Penanganan Dampak Covid-19: Menimbang Injeksi Dana ke BUMN
loading...
A
A
A
Sunarsip
Ekonom SeniorThe Indonesia Economic Intelligence(IEI)
SEBAGAI bagian dari paket pemulihan ekonomi nasional akibat Covid-19, pemerintah mengalokasikan dana ke BUMN senilai Rp152,15 triliun. Dalam berbagai pemberitaan disebutkan bahwa alokasi dana ke BUMN ini sebagai stimulus bagi BUMN. Penyebutan sebagai dana stimulus ini menimbulkan kontroversi. Beberapa pihak mempertanyakan keabsahan BUMN memperoleh dana stimulus tersebut. Bahkan, beberapa pihak mencurigai bahwa alokasi dana ke BUMN ini untuk menutupi kerugian akibat salah kelola di BUMN.
Saya sendiri memiliki pandangan bahwa penyebutan alokasi dana ke BUMN ini tidak seluruhnya tepat disebut sebagai stimulus tahun ini. Ini mengingat, alokasi dana Rp152,15 triliun tersebut memiliki tujuan penggunaan yang beragam. Konsepsi stimulus harus memenuhi tiga unsur, yaitu (1) kebijakan, (2) instrumen, dan (3) sasaran (goals). Dalam konteks stimulus fiskal, misalnya, muncul karena kebijakan fiskal ekspansif dari pemerintah, sedangkan instrumen yang dipergunakan meliputi tiga kelompok.
Pertama, dari unsur pendapatan negara melalui penurunan pendapatan (tax saving payment) dengan mengurangi tarif pajak serta meningkatkan pajak dan subsidi pajak yang ditanggung pemerintah.Kedua, kelompok belanja negara melalui peningkatan belanja negara, misalnya melalui peningkatan subsidi nonpajak.Ketiga, kelompok pembiayaan defisit fiskal, misalnya investasi pemerintah di BUMN, baik dalam bentuk penyertaan modal negara (PMN) maupun dana talangan (pinjaman). Sementara itu, sasaran dari stimulus fiskal adalah menjaga aktivitas ekonomi dan daya beli melalui konsumsi dan investasi.
Kedudukan Injeksi Dana
Berpijak pada konsepsi di atas, dalam pandangan saya, dari alokasi dana Rp152,15 triliun ke BUMN tersebut sebesar Rp57,92 triliun yang memenuhi kriteria sebagai stimulus fiskal tahun ini, yaitu Rp25,27 triliun dalam bentuk PMN dan Rp32,65 triliun dalam bentuk dana talangan (pinjaman). BUMN penerima PMN merupakan BUMN yang bergerak di sektor UMKM dan infrastruktur.
Sementara dana talangan (pinjaman) diberikan pemerintah kepada BUMN yang terkena dampak langsung akibat Covid-19, seperti Garuda dan KAI. Dana talangan ini dipergunakan sebagai modal kerja dan nantinya juga akan dikembalikan oleh BUMN penerima kepada pemerintah. Dengan melihat profil alokasi dana Rp57,92 triliun ini, dapat dikatakan bahwa sebenarnya hanya alokasi berupa dana talangan (pinjaman) yang dapat disebut sebagai stimulus bagi BUMN. Selebihnya, dana alokasi yang masuk kriteria stimulus ini lebih merupakan bagian dari program pemerintah, di mana kedudukan BUMN penerima lebih sebagai agen untuk menyukseskan program pemerintah.
Tentunya ini tidak mengabaikan bahwa alokasi dana, baik dalam bentuk PMN maupun dana talangan, tetap memberikan manfaat bagi BUMN penerima. Dengan adanya injeksi dana ini, BUMN memilikicash flowyang lebih baik, bisnisnya juga berkembang yang nantinya menjadi potensi pendapatan bagi BUMN. Dengan kata lain, terdapat dua jenis stimulus yang diperankan oleh alokasi dana ke BUMN Rp57,92 triliun ini, yaitu (i) stimulus fiskal dan (ii) stimulus bagi BUMN.
Di atas, saya menyatakan bahwa tidak seluruh alokasi dana ke BUMN sebesar Rp152,15 triliun dapat disebut sebagai stimulus tahun ini. Ini mengingat, dari dana tersebut terdapat Rp94,23 triliun yang sebenarnya merupakan pembayaran atas kewajiban pemerintah kepada BUMN terkait. Pemerintah, misalnya, memiliki kewajiban membayar kompensasi kepada PLN dan Pertamina masing-masing Rp45,42 triliun dan Rp48,25 triliun untuk tahun 2018 dan 2019.
