Papua, Jalan Kebudayaan dan Transformasi Pembangunan
loading...
A
A
A
A Muhaimin Iskandar
Wakil Ketua DPR RI, Ketua Umum DPP PKB
BUMI Cendrawasih terus bergolak. Perdamaian yang kita damba hingga kini belum terwujud di tanah Papua. Wilayah itu terus dikoyak serangkaian konflik bersenjata. Sepanjang perjalanan Orde Baru hingga Reformasi yang telah berjalan hampir 24 tahun, aksi dan konflik kekerasan yang melibatkan aparat keamanan dan kelompok sparatis masih terus terjadi.
Pertanyaan besarnya kemudian, sampai kapan konflik di tanah Papua akan berlangsung? Pendekatan seperti apa yang harus dilakukan untuk mengakhiri konflik? Pembangunan seperti apakah yang harus dilakukan di Bumi Cedrawasih? Itulah saya kira beberapa pertanyaan fundamental yang harus kita tuntaskan terlebih dahulu guna membangun Papua yang lebih adil, damai, serta mengakhiri kekerasan di Papua.
Dalam konteks menyelesaikan konflik di Bumi Cendrawasih secara komprehensif, tampaknya tak ada jalan lain selain melakukannya melalui pendekatan baru untuk Papua yang lebih baik. Pendekatan yang paling tepat saya kira adalah melalui jalan kebudayaan dan transformasi pembangunan.
Dalam perjalanan sejarah bangsa, Gus Dur (Abdurrahman Wahid), harus diakui adalah salah satu tokoh yang mampu merangkul warga Papua melalui serangkaian langkah dan kebijakan yang diambil. Langkah penyelesaian konflik keamanan di Papua beliau lakukan dengan pertama-tama mengundang beberapa tokoh kunci, tak terkecuali pihak Gerakan Papua Merdeka saat itu, untuk berdialog dan mendengar keluh kesah warga Papua. Ini dilakukan Gus Dur pada 30 Desember 1999, tak lama setelah beliau dilantik sebagai Presiden RI ke-4.
Langkah Gus Dur inilah yang menurut hemat saya merupakan bentuk dialog melalui--apa yang saya sebut sebagai--penghampiran ruang batin masyarakat Papua. Dengan model ini, warga Papua merasa dihargai sisi kemanusiaan mereka pada satu sisi, dan pada sisi lain merasa ikut dilibatkan dalam menentukan masa depan mereka sendiri. Negara dalam konteks seperti itu telah menempatkan warga Papua sebagai anak bangsa dengan seluruh tradisi, adat istiadat serta identitas kebudayaan yang dimilikinya.
Fondasi sebagaimana pernah dilakukan Gus Dur tampaknya menemukan nilai urgensitasnya untuk dirajut kembali dalam penyelesaian masalah Papua saat ini. Tentu dengan melihat konteks dan situasi Papua terkini. Dalam konteks inilah, pendekatan baru untuk Papua yang lebih baik hemat saya harus dilakukan melalui jalan kebudayaan dan penghampiran ruang batin masyarakat Papua.
Mengapa jalan kebudayaan? Perosalan di Papua sangatlah kompleks. Di sana persoalan ekonomi, sosial, budaya, politik, bahkan keamanan saling berkelindan. Persoalan Papua bukan hanya masalah kemiskinan semata. Lebih dari itu, masalah Papua sangat erat dengan ekslusi sosial dalam berbagai hak dasar masyarakat asli Papua, mulai politik, keadilan, pemerataan dan kebudayaan.
Papua adalah wilayah yang sangat besar. Luasnya hampir 3,5 kali pulau Jawa. Sementara penduduknya hanya 1% dari total penduduk Indonesia. Sekitar 2,5 juta jiwa. 70% nya tinggal di pedesaan, terpencar di lereng-lereng gunung, lembah-lembah, serta celah-celah bukit yang sulit dijangkau. Bukan hanya itu, di Papua juga terdapat 250 kelompok etnis/suku dengan kebiasaan-kebiasaan, kultur, bahasa, praktik-praktik serta agama/kepercayaan asli. Ditambah ada 100 kelompok etnis non-Papua. Itu kita belum berbicara soal kekayaan sumber daya alamnya, soal infrastruktur dan lain-lain.
Dengan gambaran seperti itu, saya melihat setidaknya ada 4 (empat) akar masalah di Papua yang harus dituntaskan.
