Penanganan Dampak Covid-19: Menimbang Injeksi Dana ke BUMN
Senin, 15 Juni 2020 - 07:28 WIB
Di atas, saya menyatakan bahwa tidak seluruh alokasi dana ke BUMN sebesar Rp152,15 triliun dapat disebut sebagai stimulus tahun ini. Ini mengingat, dari dana tersebut terdapat Rp94,23 triliun yang sebenarnya merupakan pembayaran atas kewajiban pemerintah kepada BUMN terkait. Pemerintah, misalnya, memiliki kewajiban membayar kompensasi kepada PLN dan Pertamina masing-masing Rp45,42 triliun dan Rp48,25 triliun untuk tahun 2018 dan 2019.
Kompensasi ini muncul karena kedua BUMN ini menanggung biaya yang lebih tinggi untuk pengadaan listrik dan BBM dibandingkan subsidi yang diterima. Tarif listrik dan harga BBM semestinya naik seiring dengan kenaikan biaya produksi yang terjadi pada 2018 dan 2019, namun tidak dilakukan karena kebijakan pemerintah. Dana kompensasi tersebut memang tidak dapat disebut sebagai stimulus tahun ini, karena stimulus fiskalnya telah dinikmati masyarakat pada 2018 dan 2019.
Sementara bagi PLN dan Pertamina, keberadaan dana kompensasi ini penting untuk menjagacash flowmereka, terutama untuk mendanai aktivitas operasionalnya, yang seharusnya diterima di tahun-tahun sebelumnya. Selain PLN dan Pertamina, pemerintah juga membayar kompensasi kepada Bulog Rp560 miliar yang merupakan biaya pengganti penyerapan cadangan beras pemerintah yang dilakukan Bulog.
Urgensi Injeksi Dana
Terlepas dari kedudukan alokasi dana ke BUMN di atas, kita menyadari bahwa injeksi dana tersebut memang diperlukan BUMN. Perlu diketahui, BUMN kini menghadapi tiga jenis tekanan sekaligus (three simultaneous shocks), yaitu (i) Covid-19, (ii) penurunan harga komoditas (terutama minyak), dan (iii) tekanan akibat melemahnya nilai tukar. Ketiga tekanan ini telah menyebabkan kinerja BUMN tertekan. PLN, misalnya, kini menghadapi semakin rendahnya konsumsi listrik.
Sebelum Covid-19, pertumbuhan (CAGR) konsumsi listrik hanya sebesar 4,25% (2014–2018). Rendahnya pertumbuhan konsumsi listrik ini terutama dari rumah tangga yang hanya tumbuh 3,86% (2014–2018). Kini Covid-19 tidak hanya menekan daya beli rumah tangga, tetapi juga menekan kinerja industri. Bisa dibayangkan, betapa Covid-19 ini akan semakin memukul konsumsi listrik. Konsekuensinya, pendapatan PLN diperkirakan akan turun tahun ini. Di sisi lain, PLN juga menanggung beban akibat pelemahan nilai tukar.
Pendapatan PLN sebagian besar dalam rupiah, sedangkan biayanya sebagian besar dalam bentuk valuta asing (USD). PLN menghadapi risikomismatch. Meskipun tidak seberat PLN, Pertamina juga menghadapi tekanan yang serupa. Selama ini, sumber utama laba Pertamina masih berasal dari bisnis hulunya (upstream). Bisnis hilirnya (refinery & downstream), meski menjadi kontributor terbesar dari sisi pendapatan (revenue), namun beberapa kali masih mengalami kerugian. Kerugian bisnis hilir terutama disebabkan biaya kilang yang relatif tinggi, sedangkan Pertamina kurang memiliki fleksibilitas dalam menentukan harga jual produk BBM di dalam negeri.
Kini, seiring dengan jatuhnya harga minyak, bisnis hulu Pertamina diperkirakan tertekan. Beberapa blok migas menjadi kurangfavourableuntuk berproduksi, karena biaya eksplorasinya yang tinggi. Beruntungnya, Pertamina relatif tidak menghadapi risikomismatch, seperti yang dialami PLN, karena Pertamina memiliki pendapatan dalam dolar AS yang relatif besar.
Tantangan yang dihadapi BUMN tahun ini cukup berat, setelah selama lima tahun terakhir, BUMN telah banyak berperan menopang keberhasilan berbagai program pemerintah, baik di bidang infrastruktur, energi, pangan dan perumahan. Kini BUMN-BUMN kita sedang mengalami tekanan akibat Covid-19, yang kehadirannya tidak diduga sebelumnya. Karena itu, sudah sewajarnya bila pemerintah turun tangan mendukung BUMN.
