda memberikan kemerdekaan kepada WNG, maka akan menjadi tindakan separatisme terhadap Indonesia”.
Sejak menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-60 tanggal 28 September 1950, kemudian Indonesia keluar tahun 1965 (konflik dengan malaysia) dan kembali bergabung tahun 1966. Indonesia telah ikut meratifikasi sejumlah piagam maupun konvensi-konvensi PBB yang melindungi HAM dalam bentuk undang-undang Republik Indonesia.
Dalam era globalisasi dewasa ini, kita perlu lebih berhati-hati dalam menjatuhkan hukuman bagi mereka yang melakukan “ekspresi politik dengan cara damai”. Karena ini akan menjadi sumber kebencian rakyat terhadap rezim pemerintah yang ada, apalagi jika berkaitan dengan orang Papua yang merasa dirinya selama ini “terabaikan” dan “didiskriminasi”.
tulis komentar anda