Antisipasi Meluasnya Instabilitas Global
Jum'at, 25 Februari 2022 - 10:50 WIB
Ahmad Khoirul Umam
Dosen Ilmu Politik & Internatonal Studies, Universitas Paramadina
Managing Director Paramadina Public Policy Institute (PPPI), Jakarta
Tekan ekonomi global akibat pandemi Covid-19 selama dua tahun terakhir ini ternyata tidak menyurutkan tensi hubungan antar-kekuatan besar di dunia internasional. Setelah berminggu-minggu ketegangan relasi konfliktual antara Rusia dan Ukraina mampu ditahan, pada Kamis (24/02/) perang akhirnya pecah dan tersulut juga.
Anatomi konflik Rusia dan Ukraina ini tidak lepas dari “ego kekuasaan” dari masing-masing negara, yang tidak ingin dipandang sebelah mata dan diremehkan. Ketegangan antara Rusia dan Ukraina tak lepas dari sejarah panjang luka hubungan masa lalu, yang semula merupakan wilayah kesatuan teritorial yang tunggal lalu berujung pada pemisahan negara pasca-hancurnya Uni Soviet di akhir masa Perang Dingin tahun 1990-an.
Perbedaan “ide” dan “identitas nasionalisme” itu kemudian terus berkembang, hingga memunculkan sejumlah percikan api besar konflik lanjutan, yang ditandai oleh aneksasi Semenanjung Krimea oleh Rusia pada 2014 lalu.
Pasca aneksasi Krimea, pertahanan keamanan Ukraina juga terus diuji oleh instabilitas yang diciptakan oleh gerakan separatisme wilayah Timur, utamanya yang terus bergejolak di titik kota Donetsk dan Luhanks.
Kedua kota di wilayah Donbask inilah yang kemudian memicu “adu mulut” dan sikap saling tuding selanjutnya, yang tidak hanya melibatkan Rusia dan Ukraina, namun juga melibatkan kekuatan Barat, khususnya Amerika Serikat.
Dalam konteks ini, Barat dan Ukraina melancarkan tudingan bahwa Rusia adalah pihak yang mempersenjatai dan bertanggung jawab di balik gerakan separatisme tersebut. Merespons kondisi itu, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky terus melakukan lobi-lobi internasional dengan back up Amerika Serikat, agar menjadi bagian North Atlantic Treaty Organization (NATO).
Dosen Ilmu Politik & Internatonal Studies, Universitas Paramadina
Managing Director Paramadina Public Policy Institute (PPPI), Jakarta
Tekan ekonomi global akibat pandemi Covid-19 selama dua tahun terakhir ini ternyata tidak menyurutkan tensi hubungan antar-kekuatan besar di dunia internasional. Setelah berminggu-minggu ketegangan relasi konfliktual antara Rusia dan Ukraina mampu ditahan, pada Kamis (24/02/) perang akhirnya pecah dan tersulut juga.
Anatomi konflik Rusia dan Ukraina ini tidak lepas dari “ego kekuasaan” dari masing-masing negara, yang tidak ingin dipandang sebelah mata dan diremehkan. Ketegangan antara Rusia dan Ukraina tak lepas dari sejarah panjang luka hubungan masa lalu, yang semula merupakan wilayah kesatuan teritorial yang tunggal lalu berujung pada pemisahan negara pasca-hancurnya Uni Soviet di akhir masa Perang Dingin tahun 1990-an.
Perbedaan “ide” dan “identitas nasionalisme” itu kemudian terus berkembang, hingga memunculkan sejumlah percikan api besar konflik lanjutan, yang ditandai oleh aneksasi Semenanjung Krimea oleh Rusia pada 2014 lalu.
Pasca aneksasi Krimea, pertahanan keamanan Ukraina juga terus diuji oleh instabilitas yang diciptakan oleh gerakan separatisme wilayah Timur, utamanya yang terus bergejolak di titik kota Donetsk dan Luhanks.
Kedua kota di wilayah Donbask inilah yang kemudian memicu “adu mulut” dan sikap saling tuding selanjutnya, yang tidak hanya melibatkan Rusia dan Ukraina, namun juga melibatkan kekuatan Barat, khususnya Amerika Serikat.
Dalam konteks ini, Barat dan Ukraina melancarkan tudingan bahwa Rusia adalah pihak yang mempersenjatai dan bertanggung jawab di balik gerakan separatisme tersebut. Merespons kondisi itu, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky terus melakukan lobi-lobi internasional dengan back up Amerika Serikat, agar menjadi bagian North Atlantic Treaty Organization (NATO).
Lihat Juga :
tulis komentar anda