Papua, Jalan Kebudayaan dan Transformasi Pembangunan
Jum'at, 08 April 2022 - 13:58 WIB
Dengan gambaran seperti itu, saya melihat setidaknya ada 4 (empat) akar masalah di Papua yang harus dituntaskan.
Pertama, proses integrasi politik, ekonomi, sosial dan budaya yang belum sepenuhnya tuntas. Soal integrasi wilayah Papua ke NKRI tentu tak bisa ditawar lagi. Yang menjadi masalah adalah cara pandang pemimpin dan para pendukung Papua Merdeka yang masih mempermasalahkan soal integrasi. Soal ini sangat pelik. Sejak 1964, gerakan menuntut kemerdekaan selalu muncul, baik secara politik maupun perlawanan bersenjata yang bahkan masih bertahan hingga saat ini. Karena adanya tuntutan kemerdekaan itulah maka terjadi operasi militer dan kebijakan represif pada masa Orde Baru.
Kedua, siklus kekerasan. Akar masalah kedua adalah kekerasan negara pada masa lalu dan tuduhan pelanggaran HAM akibat kebijakan represif. Akibatnya, terbangun suasana konflik yang berkepanjangan dan menyebabkan trauma masayarakat Papua. Hal ini ditambah masih banyaknya Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) yang bahkan secara terang-terangan melakukan perlawanan terhadap aparat. Ini tentu akan berpengaruh terhadap proses pembangunan di Papua.
Ketiga, tidak optimalnya pembangunan infrastruktur sosial di Papua, khususnya di bidang pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi rakyat. Hal ini kemudian berimbas pada rendahnya keterlibatan masyarakat asli Papua terhadap sektor-sektor itu. Keempat, marginalisasi dan efek diskriminasi terhadap orang asli Papua. Hal ini akibat konflik politik yang berkepanjangan, terurama di masa lalu yang akibatnya berlangsung hingga saat ini.
Keempat akar masalah itulah yang punya andil besar terhadap keberlangsungan masa depan Papua saat ini dan di masa depan. Karena itu perlu dilakukan diagnosa yang tepat untuk mengurai keempat masalah di atas, sehingga persoalan Papua bisa ditangani dengan tepat. Di sinilah saya melihat pendekatan baru yang tepat untuk membangun Papua yang lebih baik adalah melalui jalan kebudayaan dan transformasi pembangunan dari ekskusif ke inklusif.
Pertama, pembangunan di Papua, apapun itu bentuknya, harus berpijak dan berlandas pada jalan kebudayaan/pendekatan budaya. Artinya pembangunan di tanah Papua harus berlandaskan pada nilai, tradisi, etika, norma, budaya, hukum adat, serta aturan-aturan khusus yang dimiliki masyarakat Papua.
Kurang berhasilnya pembangunan di Papua selama ini saya melihat karena pembangunan tercerabut dari akar tradisi masyarakat asli Papua, serta memaksakan cara pandang luar terhadap masyarakat asli Papua. Jalan kebudayaan akan mampu membangun kohesivitas dan solidaritas sosial, menjadikan masyarakat asli Papua merasa memiliki, tidak terasing di tanah kelahiranya, dan lebih dari itu, jalan kebudayaan tidak akan menyebabkan pembangunan menjadi sangkar besi bagi masyarakat asli Papua sendiri.
Jalan kebudayaan menawarkan dialog yang memandang manusia sebagai manusia dan bagian anak kandung bangsa sendiri. Jalan kebudayaan juga akan mampu menjadi jalan bagi pengelolaan konflik akibat akumulasi persoalan di masa lalu yang telah menjadi trauma bagi masyarakat Papua.
Kita harus yakin bahwa Papua dengan beragam suku dan budaya yang dimiliki adalah modal penting, baik modal sosial, modal kultural, maupun modal spiritual, bagi masa depan Papua itu sendiri. Itulah esensi jalan kebudayaan bagi pembangunan Papua di masa depan.
Kedua, masa depan Papua hanya bisa diwujudkan dengan melakukan transformasi dari pembangunan yang bersifat eksklusif ke Inklusif. Pendekatan eksklusif pada masa lalu (Orde Baru) di bumi Papua telah menciptakan pertumbuhan yang buruk dan mengarah pada pengucilan atau eksklusi sosial masyarakat Papua sendiri. Pembangunan inklusif di Papua adalah sebuah model pembangunan yang dalam pelaksanaannya harus melakukan dua hal sekaligus, yakni pelaksanaan demokrasi langsung dan dan distribusi infrastruktur sosial.