Pemerintah perlu turun tangan menjaga stabilitas keuangan, terutama bagi BUMN yang telah mengemban misi strategis pemerintah. Kurang tepat bila terdapat kecurigaan bahwa injeksi dana ke BUMN adalah untuk menutupi kerugian akibat salah kelola di BUMN. Sangat penting bagi BUMN agar mampu mempertahankan kelangsungan usahanya, menjaga kesehatan keuangannya, serta memilikicash flowyang cukup. Tujuannya, agar BUMN-BUMN kita tetap mampu mengemban misi sebagaiagent of development.
Kompensasi ini muncul karena kedua BUMN ini menanggung biaya yang lebih tinggi untuk pengadaan listrik dan BBM dibandingkan subsidi yang diterima. Tarif listrik dan harga BBM semestinya naik seiring dengan kenaikan biaya produksi yang terjadi pada 2018 dan 2019, namun tidak dilakukan karena kebijakan pemerintah. Dana kompensasi tersebut memang tidak dapat disebut sebagai stimulus tahun ini, karena stimulus fiskalnya telah dinikmati masyarakat pada 2018 dan 2019.
Sementara bagi PLN dan Pertamina, keberadaan dana kompensasi ini penting untuk menjagacash flowmereka, terutama untuk mendanai aktivitas operasionalnya, yang seharusnya diterima di tahun-tahun sebelumnya. Selain PLN dan Pertamina, pemerintah juga membayar kompensasi kepada Bulog Rp560 miliar yang merupakan biaya pengganti penyerapan cadangan beras pemerintah yang dilakukan Bulog.
Urgensi Injeksi Dana
Terlepas dari kedudukan alokasi dana ke BUMN di atas, kita menyadari bahwa injeksi dana tersebut memang diperlukan BUMN. Perlu diketahui, BUMN kini menghadapi tiga jenis tekanan sekaligus (three simultaneous shocks), yaitu (i) Covid-19, (ii) penurunan harga komoditas (terutama minyak), dan (iii) tekanan akibat melemahnya nilai tukar. Ketiga tekanan ini telah menyebabkan kinerja BUMN tertekan. PLN, misalnya, kini menghadapi semakin rendahnya konsumsi listrik.
Sebelum Covid-19, pertumbuhan (CAGR) konsumsi listrik hanya sebesar 4,25% (2014–2018). Rendahnya pertumbuhan konsumsi listrik ini terutama dari rumah tangga yang hanya tumbuh 3,86% (2014–2018). Kini Covid-19 tidak hanya menekan daya beli rumah tangga, tetapi juga menekan kinerja industri. Bisa dibayangkan, betapa Covid-19 ini akan semakin memukul konsumsi listrik. Konsekuensinya, pendapatan PLN diperkirakan akan turun tahun ini. Di sisi lain, PLN juga menanggung beban akibat pelemahan nilai tukar.
Pendapatan PLN sebagian besar dalam rupiah, sedangkan biayanya sebagian besar dalam bentuk valuta asing (USD). PLN menghadapi risikomismatch. Meskipun tidak seberat PLN, Pertamina juga menghadapi tekanan yang serupa. Selama ini, sumber utama laba Pertamina masih berasal dari bisnis hulunya (upstream). Bisnis hilirnya (refinery & downstream), meski menjadi kontributor terbesar dari sisi pendapatan (revenue), namun beberapa kali masih mengalami kerugian. Kerugian bisnis hilir terutama disebabkan biaya kilang yang relatif tinggi, sedangkan Pertamina kurang memiliki fleksibilitas dalam menentukan harga jual produk BBM di dalam negeri.
Kini, seiring dengan jatuhnya harga minyak, bisnis hulu Pertamina diperkirakan tertekan. Beberapa blok migas menjadi kurangfavourableuntuk berproduksi, karena biaya eksplorasinya yang tinggi. Beruntungnya, Pertamina relatif tidak menghadapi risikomismatch, seperti yang dialami PLN, karena Pertamina memiliki pendapatan dalam dolar AS yang relatif besar.
Tantangan yang dihadapi BUMN tahun ini cukup berat, setelah selama lima tahun terakhir, BUMN telah banyak berperan menopang keberhasilan berbagai program pemerintah, baik di bidang infrastruktur, energi, pangan dan perumahan. Kini BUMN-BUMN kita sedang mengalami tekanan akibat Covid-19, yang kehadirannya tidak diduga sebelumnya. Karena itu, sudah sewajarnya bila pemerintah turun tangan mendukung BUMN.
Pemerintah perlu turun tangan menjaga stabilitas keuangan, terutama bagi BUMN yang telah mengemban misi strategis pemerintah. Kurang tepat bila terdapat kecurigaan bahwa injeksi dana ke BUMN adalah untuk menutupi kerugian akibat salah kelola di BUMN. Sangat penting bagi BUMN agar mampu mempertahankan kelangsungan usahanya, menjaga kesehatan keuangannya, serta memilikicash flowyang cukup. Tujuannya, agar BUMN-BUMN kita tetap mampu mengemban misi sebagaiagent of development.
tulis komentar anda