Perbankan dan Derap Perekonomian
Rabu, 09 Februari 2022 - 06:27 WIB
Prof Candra Fajri Ananda, PhD
Staf Khusus Menteri Keuangan RI
INDONESIA merupakan salah satu negara berkembang yang memiliki kinerja ekonomi yang terus tumbuh dan stabil dengan capaian rerata pertumbuhan ekonomi dari 2015 hingga 2019 sebesar 5,03% atau jauh di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi global yang hanya sebesar 2,72%. Salah satu sektor penting lain, sektor keuangan, juga berperan sebagai salah satu sumber pertumbuhan ekonomi. Data menunjukkan bahwa selama lima tahun terakhir rerata pertumbuhan jasa keuangan adalah sebesar 6,02%.
Meski secara umum kinerja jasa keuangan terus tumbuh positif, sayangnya industri jasa keuangan Indonesia masih relatif lebih rendah dari negara setara di Kawasan Asia Tenggara. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di tahun 2020 mencatat bahwa aset perbankan Indonesia mampu mengalami peningkatan hingga Rp9.333 triliun atau sebesar 59,5% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Akan tetapi, angka tersebut masih lebih kecil dibandingkan dengan beberapa negara di Kawasan Asia Tenggara, seperti Singapura, Malaysia, Thailand dan Filipina yang masing-masing memiliki aset perbankan sebesar 325,8%, 206%, 144,9%, dan 100,6% terhadap PDB.
Di tengah perkembangan sektor keuangan Indonesia yang terus menunjukkan laju positif, peran perbankan nasional sebagai lembaga intermediasi keuangan tak lepas dari sejumlah tantangan besar. Angka penyaluran kredit yang masih relatif rendah terhadap PDB menjadi salah satu tantangan penting yang harus dihadapi. Pada tahun 2020, penyaluran kredit terhadap PDB sebesar 36,66%, jauh lebih rendah dibandingkan kinerja penyaluran kredit perbankan di Thailand, Malaysia, dan Singapura yang masing-masing sebesar 160%, 134%, dan 133% (World Bank, 2020).
Selain itu, tantangan lain juga datang dari tingginya biaya transaksi dan efisiensi di sektor perbankan. Hal itu terlihat dari tingginya cost of fund melalui suku bunga kredit yang rata-rata sebesar 9,7%. Meskipun suku bunga pinjaman dalam tren menurun, namun suku bunga pinjaman masih relatif tinggi bila dibandingkan dengan negara lain di kawasan.
Di samping itu, tantangan lainnya yang juga dihadapi oleh perbankan nasional ialah masih rendahnya tingkat literasi keuangan Indonesia yang hanya berkisar 38,03%. Demikian dengan tingkat inklusi yang masih berada pada kisaran 61,7%. Sehingga, salah satu dampak negatif dari rendahnya literasi dan inklusi keuangan tersebut adalah maraknya praktik ilegal di industri jasa keuangan yang merugikan masyarakat.
Kondisi yang dihadapi oleh industri jasa keuangan saat ini perlu menjadi perhatian serius. Sebab, tantangan industri jasa keuangan ke depan akan menjadi lebih berat di tengah masih tingginya ketidakpastian ekonomi akibat pandemi yang belum menepi. Di tengah terbatasnya mobilitas masyarakat, wajah sektor industri jasa keuangan ke depan juga akan terus dinamis dan membutuhkan transformasi, dari yang berbasis fisik menjadi berbasis digital.
Mendorong Industri Jasa Keuangan Yang Inklusif, Aman, dan Stabil
Staf Khusus Menteri Keuangan RI
INDONESIA merupakan salah satu negara berkembang yang memiliki kinerja ekonomi yang terus tumbuh dan stabil dengan capaian rerata pertumbuhan ekonomi dari 2015 hingga 2019 sebesar 5,03% atau jauh di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi global yang hanya sebesar 2,72%. Salah satu sektor penting lain, sektor keuangan, juga berperan sebagai salah satu sumber pertumbuhan ekonomi. Data menunjukkan bahwa selama lima tahun terakhir rerata pertumbuhan jasa keuangan adalah sebesar 6,02%.
Meski secara umum kinerja jasa keuangan terus tumbuh positif, sayangnya industri jasa keuangan Indonesia masih relatif lebih rendah dari negara setara di Kawasan Asia Tenggara. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di tahun 2020 mencatat bahwa aset perbankan Indonesia mampu mengalami peningkatan hingga Rp9.333 triliun atau sebesar 59,5% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Akan tetapi, angka tersebut masih lebih kecil dibandingkan dengan beberapa negara di Kawasan Asia Tenggara, seperti Singapura, Malaysia, Thailand dan Filipina yang masing-masing memiliki aset perbankan sebesar 325,8%, 206%, 144,9%, dan 100,6% terhadap PDB.
Di tengah perkembangan sektor keuangan Indonesia yang terus menunjukkan laju positif, peran perbankan nasional sebagai lembaga intermediasi keuangan tak lepas dari sejumlah tantangan besar. Angka penyaluran kredit yang masih relatif rendah terhadap PDB menjadi salah satu tantangan penting yang harus dihadapi. Pada tahun 2020, penyaluran kredit terhadap PDB sebesar 36,66%, jauh lebih rendah dibandingkan kinerja penyaluran kredit perbankan di Thailand, Malaysia, dan Singapura yang masing-masing sebesar 160%, 134%, dan 133% (World Bank, 2020).
Selain itu, tantangan lain juga datang dari tingginya biaya transaksi dan efisiensi di sektor perbankan. Hal itu terlihat dari tingginya cost of fund melalui suku bunga kredit yang rata-rata sebesar 9,7%. Meskipun suku bunga pinjaman dalam tren menurun, namun suku bunga pinjaman masih relatif tinggi bila dibandingkan dengan negara lain di kawasan.
Di samping itu, tantangan lainnya yang juga dihadapi oleh perbankan nasional ialah masih rendahnya tingkat literasi keuangan Indonesia yang hanya berkisar 38,03%. Demikian dengan tingkat inklusi yang masih berada pada kisaran 61,7%. Sehingga, salah satu dampak negatif dari rendahnya literasi dan inklusi keuangan tersebut adalah maraknya praktik ilegal di industri jasa keuangan yang merugikan masyarakat.
Kondisi yang dihadapi oleh industri jasa keuangan saat ini perlu menjadi perhatian serius. Sebab, tantangan industri jasa keuangan ke depan akan menjadi lebih berat di tengah masih tingginya ketidakpastian ekonomi akibat pandemi yang belum menepi. Di tengah terbatasnya mobilitas masyarakat, wajah sektor industri jasa keuangan ke depan juga akan terus dinamis dan membutuhkan transformasi, dari yang berbasis fisik menjadi berbasis digital.
Mendorong Industri Jasa Keuangan Yang Inklusif, Aman, dan Stabil
tulis komentar anda