Naskah Akademik Keppres Nomor 2/2022 Dinilai Memutarbalikkan Sejarah
Selasa, 08 Maret 2022 - 19:18 WIB
Ketua Umum Hidupkan Masyarakat Sejahtera (HMS) Center, Hardjuno Wiwoho, melihat naskah akademik ini terkesan memuja pemerintahan Jokowi dan berbanding sebaliknya terhadap Presiden Soeharto. Padahal, kata Hardjuno, Soeharto telah terbukti sanggup membawa bangsa ini dari ancaman perang saudara dan juga kesusahan ekonomi.
"Tapi tak satu pun jasanya yang disebut seolah-olah hanya penuh kejahatan. Sementara Jokowi yang memiliki banyak sekali kritik di masa pemerintahannya seolah-olah hanya berisi kebaikan dan bahkan ditulis sanggup membawa bangsa ini keluar dari neo imperialisme," kata Hardjuno dalam keterangan tertulisnya, Selasa (8/3/2022).
Sebagai naskah akademik, tidak tepat jika berisi politik. Kebijakan tidak bisa ditulis sebagai naskah akademik sebuah keputusan presiden. Kebijakan selalu memunculkan banyak pandangan tergantung cara pandangnya. Semestinya para penyusun naskah akademik yang berasal dari Universitas Gadjah Mada (UGM) mengetahuinya.
"Sungguh mengelus dada kalau intelektual, sejarawan, sampai jadi politisi begini. Rusak negara kita. Intelektual kampus, sejarawan, main-main politik. Hancur negara ini," ujarnya.
Pada bagian pendahuluan, naskah akademik ini juga menjelaskan bahwa sejarah tentang Serangan Umum 1 Maret 1949 yang ada selama ini telah mereduksi peran tokoh-tokoh besar seperti Soekarno, Hatta, Jenderal Soedirman, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, serta tokoh-tokoh penting lainnya. Di sisi lain, sejarah yang ada selama ini cenderung menonjolkan serta mengkultuskan salah satu tokoh saja sebagai tokoh sentral.
"Oleh karena itu, sejarah Serangan Umum 1 Maret harus diubah dan menempatkan peran tokoh-tokoh utama dimaksud pada posisi yang semestinya," tulis naskah akademik tersebut pada halaman kedua.
Naskah akademik ini disusun oleh sejumlah akademisi yang berasal dari UGM di antaranya adalah Sri Margana, Julianto Ibrahim, Siti Utami Dewi Ningrum, Satrio Dwicahyo, serta Ahmad Faisol.
"Di sisi lain katanya mau menempatkan tokoh ke posisi semestinya. Ini kok malah sebaliknya. Mantan presiden kita, tokoh besar Soeharto diinjak-injak, sementara Jokowi dinaikkan setinggi langit," kata Hardjuno.
"Tapi tak satu pun jasanya yang disebut seolah-olah hanya penuh kejahatan. Sementara Jokowi yang memiliki banyak sekali kritik di masa pemerintahannya seolah-olah hanya berisi kebaikan dan bahkan ditulis sanggup membawa bangsa ini keluar dari neo imperialisme," kata Hardjuno dalam keterangan tertulisnya, Selasa (8/3/2022).
Sebagai naskah akademik, tidak tepat jika berisi politik. Kebijakan tidak bisa ditulis sebagai naskah akademik sebuah keputusan presiden. Kebijakan selalu memunculkan banyak pandangan tergantung cara pandangnya. Semestinya para penyusun naskah akademik yang berasal dari Universitas Gadjah Mada (UGM) mengetahuinya.
"Sungguh mengelus dada kalau intelektual, sejarawan, sampai jadi politisi begini. Rusak negara kita. Intelektual kampus, sejarawan, main-main politik. Hancur negara ini," ujarnya.
Pada bagian pendahuluan, naskah akademik ini juga menjelaskan bahwa sejarah tentang Serangan Umum 1 Maret 1949 yang ada selama ini telah mereduksi peran tokoh-tokoh besar seperti Soekarno, Hatta, Jenderal Soedirman, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, serta tokoh-tokoh penting lainnya. Di sisi lain, sejarah yang ada selama ini cenderung menonjolkan serta mengkultuskan salah satu tokoh saja sebagai tokoh sentral.
"Oleh karena itu, sejarah Serangan Umum 1 Maret harus diubah dan menempatkan peran tokoh-tokoh utama dimaksud pada posisi yang semestinya," tulis naskah akademik tersebut pada halaman kedua.
Naskah akademik ini disusun oleh sejumlah akademisi yang berasal dari UGM di antaranya adalah Sri Margana, Julianto Ibrahim, Siti Utami Dewi Ningrum, Satrio Dwicahyo, serta Ahmad Faisol.
"Di sisi lain katanya mau menempatkan tokoh ke posisi semestinya. Ini kok malah sebaliknya. Mantan presiden kita, tokoh besar Soeharto diinjak-injak, sementara Jokowi dinaikkan setinggi langit," kata Hardjuno.
(abd)
tulis komentar anda