LPSK Tegaskan Perma Ganti Rugi Jadi Harapan Baru bagi Korban Tindak Pidana
Jum'at, 08 April 2022 - 11:17 WIB
JAKARTA - Mahkamah Agung (MA) telah mengesahkan Peraturan MA (Perma) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi kepada Korban Tindak Pidana. Hal ini pun disambut baik oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Baca juga: LPSK Terima 21 Permohonan Perlindungan Kasus Penyiksaan
Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo mengatakan, kehadiran perma ini dapat mengisi kekosongan pengaturan teknis pelaksanaan restitusi dan kompensasi yang diajukan oleh korban.
"Perma ini harapan baru bagi korban tindak pidana untuk dapat merealisaskan mekanisme ganti kerugian dalam bentuk restitusi secara nyata, tidak berhenti di atas kertas berupa putusan pengadilan saja," kata Hasto di Jakarta, Jumat (8/4/2022).
Hasto mewakili lembaganya, mengaku kesulitan saat banyaknya korban tindak pidana meminta bantuan soal pembayaran ganti rugi yang telah diketok palu oleh pengadilan.
Dia pun menekankan, konteks yang terjadi kemarin itu dikarenakan kekosongan pengaturan dalam aspek teknis pelaksanaan eksekusi atas putusan pengadilan.
"LPSK mengalami kendala untuk memastikan korban tindak pidana benar-benar menerima pemberian restitusi dari pelaku, dikarenakan kekosongan pengaturan," ujar Hasto menjelaskan.
Oleh karenanya, Hasto mengaku LPSK kemudian bersurat ke MA dan disambut dengan baik atas tawarannya tersebut.
"MA kemudian mengontak kita (LPSK). Mulai kita koordinasi dan LPSK memberikan sejumlah masukan sampai perma ini terbentuk. Perma ini sangat memperhatikan masukan dan catatan LPSK yang sebelumnya disampaikan melalui pokja penyusunan perma," ungkap Hasto.
Sebagai informasi, substansi pengaturan restitusi dalam Perma Nomor 1 Tahun 2022 yang perlu mendapatkan perhatian adalah adanya mekanisme penitipan uang restitusi; adanya banding/kasasi restitusi; pengajuan restitusti oleh korban tidak menghapus haknya untuk mengajukan gugatan perdata; pelaksanaan pemberian restitusi tentang sita harta kekayaan pelaku yang selanjutnya dilelang untuk membayar restitusi; serta tata cara pengajuan dan pemeriksaan permohonan restitusi setelah putusan berkekuatan hukum tetap.
Selain itu, substansi perma ini juga mengatur tentang kompensasi yang di antaranya adalah bentuk kompensasi bagi korban pelanggaran HAM yang berat yang dapat diberikan dalam bentuk non uang/natura; pengajuan dan pemeriksaan permohonan kompensasi dalam perkara terorisme yang korbannya tidak mengajukan kompensasi; pengajuan dan pemeriksaan permohonan kompensasi dalam perkara teroisme yang pelakunya tidak diketahui atau meninggal dunia; pengajuan kompensasi WNI yang menjadi korban terorisme di luar wilayah Indonesia; serta penggabungan permohonan kompensasi dan restitusi.
Baca juga: LPSK Terima 21 Permohonan Perlindungan Kasus Penyiksaan
Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo mengatakan, kehadiran perma ini dapat mengisi kekosongan pengaturan teknis pelaksanaan restitusi dan kompensasi yang diajukan oleh korban.
"Perma ini harapan baru bagi korban tindak pidana untuk dapat merealisaskan mekanisme ganti kerugian dalam bentuk restitusi secara nyata, tidak berhenti di atas kertas berupa putusan pengadilan saja," kata Hasto di Jakarta, Jumat (8/4/2022).
Hasto mewakili lembaganya, mengaku kesulitan saat banyaknya korban tindak pidana meminta bantuan soal pembayaran ganti rugi yang telah diketok palu oleh pengadilan.
Dia pun menekankan, konteks yang terjadi kemarin itu dikarenakan kekosongan pengaturan dalam aspek teknis pelaksanaan eksekusi atas putusan pengadilan.
"LPSK mengalami kendala untuk memastikan korban tindak pidana benar-benar menerima pemberian restitusi dari pelaku, dikarenakan kekosongan pengaturan," ujar Hasto menjelaskan.
Oleh karenanya, Hasto mengaku LPSK kemudian bersurat ke MA dan disambut dengan baik atas tawarannya tersebut.
"MA kemudian mengontak kita (LPSK). Mulai kita koordinasi dan LPSK memberikan sejumlah masukan sampai perma ini terbentuk. Perma ini sangat memperhatikan masukan dan catatan LPSK yang sebelumnya disampaikan melalui pokja penyusunan perma," ungkap Hasto.
Sebagai informasi, substansi pengaturan restitusi dalam Perma Nomor 1 Tahun 2022 yang perlu mendapatkan perhatian adalah adanya mekanisme penitipan uang restitusi; adanya banding/kasasi restitusi; pengajuan restitusti oleh korban tidak menghapus haknya untuk mengajukan gugatan perdata; pelaksanaan pemberian restitusi tentang sita harta kekayaan pelaku yang selanjutnya dilelang untuk membayar restitusi; serta tata cara pengajuan dan pemeriksaan permohonan restitusi setelah putusan berkekuatan hukum tetap.
Selain itu, substansi perma ini juga mengatur tentang kompensasi yang di antaranya adalah bentuk kompensasi bagi korban pelanggaran HAM yang berat yang dapat diberikan dalam bentuk non uang/natura; pengajuan dan pemeriksaan permohonan kompensasi dalam perkara terorisme yang korbannya tidak mengajukan kompensasi; pengajuan dan pemeriksaan permohonan kompensasi dalam perkara teroisme yang pelakunya tidak diketahui atau meninggal dunia; pengajuan kompensasi WNI yang menjadi korban terorisme di luar wilayah Indonesia; serta penggabungan permohonan kompensasi dan restitusi.
(maf)
tulis komentar anda