Antisipasi Meluasnya Instabilitas Global
Jum'at, 25 Februari 2022 - 10:50 WIB
Rencana keanggotaan Ukraina dalam organisasi pakta pertahanan Atlantik Utara inilah yang diharapkan bisa menghadirkan perlindungan pertahanan dan stabilitas keamanan yang memadai untuk menghadapi kekuatan dan kedigdayaan Rusia (balance of power). Bahkan, proposal keanggotaan itu juga sedianya ditindaklanjuti oleh rencana pendirian pangkalan militer NATO di perbatasan kedua negara.
Hal inilah yang kemudian memicu kemarahan besar Presiden Rusia Vladimir Putin hingga mendeklarasikan operasi militer yang berujung pada pecahnya perang besar di awal 2022 ini. Bahkan, besarnya kemarahan Rusia itu bisa dilihat dari target serangan yang langsung tidak hanya menjangkau wilayah peripheral, tetapi juga menyasar Kiev, ibu kota Ukraina, yang notabene merupakan Centre of Gravity (COG) dari kekuatan fundamental Ukraina di bidang politik, ekonomi dan juga pertahanan-keamanan negaranya.
Akar Konfliktual
Berlajar dari anatomi konflik Rusia-Ukraina, kita bisa memahami bahwa terdapat sejumlah faktor utama yang patut diantisipasi bersama, agar setiap akar konflik-konflik di berbagai kawasan dapat senantiasa terkelola dan tidak berujung pada benturan antar kekuatan yang menciptakan instabilitas keamanan global.
Pertama, pentingnya mengelola fungsi diplomasi dan komunikasi politik, dalam konteks bilateral maupun multilateral antar-negara, utamanya dalam konteks relasi yang telah memiliki akar sejarah konflik masa lalu yang panjang.
Dalam perspektif paradigma konstruktivisme dalam studi hubungan internasional, konflik dan perang tidak jarang yang dipicu oleh akar komunikasi yang tidak selesai, sehingga mengokohkan ide, persepsi, hingga stereotype atas “identitas” kepentingan sosial, ekonomi dan politik masa lalu, yang akhirnya bisa menyulut konflik dan perang dalam skala besar.
Artinya, ketika fungsi diplomasi dan komunikasi politik publik tidak tergarap secara optimal, maka garis konflik masa lalu antara Rusia dan Ukraina akan jauh lebih mudah tersulut oleh percikan kalkulasi kepentingan nasional masing-masing negara, yang barangkali sudah tidak lagi rasional.
Akibatnya, keuntungan yang diperoleh dari jalan perang dianggap lebih besar daripada harga yang harus dikeluarkan, terlepas pihak mana yang nanti menjadi pemenangnya. Dalam ruang konfliktual, manusia dan negara tidak lagi menjadi aktor yang rasional.
Kedua, lebih berhati-hati agar tidak terjebak dalam bias kalkulasi kepentingan strategis. Dalam konteks ini, kejernihan menimbang dan mengkalkulasikan strategi pencapaian kepentingan nasional, sangat ditentukan oleh kompleksitas aktor yang terlibat. Artinya, tingginya kepercayaan diri Ukraina dalam menghadapi Rusia tentu tidak lepas dari ekosistem kekuatan yang mengelilinginya, khususnya keterlibatan NATO dan juga Amerika Serikat sendiri yang menjanjikan aliansi dukungan pertahanan yang kuat sebagai back up kekuatan.
Akibat kompleksitas aktor, sikap saling tuding terkait “siapa yang memulai”, “benarkah penarikan pasukan telah dilakukan”, “siapakah yang bisa dipercaya”, terus membayangi komunikasi hingga menghasilkan political distrust. Akibatnya, langkah-langkah mitigasi dalam upaya menghadirkan resolusi konflik dan manajemen perdamaian kawasan menjadi gagal.
Hal inilah yang kemudian memicu kemarahan besar Presiden Rusia Vladimir Putin hingga mendeklarasikan operasi militer yang berujung pada pecahnya perang besar di awal 2022 ini. Bahkan, besarnya kemarahan Rusia itu bisa dilihat dari target serangan yang langsung tidak hanya menjangkau wilayah peripheral, tetapi juga menyasar Kiev, ibu kota Ukraina, yang notabene merupakan Centre of Gravity (COG) dari kekuatan fundamental Ukraina di bidang politik, ekonomi dan juga pertahanan-keamanan negaranya.
Akar Konfliktual
Berlajar dari anatomi konflik Rusia-Ukraina, kita bisa memahami bahwa terdapat sejumlah faktor utama yang patut diantisipasi bersama, agar setiap akar konflik-konflik di berbagai kawasan dapat senantiasa terkelola dan tidak berujung pada benturan antar kekuatan yang menciptakan instabilitas keamanan global.
Pertama, pentingnya mengelola fungsi diplomasi dan komunikasi politik, dalam konteks bilateral maupun multilateral antar-negara, utamanya dalam konteks relasi yang telah memiliki akar sejarah konflik masa lalu yang panjang.
Dalam perspektif paradigma konstruktivisme dalam studi hubungan internasional, konflik dan perang tidak jarang yang dipicu oleh akar komunikasi yang tidak selesai, sehingga mengokohkan ide, persepsi, hingga stereotype atas “identitas” kepentingan sosial, ekonomi dan politik masa lalu, yang akhirnya bisa menyulut konflik dan perang dalam skala besar.
Artinya, ketika fungsi diplomasi dan komunikasi politik publik tidak tergarap secara optimal, maka garis konflik masa lalu antara Rusia dan Ukraina akan jauh lebih mudah tersulut oleh percikan kalkulasi kepentingan nasional masing-masing negara, yang barangkali sudah tidak lagi rasional.
Akibatnya, keuntungan yang diperoleh dari jalan perang dianggap lebih besar daripada harga yang harus dikeluarkan, terlepas pihak mana yang nanti menjadi pemenangnya. Dalam ruang konfliktual, manusia dan negara tidak lagi menjadi aktor yang rasional.
Kedua, lebih berhati-hati agar tidak terjebak dalam bias kalkulasi kepentingan strategis. Dalam konteks ini, kejernihan menimbang dan mengkalkulasikan strategi pencapaian kepentingan nasional, sangat ditentukan oleh kompleksitas aktor yang terlibat. Artinya, tingginya kepercayaan diri Ukraina dalam menghadapi Rusia tentu tidak lepas dari ekosistem kekuatan yang mengelilinginya, khususnya keterlibatan NATO dan juga Amerika Serikat sendiri yang menjanjikan aliansi dukungan pertahanan yang kuat sebagai back up kekuatan.
Akibat kompleksitas aktor, sikap saling tuding terkait “siapa yang memulai”, “benarkah penarikan pasukan telah dilakukan”, “siapakah yang bisa dipercaya”, terus membayangi komunikasi hingga menghasilkan political distrust. Akibatnya, langkah-langkah mitigasi dalam upaya menghadirkan resolusi konflik dan manajemen perdamaian kawasan menjadi gagal.
Lihat Juga :
tulis komentar anda