Pertama, proses integrasi politik, ekonomi, sosial dan budaya yang belum sepenuhnya tuntas. Soal integrasi wilayah Papua ke NKRI tentu tak bisa ditawar lagi. Yang menjadi masalah adalah cara pandang pemimpin dan para pendukung Papua Merdeka yang masih mempermasalahkan soal integrasi. Soal ini sangat pelik. Sejak 1964, gerakan menuntut kemerdekaan selalu muncul, baik secara politik maupun perlawanan bersenjata yang bahkan masih bertahan hingga saat ini. Karena adanya tuntutan kemerdekaan itulah maka terjadi operasi militer dan kebijakan represif pada masa Orde Baru.
Kedua, siklus kekerasan. Akar masalah kedua adalah kekerasan negara pada masa lalu dan tuduhan pelanggaran HAM akibat kebijakan represif. Akibatnya, terbangun suasana konflik yang berkepanjangan dan menyebabkan trauma masayarakat Papua. Hal ini ditambah masih banyaknya Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) yang bahkan secara terang-terangan melakukan perlawanan terhadap aparat. Ini tentu akan berpengaruh terhadap proses pembangunan di Papua.
Ketiga, tidak optimalnya pembangunan infrastruktur sosial di Papua, khususnya di bidang pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi rakyat. Hal ini kemudian berimbas pada rendahnya keterlibatan masyarakat asli Papua terhadap sektor-sektor itu. Keempat, marginalisasi dan efek diskriminasi terhadap orang asli Papua. Hal ini akibat konflik politik yang berkepanjangan, terurama di masa lalu yang akibatnya berlangsung hingga saat ini.
Keempat akar masalah itulah yang punya andil besar terhadap keberlangsungan masa depan Papua saat ini dan di masa depan. Karena itu perlu dilakukan diagnosa yang tepat untuk mengurai keempat masalah di atas, sehingga persoalan Papua bisa ditangani dengan tepat. Di sinilah saya melihat pendekatan baru yang tepat untuk membangun Papua yang lebih baik adalah melalui jalan kebudayaan dan transformasi pembangunan dari ekskusif ke inklusif.
Pertama, pembangunan di Papua, apapun itu bentuknya, harus berpijak dan berlandas pada jalan kebudayaan/pendekatan budaya. Artinya pembangunan di tanah Papua harus berlandaskan pada nilai, tradisi, etika, norma, budaya, hukum adat, serta aturan-aturan khusus yang dimiliki masyarakat Papua.
Kurang berhasilnya pembangunan di Papua selama ini saya melihat karena pembangunan tercerabut dari akar tradisi masyarakat asli Papua, serta memaksakan cara pandang luar terhadap masyarakat asli Papua. Jalan kebudayaan akan mampu membangun kohesivitas dan solidaritas sosial, menjadikan masyarakat asli Papua merasa memiliki, tidak terasing di tanah kelahiranya, dan lebih dari itu, jalan kebudayaan tidak akan menyebabkan pembangunan menjadi sangkar besi bagi masyarakat asli Papua sendiri.
Jalan kebudayaan menawarkan dialog yang memandang manusia sebagai manusia dan bagian anak kandung bangsa sendiri. Jalan kebudayaan juga akan mampu menjadi jalan bagi pengelolaan konflik akibat akumulasi persoalan di masa lalu yang telah menjadi trauma bagi masyarakat Papua.
Kita harus yakin bahwa Papua dengan beragam suku dan budaya yang dimiliki adalah modal penting, baik modal sosial, modal kultural, maupun modal spiritual, bagi masa depan Papua itu sendiri. Itulah esensi jalan kebudayaan bagi pembangunan Papua di masa depan.
Kedua, masa depan Papua hanya bisa diwujudkan dengan melakukan transformasi dari pembangunan yang bersifat eksklusif ke Inklusif. Pendekatan eksklusif pada masa lalu (Orde Baru) di bumi Papua telah menciptakan pertumbuhan yang buruk dan mengarah pada pengucilan atau eksklusi sosial masyarakat Papua sendiri. Pembangunan inklusif di Papua adalah sebuah model pembangunan yang dalam pelaksanaannya harus melakukan dua hal sekaligus, yakni pelaksanaan demokrasi langsung dan dan distribusi infrastruktur sosial.
tulis komentar anda