Kompensasi ini muncul karena kedua BUMN ini menanggung biaya yang lebih tinggi untuk pengadaan listrik dan BBM dibandingkan subsidi yang diterima. Tarif listrik dan harga BBM semestinya naik seiring dengan kenaikan biaya produksi yang terjadi pada 2018 dan 2019, namun tidak dilakukan karena kebijakan pemerintah. Dana kompensasi tersebut memang tidak dapat disebut sebagai stimulus tahun ini, karena stimulus fiskalnya telah dinikmati masyarakat pada 2018 dan 2019.
Sementara bagi PLN dan Pertamina, keberadaan dana kompensasi ini penting untuk menjagacash flowmereka, terutama untuk mendanai aktivitas operasionalnya, yang seharusnya diterima di tahun-tahun sebelumnya. Selain PLN dan Pertamina, pemerintah juga membayar kompensasi kepada Bulog Rp560 miliar yang merupakan biaya pengganti penyerapan cadangan beras pemerintah yang dilakukan Bulog.
Urgensi Injeksi Dana
Terlepas dari kedudukan alokasi dana ke BUMN di atas, kita menyadari bahwa injeksi dana tersebut memang diperlukan BUMN. Perlu diketahui, BUMN kini menghadapi tiga jenis tekanan sekaligus (three simultaneous shocks), yaitu (i) Covid-19, (ii) penurunan harga komoditas (terutama minyak), dan (iii) tekanan akibat melemahnya nilai tukar. Ketiga tekanan ini telah menyebabkan kinerja BUMN tertekan. PLN, misalnya, kini menghadapi semakin rendahnya konsumsi listrik.
Sebelum Covid-19, pertumbuhan (CAGR) konsumsi listrik hanya sebesar 4,25% (2014–2018). Rendahnya pertumbuhan konsumsi listrik ini terutama dari rumah tangga yang hanya tumbuh 3,86% (2014–2018). Kini Covid-19 tidak hanya menekan daya beli rumah tangga, tetapi juga menekan kinerja industri. Bisa dibayangkan, betapa Covid-19 ini akan semakin memukul konsumsi listrik. Konsekuensinya, pendapatan PLN diperkirakan akan turun tahun ini. Di sisi lain, PLN juga menanggung beban akibat pelemahan nilai tukar.
Pendapatan PLN sebagian besar dalam rupiah, sedangkan biayanya sebagian besar dalam bentuk valuta asing (USD). PLN menghadapi risikomismatch. Meskipun tidak seberat PLN, Pertamina juga menghadapi tekanan yang serupa. Selama ini, sumber utama laba Pertamina masih berasal dari bisnis hulunya (upstream). Bisnis hilirnya (refinery & downstream), meski menjadi kontributor terbesar dari sisi pendapatan (revenue), namun beberapa kali masih mengalami kerugian. Kerugian bisnis hilir terutama disebabkan biaya kilang yang relatif tinggi, sedangkan Pertamina kurang memiliki fleksibilitas dalam menentukan harga jual produk BBM di dalam negeri.
Kini, seiring dengan jatuhnya harga minyak, bisnis hulu Pertamina diperkirakan tertekan. Beberapa blok migas menjadi kurangfavourableuntuk berproduksi, karena biaya eksplorasinya yang tinggi. Beruntungnya, Pertamina relatif tidak menghadapi risikomismatch, seperti yang dialami PLN, karena Pertamina memiliki pendapatan dalam dolar AS yang relatif besar.
Tantangan yang dihadapi BUMN tahun ini cukup berat, setelah selama lima tahun terakhir, BUMN telah banyak berperan menopang keberhasilan berbagai program pemerintah, baik di bidang infrastruktur, energi, pangan dan perumahan. Kini BUMN-BUMN kita sedang mengalami tekanan akibat Covid-19, yang kehadirannya tidak diduga sebelumnya. Karena itu, sudah sewajarnya bila pemerintah turun tangan mendukung BUMN.
Pemerintah perlu turun tangan menjaga stabilitas keuangan, terutama bagi BUMN yang telah mengemban misi strategis pemerintah. Kurang tepat bila terdapat kecurigaan bahwa injeksi dana ke BUMN adalah untuk menutupi kerugian akibat salah kelola di BUMN. Sangat penting bagi BUMN agar mampu mempertahankan kelangsungan usahanya, menjaga kesehatan keuangannya, serta memilikicash flowyang cukup. Tujuannya, agar BUMN-BUMN kita tetap mampu mengemban misi sebagaiagent of development.