Pertama, proses integrasi politik, ekonomi, sosial dan budaya yang belum sepenuhnya tuntas. Soal integrasi wilayah Papua ke NKRI tentu tak bisa ditawar lagi. Yang menjadi masalah adalah cara pandang pemimpin dan para pendukung Papua Merdeka yang masih mempermasalahkan soal integrasi. Soal ini sangat pelik. Sejak 1964, gerakan menuntut kemerdekaan selalu muncul, baik secara politik maupun perlawanan bersenjata yang bahkan masih bertahan hingga saat ini. Karena adanya tuntutan kemerdekaan itulah maka terjadi operasi militer dan kebijakan represif pada masa Orde Baru.
Kedua, siklus kekerasan. Akar masalah kedua adalah kekerasan negara pada masa lalu dan tuduhan pelanggaran HAM akibat kebijakan represif. Akibatnya, terbangun suasana konflik yang berkepanjangan dan menyebabkan trauma masayarakat Papua. Hal ini ditambah masih banyaknya Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) yang bahkan secara terang-terangan melakukan perlawanan terhadap aparat. Ini tentu akan berpengaruh terhadap proses pembangunan di Papua.
Ketiga, tidak optimalnya pembangunan infrastruktur sosial di Papua, khususnya di bidang pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi rakyat. Hal ini kemudian berimbas pada rendahnya keterlibatan masyarakat asli Papua terhadap sektor-sektor itu. Keempat, marginalisasi dan efek diskriminasi terhadap orang asli Papua. Hal ini akibat konflik politik yang berkepanjangan, terurama di masa lalu yang akibatnya berlangsung hingga saat ini.
Keempat akar masalah itulah yang punya andil besar terhadap keberlangsungan masa depan Papua saat ini dan di masa depan. Karena itu perlu dilakukan diagnosa yang tepat untuk mengurai keempat masalah di atas, sehingga persoalan Papua bisa ditangani dengan tepat. Di sinilah saya melihat pendekatan baru yang tepat untuk membangun Papua yang lebih baik adalah melalui jalan kebudayaan dan transformasi pembangunan dari ekskusif ke inklusif.
Pertama, pembangunan di Papua, apapun itu bentuknya, harus berpijak dan berlandas pada jalan kebudayaan/pendekatan budaya. Artinya pembangunan di tanah Papua harus berlandaskan pada nilai, tradisi, etika, norma, budaya, hukum adat, serta aturan-aturan khusus yang dimiliki masyarakat Papua.
Kurang berhasilnya pembangunan di Papua selama ini saya melihat karena pembangunan tercerabut dari akar tradisi masyarakat asli Papua, serta memaksakan cara pandang luar terhadap masyarakat asli Papua. Jalan kebudayaan akan mampu membangun kohesivitas dan solidaritas sosial, menjadikan masyarakat asli Papua merasa memiliki, tidak terasing di tanah kelahiranya, dan lebih dari itu, jalan kebudayaan tidak akan menyebabkan pembangunan menjadi sangkar besi bagi masyarakat asli Papua sendiri.
Jalan kebudayaan menawarkan dialog yang memandang manusia sebagai manusia dan bagian anak kandung bangsa sendiri. Jalan kebudayaan juga akan mampu menjadi jalan bagi pengelolaan konflik akibat akumulasi persoalan di masa lalu yang telah menjadi trauma bagi masyarakat Papua.
Kita harus yakin bahwa Papua dengan beragam suku dan budaya yang dimiliki adalah modal penting, baik modal sosial, modal kultural, maupun modal spiritual, bagi masa depan Papua itu sendiri. Itulah esensi jalan kebudayaan bagi pembangunan Papua di masa depan.
Kedua, masa depan Papua hanya bisa diwujudkan dengan melakukan transformasi dari pembangunan yang bersifat eksklusif ke Inklusif. Pendekatan eksklusif pada masa lalu (Orde Baru) di bumi Papua telah menciptakan pertumbuhan yang buruk dan mengarah pada pengucilan atau eksklusi sosial masyarakat Papua sendiri. Pembangunan inklusif di Papua adalah sebuah model pembangunan yang dalam pelaksanaannya harus melakukan dua hal sekaligus, yakni pelaksanaan demokrasi langsung dan dan distribusi infrastruktur sosial.
