Reformasi PBB dan Perdamaian Abadi

Selasa, 22 Oktober 2024 - 17:43 WIB
loading...
Reformasi PBB dan Perdamaian...
Dosen Hubungan Internasional FISIP dan Wakil Rektor 1 Unwahas Semarang, Andi Purwono. FOTO/UNWAHAS SEMARANG
A A A
Andi Purwono
Dosen Hubungan Internasional FISIP dan Wakil Rektor 1 Unwahas Semarang

PIAGAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) genap berumur 79 tahun pada 24 Oktober 2024. Paragraf pembuka Piagam PBB menyebut idealisme mulia untuk menyelamatkan generasi penerus dari bencana perang, menegakkan hak asasi manusia, dan menciptakan kondisi di mana keadilan dan penghormatan atas kewajiban berasal dari hukum internasional. Namun peran utama organisasi internasional ini dalam menjaga perdamaian dunia terus mendapat sorotan tajam.

Sebagai contoh saat ini, 43.000 warga Gaza Palestina serta 280 pekerja kemanusiaan telah menjadi korban sejak setahun lebih genosida Israel. Sekolah, rumah sakit, kamp pengungsi dan rumah ibadah yang seharusnya dilindungi turut diserang. Warga Libanon juga merasakan nestapa senada bahkan Israel telah dua kali menyerang markas pasukan perdamaian PBB di Libanon/UNIFIL.

Organisasi internasional seperti PBB didirikan atas dasar prinsip collective security/ keamanan kolektif (Kegley and Blanton: 2011). Konsep ini mencita-citakan perdamaian abadi dunia lewat upaya Bersama berkontibusi menciptakan keamanan bagi semua (all for one, one for all). Ancaman keamanan dari satu agressor pengganggu akan dianggap sebagai ancaman semua.

Gagasan idealis kaum liberalisme politik internasional ini meyakini bahwa perdamaian internasional akan bisa diwujudkan melalui organisasi dan hukum internasional. Keduanya diharapkan mampu mereduksi situasi anarkhi internasional akibat tidak adanya pemerintah dunia (world government). Karenanya negara diharapkan merelakan sebagian kedaulatannya kepada institusi internasional demi harmoni dan tatanan dunia (word order).

Persoalannya, menurut penganut realism, pandangan itu utopis. Realitas yang sejatinya terjadi di panggung politik internasional adalah pertarungan kekuasaan. Semua negara berupaya memperoleh pengaruh/kuasa, mempertahankan, dan memperbesarnya demi kepentingannya.

Realita itu pula yang terrefleksi di PBB. Alih-alih menjadi aktor independen yang bisa menjalankan misi idealnya, PBB justru lebih sering menjadi instrumen kepentingan beberapa negara. Akibatnya peran vitalnya terbelenggu tarik- menarik kepentingan anggotanya.

Fakta tersebut terlihat dalam perjalanan Liga Bangsa-Bangsa setelah Perang Dunia I maupun PBB setelah Perang Dunia II. Era Perang Dingin 1945-1991 maupun setelahnya juga masih berisi cerita tentang konflik yang silih berganti terjadi. Bahkan pertikaian yang lebih tua dari usia PBB belum terurai hingga kini yakni antara bangsa Arab Palestina dan Yahudi Israel.

Beberapa pihak memang mengapresiasi sebagian peran di beberapa isu sosial lain namun mengkritisi kegagapan PBB di isu keamanan. Problem utamanya diyakini ada pada struktur tidak demokratis PBB. Berdasar artikel 24 Piagam PBB, isu perdamaian dan keamanan menjadi kewenangan Dewan Keamanan (DK) PBB.

Namun DK PBB dikuasai lima negara pemilik kekuatan veto yaitu Amerika, Rusia, Tiongkok, Inggris, dan Perancis. Pada tahun 1945, kelimanya dinilai paling mampu menjamin perdamaian dan stabilitas dunia karena muncul sebagai pemenang Perang Dunia Kedua. Namun kini dunia telah berubah dan tantangan semakin berkembang kompleks.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0853 seconds (0.1#10.140)