Ekonom SeniorThe Indonesia Economic Intelligence(IEI)
SEBAGAI bagian dari paket pemulihan ekonomi nasional akibat Covid-19, pemerintah mengalokasikan dana ke BUMN senilai Rp152,15 triliun. Dalam berbagai pemberitaan disebutkan bahwa alokasi dana ke BUMN ini sebagai stimulus bagi BUMN. Penyebutan sebagai dana stimulus ini menimbulkan kontroversi. Beberapa pihak mempertanyakan keabsahan BUMN memperoleh dana stimulus tersebut. Bahkan, beberapa pihak mencurigai bahwa alokasi dana ke BUMN ini untuk menutupi kerugian akibat salah kelola di BUMN.
Saya sendiri memiliki pandangan bahwa penyebutan alokasi dana ke BUMN ini tidak seluruhnya tepat disebut sebagai stimulus tahun ini. Ini mengingat, alokasi dana Rp152,15 triliun tersebut memiliki tujuan penggunaan yang beragam. Konsepsi stimulus harus memenuhi tiga unsur, yaitu (1) kebijakan, (2) instrumen, dan (3) sasaran (goals). Dalam konteks stimulus fiskal, misalnya, muncul karena kebijakan fiskal ekspansif dari pemerintah, sedangkan instrumen yang dipergunakan meliputi tiga kelompok.
Pertama, dari unsur pendapatan negara melalui penurunan pendapatan (tax saving payment) dengan mengurangi tarif pajak serta meningkatkan pajak dan subsidi pajak yang ditanggung pemerintah.Kedua, kelompok belanja negara melalui peningkatan belanja negara, misalnya melalui peningkatan subsidi nonpajak.Ketiga, kelompok pembiayaan defisit fiskal, misalnya investasi pemerintah di BUMN, baik dalam bentuk penyertaan modal negara (PMN) maupun dana talangan (pinjaman). Sementara itu, sasaran dari stimulus fiskal adalah menjaga aktivitas ekonomi dan daya beli melalui konsumsi dan investasi.
Kedudukan Injeksi Dana
Berpijak pada konsepsi di atas, dalam pandangan saya, dari alokasi dana Rp152,15 triliun ke BUMN tersebut sebesar Rp57,92 triliun yang memenuhi kriteria sebagai stimulus fiskal tahun ini, yaitu Rp25,27 triliun dalam bentuk PMN dan Rp32,65 triliun dalam bentuk dana talangan (pinjaman). BUMN penerima PMN merupakan BUMN yang bergerak di sektor UMKM dan infrastruktur.
Sementara dana talangan (pinjaman) diberikan pemerintah kepada BUMN yang terkena dampak langsung akibat Covid-19, seperti Garuda dan KAI. Dana talangan ini dipergunakan sebagai modal kerja dan nantinya juga akan dikembalikan oleh BUMN penerima kepada pemerintah. Dengan melihat profil alokasi dana Rp57,92 triliun ini, dapat dikatakan bahwa sebenarnya hanya alokasi berupa dana talangan (pinjaman) yang dapat disebut sebagai stimulus bagi BUMN. Selebihnya, dana alokasi yang masuk kriteria stimulus ini lebih merupakan bagian dari program pemerintah, di mana kedudukan BUMN penerima lebih sebagai agen untuk menyukseskan program pemerintah.
Tentunya ini tidak mengabaikan bahwa alokasi dana, baik dalam bentuk PMN maupun dana talangan, tetap memberikan manfaat bagi BUMN penerima. Dengan adanya injeksi dana ini, BUMN memilikicash flowyang lebih baik, bisnisnya juga berkembang yang nantinya menjadi potensi pendapatan bagi BUMN. Dengan kata lain, terdapat dua jenis stimulus yang diperankan oleh alokasi dana ke BUMN Rp57,92 triliun ini, yaitu (i) stimulus fiskal dan (ii) stimulus bagi BUMN.
Di atas, saya menyatakan bahwa tidak seluruh alokasi dana ke BUMN sebesar Rp152,15 triliun dapat disebut sebagai stimulus tahun ini. Ini mengingat, dari dana tersebut terdapat Rp94,23 triliun yang sebenarnya merupakan pembayaran atas kewajiban pemerintah kepada BUMN terkait. Pemerintah, misalnya, memiliki kewajiban membayar kompensasi kepada PLN dan Pertamina masing-masing Rp45,42 triliun dan Rp48,25 triliun untuk tahun 2018 dan 2019.