Demokrasi langsung meliputi pemenuhan sekaligus pelaksanaan hak-hak sipil dan politik masyarakat Papua, sementara distribusi infrastruktur sosial memastikan terdistribusikanya fasilitas infrastuktur sosial secara merata, yakni bidang kesehatan, pendidikan, dan perumahan. Harapanya, hal tersebut mampu mendorong partisipasi semua pihak dalam pembangunan tanah Papua karena tidak ada yang merasa tersisih dan terkucil dalam pembangunan.
Ini belum berbicara terkait Otonomi Khusus Papua. Dana Otsus plus dana infrastruktur yang dikucurkan untuk Papua dan Papua Barat hingg saat ini telah mencapai lebih Rp 138,6 triliun. Namun, harus diakui, besarnya dana tersebut belum mampu mengungkit kesejahteraan masyarakat Papua dan belum mampu melepaskan Papua dari predikat provinsi termiskin di Indonesia.
Saya ingin mengatakan, program dana Otsus selama ini telah berjalan baik khususnya di bidang infrastrukur. Tetapi dana itu belum mampu memperbaiki pembangunan sosial masyarakat Papua. Di sinilah perlunya membangun komunikasi yang lebih baik antara pemerintah pusat dengan daerah, dengan tokoh adat, serta dengan stakeholder lainya yang menjadi penggerak ekonomi Papua. Ini penting agar upaya membangun kesejahteraan Papua bisa tepat sasaran.
Singkatnya, tantangan utama dalam desain pembangunan Papua di masa depan adalah membuka keterisolasian, membuka lapangan kerja, pengentasan kemiskinan, pembangunan yang lebih merata, serta secara terus menerus membangun dialog lewat jalan-jalan kebudayaan.
Pendekatan sosial budaya – saya menyebutnya dengan istilah jalan kebudayaan- menjadi faktor penting dalam desain pembangunan Papua masa depan. Pembangunan di Papua tidak boleh hanya sektoral semata (hanya soal ekonomi dan fisik), tetapi juga harus secara sosietal, yakni pembangunan yang diarahkan pada pembangunan elemen dasar dari kehidupan sosial budaya masyarakat Papua.
Kita harus mengakhiri narasi kekerasan yang selama ini identik dan terbangun tentang Papua.
Wakil Ketua DPR RI, Ketua Umum DPP PKB
BUMI Cendrawasih terus bergolak. Perdamaian yang kita damba hingga kini belum terwujud di tanah Papua. Wilayah itu terus dikoyak serangkaian konflik bersenjata. Sepanjang perjalanan Orde Baru hingga Reformasi yang telah berjalan hampir 24 tahun, aksi dan konflik kekerasan yang melibatkan aparat keamanan dan kelompok sparatis masih terus terjadi.
Pertanyaan besarnya kemudian, sampai kapan konflik di tanah Papua akan berlangsung? Pendekatan seperti apa yang harus dilakukan untuk mengakhiri konflik? Pembangunan seperti apakah yang harus dilakukan di Bumi Cedrawasih? Itulah saya kira beberapa pertanyaan fundamental yang harus kita tuntaskan terlebih dahulu guna membangun Papua yang lebih adil, damai, serta mengakhiri kekerasan di Papua.
Dalam konteks menyelesaikan konflik di Bumi Cendrawasih secara komprehensif, tampaknya tak ada jalan lain selain melakukannya melalui pendekatan baru untuk Papua yang lebih baik. Pendekatan yang paling tepat saya kira adalah melalui jalan kebudayaan dan transformasi pembangunan.
Dalam perjalanan sejarah bangsa, Gus Dur (Abdurrahman Wahid), harus diakui adalah salah satu tokoh yang mampu merangkul warga Papua melalui serangkaian langkah dan kebijakan yang diambil. Langkah penyelesaian konflik keamanan di Papua beliau lakukan dengan pertama-tama mengundang beberapa tokoh kunci, tak terkecuali pihak Gerakan Papua Merdeka saat itu, untuk berdialog dan mendengar keluh kesah warga Papua. Ini dilakukan Gus Dur pada 30 Desember 1999, tak lama setelah beliau dilantik sebagai Presiden RI ke-4.
