Soal Terpidana Kasus Korupsi Listrik, Komisi III Ingatkan Kejaksaan Jangan Ulur-ulur Eksekusi
Rabu, 17 Juni 2020 - 17:01 WIB
JAKARTA - Komisi III DPR menyoroti proses eksekusi terpidana korupsi proyek Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) Raja Ampat Papua Tahun 2012, Selviana Wanma atau SW oleh Kejaksaan Agung (Kejagung). Eksekusi mantan Ketua DPD II Golkar Raja Ampat, Papua Barat ini menjadi polemik lantaran saat ditangkap pada Jumat pagi (5/6) oleh Tim Intel Kejaksaan di kediamannya, Duren Sawit mendadak sakit dan meminta dirawat di Rumah Sakit MMC.
Anehnya sehari setelah dia ditangkap, yang bersangkutan ikut dalam Rapat Koordinasi Teknis (Rakornis) Golkar DPP Golkar bersama Ketua DPD I dan II Golkar Papua-Papua Barat dalam kondisi sehat. (Baca juga: Kejagung Amankan Buronan Terpidana Kasus Korupsi Listrik di Raja Ampat)
Anggota Komisi III DPR Habib Aboe Bakar Alhabsyi mengimbau aparat penegak hukum baik utamanya Kejagung untuk tidak pandang bulu dalam menegakkan keadilan. Hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu. "Siapapun jika bersalah hukum harus ditegakkan. Mau itu politisi, pejabat, petinggi partai atau siapapun sama di hadapan hukum," tegas Politisi Senior PKS ini di Jakarta, Rabu (17/6/2020).
Habib mengingatkan Indonesia adalah negara hukum. Karena itu penegak hukum harus menjadi pelaksanaan penegakan supremasi hukum. Tak boleh hukum hanya tajam pada kalangan tertentu. "Indonesia akan maju apabila hukum tidak hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Hukum harus berasaskan berkeadilan," tegas dia.
Sebagaimana diketahui, SW merupakan terpidana kasus korupsi PLTD Pemerintah Kabupaten Raja Ampat Tahun Anggaran 2012 dengan nilai Rp20.205.512.000. Potensi kerugian negara dalam proyek ini sebesar Rp3,28 miliar.
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dalam putusannya No.32/PID.SUS/TPK/2013/PN.JKT.PST, tanggal 17 Februari 2014 menyatakan terdakwa SW terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tipikor secara bersama-dan divonis pidana penjara selama 1 tahun dan pidana denda sebesar Rp50.000.000 kepada SW. Putusan ini diperkuat oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 26/PID/TPK/2014/PT.DKI, tanggal 17 Juli 2014.
Namun di Mahkamah Agung (MA), hukuman SW diperberat. Dalam Rapat Permusyawaratan MA pada Kamis, 27 Oktober 2016 yang diketuai Artidjo Alkostar, Hakim Anggota Prof Abdul Latif, dan MS Lumme menjatuhkan pidana penjara 6 tahun dan denda sebesar Rp200 juta. MA juga menjatuhkan pidana tambahan kepada SW untuk membayar uang pengganti sebesar Rp2,4 miliar lebih.
Anggota Komisi III DPR, I Wayan Sudirta mengapresiasi langkah Jaksa Agung Burhanuddin dan jajaran yang berhasil menangkap SW yang telah masuk Daftar Pencarian Orang (DPO) sejak 2016. "Jaksa Agung-nya bagus, itu terbukti bisa menangkap buron yang sudah lama jadi DPO. Termasuk mengungkap kasus Jiwasraya dan kasus-kasus lainnya," jelas I Wayan.
I Wayan memaklumi Kejagung tidak bisa melakukan eksekusi kepada terpidana yang tengah sakit. Apalagi saat ini juga tengah pandemi COVID-19 sehingga perlu kehati-hatian untuk menjalankan proses eksekusi. Namun sangat disayangkan jika sehari setelah ditangkap, SW malah kedapatan mengikuti pertemuan pribadi melalui virtual streaming padahal yang bersangkutan mengaku sakit dan menjalani perawatan di rumah sakit.
Anehnya sehari setelah dia ditangkap, yang bersangkutan ikut dalam Rapat Koordinasi Teknis (Rakornis) Golkar DPP Golkar bersama Ketua DPD I dan II Golkar Papua-Papua Barat dalam kondisi sehat. (Baca juga: Kejagung Amankan Buronan Terpidana Kasus Korupsi Listrik di Raja Ampat)
Anggota Komisi III DPR Habib Aboe Bakar Alhabsyi mengimbau aparat penegak hukum baik utamanya Kejagung untuk tidak pandang bulu dalam menegakkan keadilan. Hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu. "Siapapun jika bersalah hukum harus ditegakkan. Mau itu politisi, pejabat, petinggi partai atau siapapun sama di hadapan hukum," tegas Politisi Senior PKS ini di Jakarta, Rabu (17/6/2020).
Habib mengingatkan Indonesia adalah negara hukum. Karena itu penegak hukum harus menjadi pelaksanaan penegakan supremasi hukum. Tak boleh hukum hanya tajam pada kalangan tertentu. "Indonesia akan maju apabila hukum tidak hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Hukum harus berasaskan berkeadilan," tegas dia.
Sebagaimana diketahui, SW merupakan terpidana kasus korupsi PLTD Pemerintah Kabupaten Raja Ampat Tahun Anggaran 2012 dengan nilai Rp20.205.512.000. Potensi kerugian negara dalam proyek ini sebesar Rp3,28 miliar.
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dalam putusannya No.32/PID.SUS/TPK/2013/PN.JKT.PST, tanggal 17 Februari 2014 menyatakan terdakwa SW terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tipikor secara bersama-dan divonis pidana penjara selama 1 tahun dan pidana denda sebesar Rp50.000.000 kepada SW. Putusan ini diperkuat oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 26/PID/TPK/2014/PT.DKI, tanggal 17 Juli 2014.
Namun di Mahkamah Agung (MA), hukuman SW diperberat. Dalam Rapat Permusyawaratan MA pada Kamis, 27 Oktober 2016 yang diketuai Artidjo Alkostar, Hakim Anggota Prof Abdul Latif, dan MS Lumme menjatuhkan pidana penjara 6 tahun dan denda sebesar Rp200 juta. MA juga menjatuhkan pidana tambahan kepada SW untuk membayar uang pengganti sebesar Rp2,4 miliar lebih.
Anggota Komisi III DPR, I Wayan Sudirta mengapresiasi langkah Jaksa Agung Burhanuddin dan jajaran yang berhasil menangkap SW yang telah masuk Daftar Pencarian Orang (DPO) sejak 2016. "Jaksa Agung-nya bagus, itu terbukti bisa menangkap buron yang sudah lama jadi DPO. Termasuk mengungkap kasus Jiwasraya dan kasus-kasus lainnya," jelas I Wayan.
I Wayan memaklumi Kejagung tidak bisa melakukan eksekusi kepada terpidana yang tengah sakit. Apalagi saat ini juga tengah pandemi COVID-19 sehingga perlu kehati-hatian untuk menjalankan proses eksekusi. Namun sangat disayangkan jika sehari setelah ditangkap, SW malah kedapatan mengikuti pertemuan pribadi melalui virtual streaming padahal yang bersangkutan mengaku sakit dan menjalani perawatan di rumah sakit.
tulis komentar anda