Putusan Bebas atau Lepas dari Tuntutan Dapat Diajukan Kasasi: Suatu Pemikiran Sesat
loading...
A
A
A
Romli Atmasasmita
Pakar Hukum Pidana
PRAKTIK hukum di mana terdakwa telah dibebaskan berdasarkan putusan pengadilan akan tetap jaksa penuntut dapat mengajukan banding hanya terjadi di Indonesia. Bagaimana praktik hukum tersebut dapat terjadi dan dilakukan? Pertanyaan atas praktik hukum ini sepatutnya diketahui dasar hukum yang dijadikan acuan/rujukan jaksa penuntut selama ini.
Sedangkan berdasarkan dua ketentuan dalam KUHAP telah ditegaskan sebagai berikut: Pasal 67 kuhap Terdakwa atau penuntut umum berhak untuk minta banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat.
Di dalam ketentuan Pasal 244 KUHAP, juga ditegaskan hal yang sama sebagai berikut: Terdapat putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung, kecuali terhadap putusan bebas. Atas dasar dua ketentuan KUHAP tersebut jelas dan nyata disebutkan bahwa, putusan bebas dan lepas dari tuntutan hukum tidak dapat dilakukan upaya hukum apapun.
Hal ini dapat dipahami karena pertama, pergantian dari HIR (Hukum Acara Pidana Belanda) kepada KUHAP bertujuan menempatkan seorang tersangka/terdakwa sebagai manusia subjek hukum, bukan sebagai objek hukum sehingga jelas KUHAP mencerminkan perlindungan hak asasi tersangka/terdakwa.
Namun kemudian dalam praktik hukum pasca berlakunya KUHAP tahun 1981, yaitu pada tahun 1983, Menteri Kehakiman menetapkan Surat Keputusan nomor M.14-PW.07.03 tanggal 10 Desember 1983 Tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP (TPP KUHAP) yang membuka celah hukum untuk menyimpang dari dua ketentuan KUHAP tersebut di atas yaitu sebagaiaman hal dikemukakan sebagai berikut: Terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding; tetapi berdasarkan situasi dan kondisi, demi hukum keadilan dan kebenaran, terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi.
SK Menteri Kehakiman sebagai tambahan berlakunya KUHAP tersebut merupakan awal penyimpangan terhadap maksud dan tujuan pergantian HIR (hukum acara pidana Belanda) kepada KUHAP-hukum acara pidana nasional (Indonesia) dengan UU Nomor 8 tahun 1981.
Penyimpangan hukum tersebut yang merupakan cermin dari pemikiran yang sesat karena pertama, ia tidak mengakui dan menghargai harkat dan martabat manusia (terdakwa) yang telah diakui secara universal di dalam International Convenan on Economic, Social and Political Rights yang telah juga diratifikasi dengan UU Nomor 12 tahun 2015, dan kedua disebabkan pengaruh kolonialisme termasuk dalam bidang hukum yang belum sirna masa pemerintahan Suharto yang terkenal otoritarian.
Sumber pemikiran sesat hukum yang kedua adalah doktrin hukum yang menyatakan bahwa, frasa bebas dalam ketentuan Pasal 244 KUHAP harus ditafsirkan sebagai bebas tidak murni bukan bebas -sebenarnya bebas yang lazim disebut putusan pengadilan dilepas dari segala tuntutan (ontslag van alle rechtsvervolging).
Pengertian dilepas dari tuntutan hukum dimaknai bahwa, perbuatan terdakwa terbukti akan tetapi karena alasan pembenar dan alasan pemaaf, maka terdapat tetap dapat dituntut Kembali melalui upaya hukum kasasi. Doktrin hukum tersebut dalam praktik hukum sering terjadi sehingga bagi terdakwa yang memperoleh putusan dilepas dari tuntutan; masih belum bebas-sebebasnya sehingga tidak terdapat kepastian hukum.
