Papua, Jalan Kebudayaan dan Transformasi Pembangunan
Jum'at, 08 April 2022 - 13:58 WIB
A Muhaimin Iskandar
Wakil Ketua DPR RI, Ketua Umum DPP PKB
BUMI Cendrawasih terus bergolak. Perdamaian yang kita damba hingga kini belum terwujud di tanah Papua. Wilayah itu terus dikoyak serangkaian konflik bersenjata. Sepanjang perjalanan Orde Baru hingga Reformasi yang telah berjalan hampir 24 tahun, aksi dan konflik kekerasan yang melibatkan aparat keamanan dan kelompok sparatis masih terus terjadi.
Pertanyaan besarnya kemudian, sampai kapan konflik di tanah Papua akan berlangsung? Pendekatan seperti apa yang harus dilakukan untuk mengakhiri konflik? Pembangunan seperti apakah yang harus dilakukan di Bumi Cedrawasih? Itulah saya kira beberapa pertanyaan fundamental yang harus kita tuntaskan terlebih dahulu guna membangun Papua yang lebih adil, damai, serta mengakhiri kekerasan di Papua.
Dalam konteks menyelesaikan konflik di Bumi Cendrawasih secara komprehensif, tampaknya tak ada jalan lain selain melakukannya melalui pendekatan baru untuk Papua yang lebih baik. Pendekatan yang paling tepat saya kira adalah melalui jalan kebudayaan dan transformasi pembangunan.
Dalam perjalanan sejarah bangsa, Gus Dur (Abdurrahman Wahid), harus diakui adalah salah satu tokoh yang mampu merangkul warga Papua melalui serangkaian langkah dan kebijakan yang diambil. Langkah penyelesaian konflik keamanan di Papua beliau lakukan dengan pertama-tama mengundang beberapa tokoh kunci, tak terkecuali pihak Gerakan Papua Merdeka saat itu, untuk berdialog dan mendengar keluh kesah warga Papua. Ini dilakukan Gus Dur pada 30 Desember 1999, tak lama setelah beliau dilantik sebagai Presiden RI ke-4.
Langkah Gus Dur inilah yang menurut hemat saya merupakan bentuk dialog melalui--apa yang saya sebut sebagai--penghampiran ruang batin masyarakat Papua. Dengan model ini, warga Papua merasa dihargai sisi kemanusiaan mereka pada satu sisi, dan pada sisi lain merasa ikut dilibatkan dalam menentukan masa depan mereka sendiri. Negara dalam konteks seperti itu telah menempatkan warga Papua sebagai anak bangsa dengan seluruh tradisi, adat istiadat serta identitas kebudayaan yang dimilikinya.
Fondasi sebagaimana pernah dilakukan Gus Dur tampaknya menemukan nilai urgensitasnya untuk dirajut kembali dalam penyelesaian masalah Papua saat ini. Tentu dengan melihat konteks dan situasi Papua terkini. Dalam konteks inilah, pendekatan baru untuk Papua yang lebih baik hemat saya harus dilakukan melalui jalan kebudayaan dan penghampiran ruang batin masyarakat Papua.
Mengapa jalan kebudayaan? Perosalan di Papua sangatlah kompleks. Di sana persoalan ekonomi, sosial, budaya, politik, bahkan keamanan saling berkelindan. Persoalan Papua bukan hanya masalah kemiskinan semata. Lebih dari itu, masalah Papua sangat erat dengan ekslusi sosial dalam berbagai hak dasar masyarakat asli Papua, mulai politik, keadilan, pemerataan dan kebudayaan.
Papua adalah wilayah yang sangat besar. Luasnya hampir 3,5 kali pulau Jawa. Sementara penduduknya hanya 1% dari total penduduk Indonesia. Sekitar 2,5 juta jiwa. 70% nya tinggal di pedesaan, terpencar di lereng-lereng gunung, lembah-lembah, serta celah-celah bukit yang sulit dijangkau. Bukan hanya itu, di Papua juga terdapat 250 kelompok etnis/suku dengan kebiasaan-kebiasaan, kultur, bahasa, praktik-praktik serta agama/kepercayaan asli. Ditambah ada 100 kelompok etnis non-Papua. Itu kita belum berbicara soal kekayaan sumber daya alamnya, soal infrastruktur dan lain-lain.
