Putusan Bebas atau Lepas dari Tuntutan Dapat Diajukan Kasasi: Suatu Pemikiran Sesat
Kamis, 03 Maret 2022 - 10:43 WIB
Romli Atmasasmita
Pakar Hukum Pidana
PRAKTIK hukum di mana terdakwa telah dibebaskan berdasarkan putusan pengadilan akan tetap jaksa penuntut dapat mengajukan banding hanya terjadi di Indonesia. Bagaimana praktik hukum tersebut dapat terjadi dan dilakukan? Pertanyaan atas praktik hukum ini sepatutnya diketahui dasar hukum yang dijadikan acuan/rujukan jaksa penuntut selama ini.
Sedangkan berdasarkan dua ketentuan dalam KUHAP telah ditegaskan sebagai berikut: Pasal 67 kuhap Terdakwa atau penuntut umum berhak untuk minta banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat.
Di dalam ketentuan Pasal 244 KUHAP, juga ditegaskan hal yang sama sebagai berikut: Terdapat putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung, kecuali terhadap putusan bebas. Atas dasar dua ketentuan KUHAP tersebut jelas dan nyata disebutkan bahwa, putusan bebas dan lepas dari tuntutan hukum tidak dapat dilakukan upaya hukum apapun.
Hal ini dapat dipahami karena pertama, pergantian dari HIR (Hukum Acara Pidana Belanda) kepada KUHAP bertujuan menempatkan seorang tersangka/terdakwa sebagai manusia subjek hukum, bukan sebagai objek hukum sehingga jelas KUHAP mencerminkan perlindungan hak asasi tersangka/terdakwa.
Namun kemudian dalam praktik hukum pasca berlakunya KUHAP tahun 1981, yaitu pada tahun 1983, Menteri Kehakiman menetapkan Surat Keputusan nomor M.14-PW.07.03 tanggal 10 Desember 1983 Tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP (TPP KUHAP) yang membuka celah hukum untuk menyimpang dari dua ketentuan KUHAP tersebut di atas yaitu sebagaiaman hal dikemukakan sebagai berikut: Terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding; tetapi berdasarkan situasi dan kondisi, demi hukum keadilan dan kebenaran, terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi.
SK Menteri Kehakiman sebagai tambahan berlakunya KUHAP tersebut merupakan awal penyimpangan terhadap maksud dan tujuan pergantian HIR (hukum acara pidana Belanda) kepada KUHAP-hukum acara pidana nasional (Indonesia) dengan UU Nomor 8 tahun 1981.
Penyimpangan hukum tersebut yang merupakan cermin dari pemikiran yang sesat karena pertama, ia tidak mengakui dan menghargai harkat dan martabat manusia (terdakwa) yang telah diakui secara universal di dalam International Convenan on Economic, Social and Political Rights yang telah juga diratifikasi dengan UU Nomor 12 tahun 2015, dan kedua disebabkan pengaruh kolonialisme termasuk dalam bidang hukum yang belum sirna masa pemerintahan Suharto yang terkenal otoritarian.
Pakar Hukum Pidana
PRAKTIK hukum di mana terdakwa telah dibebaskan berdasarkan putusan pengadilan akan tetap jaksa penuntut dapat mengajukan banding hanya terjadi di Indonesia. Bagaimana praktik hukum tersebut dapat terjadi dan dilakukan? Pertanyaan atas praktik hukum ini sepatutnya diketahui dasar hukum yang dijadikan acuan/rujukan jaksa penuntut selama ini.
Sedangkan berdasarkan dua ketentuan dalam KUHAP telah ditegaskan sebagai berikut: Pasal 67 kuhap Terdakwa atau penuntut umum berhak untuk minta banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat.
Di dalam ketentuan Pasal 244 KUHAP, juga ditegaskan hal yang sama sebagai berikut: Terdapat putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung, kecuali terhadap putusan bebas. Atas dasar dua ketentuan KUHAP tersebut jelas dan nyata disebutkan bahwa, putusan bebas dan lepas dari tuntutan hukum tidak dapat dilakukan upaya hukum apapun.
Hal ini dapat dipahami karena pertama, pergantian dari HIR (Hukum Acara Pidana Belanda) kepada KUHAP bertujuan menempatkan seorang tersangka/terdakwa sebagai manusia subjek hukum, bukan sebagai objek hukum sehingga jelas KUHAP mencerminkan perlindungan hak asasi tersangka/terdakwa.
Namun kemudian dalam praktik hukum pasca berlakunya KUHAP tahun 1981, yaitu pada tahun 1983, Menteri Kehakiman menetapkan Surat Keputusan nomor M.14-PW.07.03 tanggal 10 Desember 1983 Tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP (TPP KUHAP) yang membuka celah hukum untuk menyimpang dari dua ketentuan KUHAP tersebut di atas yaitu sebagaiaman hal dikemukakan sebagai berikut: Terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding; tetapi berdasarkan situasi dan kondisi, demi hukum keadilan dan kebenaran, terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi.
SK Menteri Kehakiman sebagai tambahan berlakunya KUHAP tersebut merupakan awal penyimpangan terhadap maksud dan tujuan pergantian HIR (hukum acara pidana Belanda) kepada KUHAP-hukum acara pidana nasional (Indonesia) dengan UU Nomor 8 tahun 1981.
Penyimpangan hukum tersebut yang merupakan cermin dari pemikiran yang sesat karena pertama, ia tidak mengakui dan menghargai harkat dan martabat manusia (terdakwa) yang telah diakui secara universal di dalam International Convenan on Economic, Social and Political Rights yang telah juga diratifikasi dengan UU Nomor 12 tahun 2015, dan kedua disebabkan pengaruh kolonialisme termasuk dalam bidang hukum yang belum sirna masa pemerintahan Suharto yang terkenal otoritarian.
tulis komentar anda