Masalah akhir dari proses peradilan yang terjadi sebagaimana diuraikan di atas merupakan suatu kemustahilan yang mengakibatkan kekecewaan seorang terdakwa terkait dan juga telah meruak kebahagiaan terdakwa dan keluarganya. Adalah suatu kemustahlian sebagai akibat dari doktrin hukum kolonila tersebut disebabkan perjuangan seseorang terdakwa untuk memperoleh keadilan telah dijalani melalui proses panjang sejak ditetapkan sebagai tersangka menanti sampai dengan kurang lebih 400 hari untuk memperoleh putusan yang adil dan bijaksana.
Di sisi lain jaksa/penuntut umum telah diberikan kesempatan sejak perkara dilanjutkan dari P16 s/d P21 untuk memperoleh bukti yang cukup bahwa bukti dinyatakan lengkap dan siap dilimpahkan ke sidang pengadilan.
Jaksa/penuntut juga telah diberikan kesempatan untuk membuktikan selama sidang pengadilan dan meyakinkan majelis hakim bahwa terdakwa telah terbukti bersalah praktik hukum tersebut selanjutnya telah diperkuat oleh yurisprudensi MA yang telah menjatuhkan putusan pengadilan dan dinyatakan terdakwa terbukti bersalah dalam perkara pengajuan kasasi atas putusan bebas.
Mahkamah Konstitusi RI, di dalam putusan nomor; 114/PUU-X/2012 Tanggal 26 Maret tahun 2013 terkait permohonan uji materi atas ketentuan Pasal 244 KUHAP telah menyatakan, bahwa frasa,
"kecuali terhadap putusan bebas" dalam Pasal 244 UU Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, TLN 3209) bertentangan dengan bertentangan denagan Undang-Undang Dasar negara RI tahun 1945. dan menyatakan frasa, kecuali terhadap putusan bebas dalam Pasal 244 UU Nomor 8 tahun 1981 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat."
Keadaan hukum sebagai mana telah diuraikan di atas mencerminkan telah terjadi konflik antara kepentingan hukum kejaksaan atas nama negara dan kepentingan hukum atas nama warga negaranya.
Dihubungkan dengan Konstitusi UUD45 maka praktik hukum pengajuan kasasi atas putusan bebas bertentangan dengan ketentuan Pasal 28 D ayat (1) UUD45; bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di muka hukum; dan Pasal 28 G ayat (1) UUD45, bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat,dan harta benda yang di bawah kekuasaannya serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
Pengakuan atas doktrin hukum bahwa putusan bebas dan lepas dari segala tuntutan yang masih dapat dikasasi dalam praktik sama saja artinya dengan hilangnya hak warga termasuk terdakwa untuk memperoleh jaminan dan perlindungan hak asasi dalam status terdakwa yang menggambarkan bahwa upaya hukum dalam KUHAP bukan solusi dari masalah bagi seorang dalam status terdakwa melainkan justru merupakan masalah baru dan merupakan masalah yang tiada berakhir (unending problems).
Doktrin hukum yang membenarkan kebebasan terdakwa masih bisa dibatasi oleh pengajuan kasasi oleh penuntut umum mencerminkan bahwa negara telah memperpanjang penderitaan seseorang terdakwa karena pembatasan-pembatasan atas hak terdakwa untuk memperoleh kebebasanya yang justru diperoleh dan berasal dari putusan Lembaga kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bebas dari pengaruh kekuasan manapun.
Masalah hukum yang serius dari praktik hukum tersebut merupakan perlakuan hukum yang merendahkan harkat dan martabat kemanusiaan warga negara termasuk dalam status terdakwa alias kezaliman dalam penegakan hukum. Arah politik hukum pidana abad 21 sudah seharusnya mengikuti standar internasional yang diakui universal oleh masyarakat internasional yang beradab.
Sepatutnya pengakuan atas doktrin hukum mengenai tafsir hukum atas frasa bebas menjadi bebas tidak murni selain bebas murni ditinggalkan dan revisi UU Nomor 8 tahun 1981 segera disahkan dengan penambahan ayat baru dalam Pasal 244 dan Pasal 67 KUHAP untuk menegaskan makna bahwa larangan upaya hukum apapun dnyatakan secara eksplisit di dalam ayat (2) Pasal 244 dan Pasal 67 baru.