Wakil Ketua DPR RI, Ketua Umum DPP PKB
BUMI Cendrawasih terus bergolak. Perdamaian yang kita damba hingga kini belum terwujud di tanah Papua. Wilayah itu terus dikoyak serangkaian konflik bersenjata. Sepanjang perjalanan Orde Baru hingga Reformasi yang telah berjalan hampir 24 tahun, aksi dan konflik kekerasan yang melibatkan aparat keamanan dan kelompok sparatis masih terus terjadi.
Pertanyaan besarnya kemudian, sampai kapan konflik di tanah Papua akan berlangsung? Pendekatan seperti apa yang harus dilakukan untuk mengakhiri konflik? Pembangunan seperti apakah yang harus dilakukan di Bumi Cedrawasih? Itulah saya kira beberapa pertanyaan fundamental yang harus kita tuntaskan terlebih dahulu guna membangun Papua yang lebih adil, damai, serta mengakhiri kekerasan di Papua.
Dalam konteks menyelesaikan konflik di Bumi Cendrawasih secara komprehensif, tampaknya tak ada jalan lain selain melakukannya melalui pendekatan baru untuk Papua yang lebih baik. Pendekatan yang paling tepat saya kira adalah melalui jalan kebudayaan dan transformasi pembangunan.
Dalam perjalanan sejarah bangsa, Gus Dur (Abdurrahman Wahid), harus diakui adalah salah satu tokoh yang mampu merangkul warga Papua melalui serangkaian langkah dan kebijakan yang diambil. Langkah penyelesaian konflik keamanan di Papua beliau lakukan dengan pertama-tama mengundang beberapa tokoh kunci, tak terkecuali pihak Gerakan Papua Merdeka saat itu, untuk berdialog dan mendengar keluh kesah warga Papua. Ini dilakukan Gus Dur pada 30 Desember 1999, tak lama setelah beliau dilantik sebagai Presiden RI ke-4.
Langkah Gus Dur inilah yang menurut hemat saya merupakan bentuk dialog melalui--apa yang saya sebut sebagai--penghampiran ruang batin masyarakat Papua. Dengan model ini, warga Papua merasa dihargai sisi kemanusiaan mereka pada satu sisi, dan pada sisi lain merasa ikut dilibatkan dalam menentukan masa depan mereka sendiri. Negara dalam konteks seperti itu telah menempatkan warga Papua sebagai anak bangsa dengan seluruh tradisi, adat istiadat serta identitas kebudayaan yang dimilikinya.
Fondasi sebagaimana pernah dilakukan Gus Dur tampaknya menemukan nilai urgensitasnya untuk dirajut kembali dalam penyelesaian masalah Papua saat ini. Tentu dengan melihat konteks dan situasi Papua terkini. Dalam konteks inilah, pendekatan baru untuk Papua yang lebih baik hemat saya harus dilakukan melalui jalan kebudayaan dan penghampiran ruang batin masyarakat Papua.
Mengapa jalan kebudayaan? Perosalan di Papua sangatlah kompleks. Di sana persoalan ekonomi, sosial, budaya, politik, bahkan keamanan saling berkelindan. Persoalan Papua bukan hanya masalah kemiskinan semata. Lebih dari itu, masalah Papua sangat erat dengan ekslusi sosial dalam berbagai hak dasar masyarakat asli Papua, mulai politik, keadilan, pemerataan dan kebudayaan.
Papua adalah wilayah yang sangat besar. Luasnya hampir 3,5 kali pulau Jawa. Sementara penduduknya hanya 1% dari total penduduk Indonesia. Sekitar 2,5 juta jiwa. 70% nya tinggal di pedesaan, terpencar di lereng-lereng gunung, lembah-lembah, serta celah-celah bukit yang sulit dijangkau. Bukan hanya itu, di Papua juga terdapat 250 kelompok etnis/suku dengan kebiasaan-kebiasaan, kultur, bahasa, praktik-praktik serta agama/kepercayaan asli. Ditambah ada 100 kelompok etnis non-Papua. Itu kita belum berbicara soal kekayaan sumber daya alamnya, soal infrastruktur dan lain-lain.
tulis komentar anda