Langkah Gus Dur inilah yang menurut hemat saya merupakan bentuk dialog melalui--apa yang saya sebut sebagai--penghampiran ruang batin masyarakat Papua. Dengan model ini, warga Papua merasa dihargai sisi kemanusiaan mereka pada satu sisi, dan pada sisi lain merasa ikut dilibatkan dalam menentukan masa depan mereka sendiri. Negara dalam konteks seperti itu telah menempatkan warga Papua sebagai anak bangsa dengan seluruh tradisi, adat istiadat serta identitas kebudayaan yang dimilikinya.
Fondasi sebagaimana pernah dilakukan Gus Dur tampaknya menemukan nilai urgensitasnya untuk dirajut kembali dalam penyelesaian masalah Papua saat ini. Tentu dengan melihat konteks dan situasi Papua terkini. Dalam konteks inilah, pendekatan baru untuk Papua yang lebih baik hemat saya harus dilakukan melalui jalan kebudayaan dan penghampiran ruang batin masyarakat Papua.
Mengapa jalan kebudayaan? Perosalan di Papua sangatlah kompleks. Di sana persoalan ekonomi, sosial, budaya, politik, bahkan keamanan saling berkelindan. Persoalan Papua bukan hanya masalah kemiskinan semata. Lebih dari itu, masalah Papua sangat erat dengan ekslusi sosial dalam berbagai hak dasar masyarakat asli Papua, mulai politik, keadilan, pemerataan dan kebudayaan.
Papua adalah wilayah yang sangat besar. Luasnya hampir 3,5 kali pulau Jawa. Sementara penduduknya hanya 1% dari total penduduk Indonesia. Sekitar 2,5 juta jiwa. 70% nya tinggal di pedesaan, terpencar di lereng-lereng gunung, lembah-lembah, serta celah-celah bukit yang sulit dijangkau. Bukan hanya itu, di Papua juga terdapat 250 kelompok etnis/suku dengan kebiasaan-kebiasaan, kultur, bahasa, praktik-praktik serta agama/kepercayaan asli. Ditambah ada 100 kelompok etnis non-Papua. Itu kita belum berbicara soal kekayaan sumber daya alamnya, soal infrastruktur dan lain-lain.
Dengan gambaran seperti itu, saya melihat setidaknya ada 4 (empat) akar masalah di Papua yang harus dituntaskan.
Pertama, proses integrasi politik, ekonomi, sosial dan budaya yang belum sepenuhnya tuntas. Soal integrasi wilayah Papua ke NKRI tentu tak bisa ditawar lagi. Yang menjadi masalah adalah cara pandang pemimpin dan para pendukung Papua Merdeka yang masih mempermasalahkan soal integrasi. Soal ini sangat pelik. Sejak 1964, gerakan menuntut kemerdekaan selalu muncul, baik secara politik maupun perlawanan bersenjata yang bahkan masih bertahan hingga saat ini. Karena adanya tuntutan kemerdekaan itulah maka terjadi operasi militer dan kebijakan represif pada masa Orde Baru.
Kedua, siklus kekerasan. Akar masalah kedua adalah kekerasan negara pada masa lalu dan tuduhan pelanggaran HAM akibat kebijakan represif. Akibatnya, terbangun suasana konflik yang berkepanjangan dan menyebabkan trauma masayarakat Papua. Hal ini ditambah masih banyaknya Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) yang bahkan secara terang-terangan melakukan perlawanan terhadap aparat. Ini tentu akan berpengaruh terhadap proses pembangunan di Papua.
Ketiga, tidak optimalnya pembangunan infrastruktur sosial di Papua, khususnya di bidang pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi rakyat. Hal ini kemudian berimbas pada rendahnya keterlibatan masyarakat asli Papua terhadap sektor-sektor itu. Keempat, marginalisasi dan efek diskriminasi terhadap orang asli Papua. Hal ini akibat konflik politik yang berkepanjangan, terurama di masa lalu yang akibatnya berlangsung hingga saat ini.
Keempat akar masalah itulah yang punya andil besar terhadap keberlangsungan masa depan Papua saat ini dan di masa depan. Karena itu perlu dilakukan diagnosa yang tepat untuk mengurai keempat masalah di atas, sehingga persoalan Papua bisa ditangani dengan tepat. Di sinilah saya melihat pendekatan baru yang tepat untuk membangun Papua yang lebih baik adalah melalui jalan kebudayaan dan transformasi pembangunan dari ekskusif ke inklusif.