Pakar Hukum Pidana
PRAKTIK hukum di mana terdakwa telah dibebaskan berdasarkan putusan pengadilan akan tetap jaksa penuntut dapat mengajukan banding hanya terjadi di Indonesia. Bagaimana praktik hukum tersebut dapat terjadi dan dilakukan? Pertanyaan atas praktik hukum ini sepatutnya diketahui dasar hukum yang dijadikan acuan/rujukan jaksa penuntut selama ini.
Sedangkan berdasarkan dua ketentuan dalam KUHAP telah ditegaskan sebagai berikut: Pasal 67 kuhap Terdakwa atau penuntut umum berhak untuk minta banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat.
Di dalam ketentuan Pasal 244 KUHAP, juga ditegaskan hal yang sama sebagai berikut: Terdapat putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung, kecuali terhadap putusan bebas. Atas dasar dua ketentuan KUHAP tersebut jelas dan nyata disebutkan bahwa, putusan bebas dan lepas dari tuntutan hukum tidak dapat dilakukan upaya hukum apapun.
Hal ini dapat dipahami karena pertama, pergantian dari HIR (Hukum Acara Pidana Belanda) kepada KUHAP bertujuan menempatkan seorang tersangka/terdakwa sebagai manusia subjek hukum, bukan sebagai objek hukum sehingga jelas KUHAP mencerminkan perlindungan hak asasi tersangka/terdakwa.
Namun kemudian dalam praktik hukum pasca berlakunya KUHAP tahun 1981, yaitu pada tahun 1983, Menteri Kehakiman menetapkan Surat Keputusan nomor M.14-PW.07.03 tanggal 10 Desember 1983 Tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP (TPP KUHAP) yang membuka celah hukum untuk menyimpang dari dua ketentuan KUHAP tersebut di atas yaitu sebagaiaman hal dikemukakan sebagai berikut: Terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding; tetapi berdasarkan situasi dan kondisi, demi hukum keadilan dan kebenaran, terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi.
SK Menteri Kehakiman sebagai tambahan berlakunya KUHAP tersebut merupakan awal penyimpangan terhadap maksud dan tujuan pergantian HIR (hukum acara pidana Belanda) kepada KUHAP-hukum acara pidana nasional (Indonesia) dengan UU Nomor 8 tahun 1981.
Penyimpangan hukum tersebut yang merupakan cermin dari pemikiran yang sesat karena pertama, ia tidak mengakui dan menghargai harkat dan martabat manusia (terdakwa) yang telah diakui secara universal di dalam International Convenan on Economic, Social and Political Rights yang telah juga diratifikasi dengan UU Nomor 12 tahun 2015, dan kedua disebabkan pengaruh kolonialisme termasuk dalam bidang hukum yang belum sirna masa pemerintahan Suharto yang terkenal otoritarian.
Sumber pemikiran sesat hukum yang kedua adalah doktrin hukum yang menyatakan bahwa, frasa bebas dalam ketentuan Pasal 244 KUHAP harus ditafsirkan sebagai bebas tidak murni bukan bebas -sebenarnya bebas yang lazim disebut putusan pengadilan dilepas dari segala tuntutan (ontslag van alle rechtsvervolging).
Pengertian dilepas dari tuntutan hukum dimaknai bahwa, perbuatan terdakwa terbukti akan tetapi karena alasan pembenar dan alasan pemaaf, maka terdapat tetap dapat dituntut Kembali melalui upaya hukum kasasi. Doktrin hukum tersebut dalam praktik hukum sering terjadi sehingga bagi terdakwa yang memperoleh putusan dilepas dari tuntutan; masih belum bebas-sebebasnya sehingga tidak terdapat kepastian hukum.
