Antisipasi Meluasnya Instabilitas Global
Jum'at, 25 Februari 2022 - 10:50 WIB
Ketiga, pentingnya mengelola “ego kekuasaan” yang dimainkan oleh elit politik, pemerintahan, atau negara. Dalam konteks ini, konflik yang selanjutnya tersulut menjadi perang terbuka seringkali tidak lepas dari hadirnya sosok pemimpin yang meledak-ledak, tidak mudah diterka (erratic leader), memiliki ego yang tinggi, serta kadang menikmati hadirnya atmosfer ketegangan hingga perang (warlike leader).
Untuk mengendalilkan jenis kepemimpinan seperti ini, maka hadirnya sistem checking and balancing dalam ruang demokrasi yang sehat, sangatlah dibutuhkan. Jika koreksi dan pengawasan kepada setiap langkah strategis pemimpin bisa dilakukan, maka upaya penciptaan perdamaian akan semakin feasible untuk diwujudkan.
Antisipasi Perluasan
Belajar dari ketiga hal di atas, Indonesia harus mengantisipasi agar ancaman instabilitas ini tidak berpindah ke kawasan Asia Tenggara. Tentu kita memahami bersama, ada sejumlah kekuatan besar yang sedang berusaha mengonsolidasikan kekuatan mereka di kawasan Indo-Pasifik.
Upaya konsolidasi kekuatan itu salah satunya ditandai oleh hadirnya deklarasi pakta pertahanan Australia, United Kingdom dan United States of America (AUKUS) pada September 2021 lalu. Telah menjadi rahasia umum, pakta pertahanan AUKUS ini dihadirkan sebagai upaya perimbangan kekuatan terhadap China yang semakin mengokohkan pengaruh dan kekuatan ekonomi-politik serta pertahanannya di kawasan Asia Tenggara dan Pasifik secara general.
Tentu kita tidak ingin konflik lama yang terbangun pada era Perang Dingin kembali terjadi di kawasan ini. Perang Rusia dan Ukraina kali ini harus menjadi wake-up call bagi kita semua, untuk benar-benar mampu menjalankan kerja diplomasi dan komunikasi politik publik di kawasan secara optimal.
Jangan sampai Asia Tenggara, khususnya Indonesia, menjadi ajang medan pertempuran dan adu pelanduk di antara dua kekuatan besar di kawasan.
Untuk itu, komitmen semua negara di kawasan harus terus ditegakkan, untuk menghadirkan kerja-kerja diplomasi dan komunikasi politik yang jujur, transparan, dan akuntabel.
Pada saat yang sama, proses diplomasi dan komunikasi politik publik harus benar-benar diletakkan dalam koritor relasi bilateral maupun multilateral yang kontruktif dan tidak bias kepentingan. Upaya untuk menghindari terjadi strategic miscalculation merupakan agenda bersama, demi terjaganya perdamaian dunia.
Terakhir, upaya penguatan terhadap sistem demokrasi yang mengahdirkan model checking and balancing benar-benar harus terus dijalankan secara simultan, agar output kepemimpinan politik tidak dibelokkan oleh “ego kekuasaan”. Di sinilah, teori perdamaian demokrasi (democratic peace theory) yang meyakini bahwa perdamaian kawasan akan lebih mudah dicapai ketika masing-masing negara menjalankan sistem demokrasi yang sehat dan transparan, akan kembali menemukan justifikasi dan relevansinya dalam konteks teori maupun praktik hubungan internasional.
Untuk mengendalilkan jenis kepemimpinan seperti ini, maka hadirnya sistem checking and balancing dalam ruang demokrasi yang sehat, sangatlah dibutuhkan. Jika koreksi dan pengawasan kepada setiap langkah strategis pemimpin bisa dilakukan, maka upaya penciptaan perdamaian akan semakin feasible untuk diwujudkan.
Antisipasi Perluasan
Belajar dari ketiga hal di atas, Indonesia harus mengantisipasi agar ancaman instabilitas ini tidak berpindah ke kawasan Asia Tenggara. Tentu kita memahami bersama, ada sejumlah kekuatan besar yang sedang berusaha mengonsolidasikan kekuatan mereka di kawasan Indo-Pasifik.
Upaya konsolidasi kekuatan itu salah satunya ditandai oleh hadirnya deklarasi pakta pertahanan Australia, United Kingdom dan United States of America (AUKUS) pada September 2021 lalu. Telah menjadi rahasia umum, pakta pertahanan AUKUS ini dihadirkan sebagai upaya perimbangan kekuatan terhadap China yang semakin mengokohkan pengaruh dan kekuatan ekonomi-politik serta pertahanannya di kawasan Asia Tenggara dan Pasifik secara general.
Tentu kita tidak ingin konflik lama yang terbangun pada era Perang Dingin kembali terjadi di kawasan ini. Perang Rusia dan Ukraina kali ini harus menjadi wake-up call bagi kita semua, untuk benar-benar mampu menjalankan kerja diplomasi dan komunikasi politik publik di kawasan secara optimal.
Jangan sampai Asia Tenggara, khususnya Indonesia, menjadi ajang medan pertempuran dan adu pelanduk di antara dua kekuatan besar di kawasan.
Untuk itu, komitmen semua negara di kawasan harus terus ditegakkan, untuk menghadirkan kerja-kerja diplomasi dan komunikasi politik yang jujur, transparan, dan akuntabel.
Pada saat yang sama, proses diplomasi dan komunikasi politik publik harus benar-benar diletakkan dalam koritor relasi bilateral maupun multilateral yang kontruktif dan tidak bias kepentingan. Upaya untuk menghindari terjadi strategic miscalculation merupakan agenda bersama, demi terjaganya perdamaian dunia.
Terakhir, upaya penguatan terhadap sistem demokrasi yang mengahdirkan model checking and balancing benar-benar harus terus dijalankan secara simultan, agar output kepemimpinan politik tidak dibelokkan oleh “ego kekuasaan”. Di sinilah, teori perdamaian demokrasi (democratic peace theory) yang meyakini bahwa perdamaian kawasan akan lebih mudah dicapai ketika masing-masing negara menjalankan sistem demokrasi yang sehat dan transparan, akan kembali menemukan justifikasi dan relevansinya dalam konteks teori maupun praktik hubungan internasional.
Lihat Juga :
tulis komentar anda