Kompensasi ini muncul karena kedua BUMN ini menanggung biaya yang lebih tinggi untuk pengadaan listrik dan BBM dibandingkan subsidi yang diterima. Tarif listrik dan harga BBM semestinya naik seiring dengan kenaikan biaya produksi yang terjadi pada 2018 dan 2019, namun tidak dilakukan karena kebijakan pemerintah. Dana kompensasi tersebut memang tidak dapat disebut sebagai stimulus tahun ini, karena stimulus fiskalnya telah dinikmati masyarakat pada 2018 dan 2019.
Sementara bagi PLN dan Pertamina, keberadaan dana kompensasi ini penting untuk menjagacash flowmereka, terutama untuk mendanai aktivitas operasionalnya, yang seharusnya diterima di tahun-tahun sebelumnya. Selain PLN dan Pertamina, pemerintah juga membayar kompensasi kepada Bulog Rp560 miliar yang merupakan biaya pengganti penyerapan cadangan beras pemerintah yang dilakukan Bulog.
Urgensi Injeksi Dana
Terlepas dari kedudukan alokasi dana ke BUMN di atas, kita menyadari bahwa injeksi dana tersebut memang diperlukan BUMN. Perlu diketahui, BUMN kini menghadapi tiga jenis tekanan sekaligus (three simultaneous shocks), yaitu (i) Covid-19, (ii) penurunan harga komoditas (terutama minyak), dan (iii) tekanan akibat melemahnya nilai tukar. Ketiga tekanan ini telah menyebabkan kinerja BUMN tertekan. PLN, misalnya, kini menghadapi semakin rendahnya konsumsi listrik.
Sebelum Covid-19, pertumbuhan (CAGR) konsumsi listrik hanya sebesar 4,25% (2014–2018). Rendahnya pertumbuhan konsumsi listrik ini terutama dari rumah tangga yang hanya tumbuh 3,86% (2014–2018). Kini Covid-19 tidak hanya menekan daya beli rumah tangga, tetapi juga menekan kinerja industri. Bisa dibayangkan, betapa Covid-19 ini akan semakin memukul konsumsi listrik. Konsekuensinya, pendapatan PLN diperkirakan akan turun tahun ini. Di sisi lain, PLN juga menanggung beban akibat pelemahan nilai tukar.
Pendapatan PLN sebagian besar dalam rupiah, sedangkan biayanya sebagian besar dalam bentuk valuta asing (USD). PLN menghadapi risikomismatch. Meskipun tidak seberat PLN, Pertamina juga menghadapi tekanan yang serupa. Selama ini, sumber utama laba Pertamina masih berasal dari bisnis hulunya (upstream). Bisnis hilirnya (refinery & downstream), meski menjadi kontributor terbesar dari sisi pendapatan (revenue), namun beberapa kali masih mengalami kerugian. Kerugian bisnis hilir terutama disebabkan biaya kilang yang relatif tinggi, sedangkan Pertamina kurang memiliki fleksibilitas dalam menentukan harga jual produk BBM di dalam negeri.
Kini, seiring dengan jatuhnya harga minyak, bisnis hulu Pertamina diperkirakan tertekan. Beberapa blok migas menjadi kurangfavourableuntuk berproduksi, karena biaya eksplorasinya yang tinggi. Beruntungnya, Pertamina relatif tidak menghadapi risikomismatch, seperti yang dialami PLN, karena Pertamina memiliki pendapatan dalam dolar AS yang relatif besar.
Tantangan yang dihadapi BUMN tahun ini cukup berat, setelah selama lima tahun terakhir, BUMN telah banyak berperan menopang keberhasilan berbagai program pemerintah, baik di bidang infrastruktur, energi, pangan dan perumahan. Kini BUMN-BUMN kita sedang mengalami tekanan akibat Covid-19, yang kehadirannya tidak diduga sebelumnya. Karena itu, sudah sewajarnya bila pemerintah turun tangan mendukung BUMN.
Pemerintah perlu turun tangan menjaga stabilitas keuangan, terutama bagi BUMN yang telah mengemban misi strategis pemerintah. Kurang tepat bila terdapat kecurigaan bahwa injeksi dana ke BUMN adalah untuk menutupi kerugian akibat salah kelola di BUMN. Sangat penting bagi BUMN agar mampu mempertahankan kelangsungan usahanya, menjaga kesehatan keuangannya, serta memilikicash flowyang cukup. Tujuannya, agar BUMN-BUMN kita tetap mampu mengemban misi sebagaiagent of development.
(thm)