Masalah akhir dari proses peradilan yang terjadi sebagaimana diuraikan di atas merupakan suatu kemustahilan yang mengakibatkan kekecewaan seorang terdakwa terkait dan juga telah meruak kebahagiaan terdakwa dan keluarganya. Adalah suatu kemustahlian sebagai akibat dari doktrin hukum kolonila tersebut disebabkan perjuangan seseorang terdakwa untuk memperoleh keadilan telah dijalani melalui proses panjang sejak ditetapkan sebagai tersangka menanti sampai dengan kurang lebih 400 hari untuk memperoleh putusan yang adil dan bijaksana.
Di sisi lain jaksa/penuntut umum telah diberikan kesempatan sejak perkara dilanjutkan dari P16 s/d P21 untuk memperoleh bukti yang cukup bahwa bukti dinyatakan lengkap dan siap dilimpahkan ke sidang pengadilan.
Jaksa/penuntut juga telah diberikan kesempatan untuk membuktikan selama sidang pengadilan dan meyakinkan majelis hakim bahwa terdakwa telah terbukti bersalah praktik hukum tersebut selanjutnya telah diperkuat oleh yurisprudensi MA yang telah menjatuhkan putusan pengadilan dan dinyatakan terdakwa terbukti bersalah dalam perkara pengajuan kasasi atas putusan bebas.
Mahkamah Konstitusi RI, di dalam putusan nomor; 114/PUU-X/2012 Tanggal 26 Maret tahun 2013 terkait permohonan uji materi atas ketentuan Pasal 244 KUHAP telah menyatakan, bahwa frasa,
"kecuali terhadap putusan bebas" dalam Pasal 244 UU Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, TLN 3209) bertentangan dengan bertentangan denagan Undang-Undang Dasar negara RI tahun 1945. dan menyatakan frasa, kecuali terhadap putusan bebas dalam Pasal 244 UU Nomor 8 tahun 1981 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat."
Keadaan hukum sebagai mana telah diuraikan di atas mencerminkan telah terjadi konflik antara kepentingan hukum kejaksaan atas nama negara dan kepentingan hukum atas nama warga negaranya.
Dihubungkan dengan Konstitusi UUD45 maka praktik hukum pengajuan kasasi atas putusan bebas bertentangan dengan ketentuan Pasal 28 D ayat (1) UUD45; bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di muka hukum; dan Pasal 28 G ayat (1) UUD45, bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat,dan harta benda yang di bawah kekuasaannya serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
Pengakuan atas doktrin hukum bahwa putusan bebas dan lepas dari segala tuntutan yang masih dapat dikasasi dalam praktik sama saja artinya dengan hilangnya hak warga termasuk terdakwa untuk memperoleh jaminan dan perlindungan hak asasi dalam status terdakwa yang menggambarkan bahwa upaya hukum dalam KUHAP bukan solusi dari masalah bagi seorang dalam status terdakwa melainkan justru merupakan masalah baru dan merupakan masalah yang tiada berakhir (unending problems).
Doktrin hukum yang membenarkan kebebasan terdakwa masih bisa dibatasi oleh pengajuan kasasi oleh penuntut umum mencerminkan bahwa negara telah memperpanjang penderitaan seseorang terdakwa karena pembatasan-pembatasan atas hak terdakwa untuk memperoleh kebebasanya yang justru diperoleh dan berasal dari putusan Lembaga kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bebas dari pengaruh kekuasan manapun.
Masalah hukum yang serius dari praktik hukum tersebut merupakan perlakuan hukum yang merendahkan harkat dan martabat kemanusiaan warga negara termasuk dalam status terdakwa alias kezaliman dalam penegakan hukum. Arah politik hukum pidana abad 21 sudah seharusnya mengikuti standar internasional yang diakui universal oleh masyarakat internasional yang beradab.
Sepatutnya pengakuan atas doktrin hukum mengenai tafsir hukum atas frasa bebas menjadi bebas tidak murni selain bebas murni ditinggalkan dan revisi UU Nomor 8 tahun 1981 segera disahkan dengan penambahan ayat baru dalam Pasal 244 dan Pasal 67 KUHAP untuk menegaskan makna bahwa larangan upaya hukum apapun dnyatakan secara eksplisit di dalam ayat (2) Pasal 244 dan Pasal 67 baru.
(maf)