Pertama, pembangunan di Papua, apapun itu bentuknya, harus berpijak dan berlandas pada jalan kebudayaan/pendekatan budaya. Artinya pembangunan di tanah Papua harus berlandaskan pada nilai, tradisi, etika, norma, budaya, hukum adat, serta aturan-aturan khusus yang dimiliki masyarakat Papua.
Kurang berhasilnya pembangunan di Papua selama ini saya melihat karena pembangunan tercerabut dari akar tradisi masyarakat asli Papua, serta memaksakan cara pandang luar terhadap masyarakat asli Papua. Jalan kebudayaan akan mampu membangun kohesivitas dan solidaritas sosial, menjadikan masyarakat asli Papua merasa memiliki, tidak terasing di tanah kelahiranya, dan lebih dari itu, jalan kebudayaan tidak akan menyebabkan pembangunan menjadi sangkar besi bagi masyarakat asli Papua sendiri.
Jalan kebudayaan menawarkan dialog yang memandang manusia sebagai manusia dan bagian anak kandung bangsa sendiri. Jalan kebudayaan juga akan mampu menjadi jalan bagi pengelolaan konflik akibat akumulasi persoalan di masa lalu yang telah menjadi trauma bagi masyarakat Papua.
Kita harus yakin bahwa Papua dengan beragam suku dan budaya yang dimiliki adalah modal penting, baik modal sosial, modal kultural, maupun modal spiritual, bagi masa depan Papua itu sendiri. Itulah esensi jalan kebudayaan bagi pembangunan Papua di masa depan.
Kedua, masa depan Papua hanya bisa diwujudkan dengan melakukan transformasi dari pembangunan yang bersifat eksklusif ke Inklusif. Pendekatan eksklusif pada masa lalu (Orde Baru) di bumi Papua telah menciptakan pertumbuhan yang buruk dan mengarah pada pengucilan atau eksklusi sosial masyarakat Papua sendiri. Pembangunan inklusif di Papua adalah sebuah model pembangunan yang dalam pelaksanaannya harus melakukan dua hal sekaligus, yakni pelaksanaan demokrasi langsung dan dan distribusi infrastruktur sosial.
Demokrasi langsung meliputi pemenuhan sekaligus pelaksanaan hak-hak sipil dan politik masyarakat Papua, sementara distribusi infrastruktur sosial memastikan terdistribusikanya fasilitas infrastuktur sosial secara merata, yakni bidang kesehatan, pendidikan, dan perumahan. Harapanya, hal tersebut mampu mendorong partisipasi semua pihak dalam pembangunan tanah Papua karena tidak ada yang merasa tersisih dan terkucil dalam pembangunan.
Ini belum berbicara terkait Otonomi Khusus Papua. Dana Otsus plus dana infrastruktur yang dikucurkan untuk Papua dan Papua Barat hingg saat ini telah mencapai lebih Rp 138,6 triliun. Namun, harus diakui, besarnya dana tersebut belum mampu mengungkit kesejahteraan masyarakat Papua dan belum mampu melepaskan Papua dari predikat provinsi termiskin di Indonesia.
Saya ingin mengatakan, program dana Otsus selama ini telah berjalan baik khususnya di bidang infrastrukur. Tetapi dana itu belum mampu memperbaiki pembangunan sosial masyarakat Papua. Di sinilah perlunya membangun komunikasi yang lebih baik antara pemerintah pusat dengan daerah, dengan tokoh adat, serta dengan stakeholder lainya yang menjadi penggerak ekonomi Papua. Ini penting agar upaya membangun kesejahteraan Papua bisa tepat sasaran.
Singkatnya, tantangan utama dalam desain pembangunan Papua di masa depan adalah membuka keterisolasian, membuka lapangan kerja, pengentasan kemiskinan, pembangunan yang lebih merata, serta secara terus menerus membangun dialog lewat jalan-jalan kebudayaan.
Pendekatan sosial budaya – saya menyebutnya dengan istilah jalan kebudayaan- menjadi faktor penting dalam desain pembangunan Papua masa depan. Pembangunan di Papua tidak boleh hanya sektoral semata (hanya soal ekonomi dan fisik), tetapi juga harus secara sosietal, yakni pembangunan yang diarahkan pada pembangunan elemen dasar dari kehidupan sosial budaya masyarakat Papua.
Kita harus mengakhiri narasi kekerasan yang selama ini identik dan terbangun tentang Papua.
(bmm)