Ambiguitas Kedudukan Pemerintahan Otorita IKN Nusantara
Jum'at, 28 Januari 2022 - 17:54 WIB
Kembali pada isu Otorita IKN sebagaimana disinggung di awal, menjadi hal yang tidak lazim apabila Otorita IKN disejajarkan sebagai lembaga setingkat kementerian karena di samping bukan bagian dari jenis/bentuk pemerintahan yang terdapat dalam UUD 1945, juga berpotensi menimbulkan kerancuan pengaturan wewenang dan hubungan Otorita IKN dengan kementerian dan pemerintahan daerah lainnya. Konsep otorita lebih merupakan suatu organisasi pemerintah pusat yang pimpinannya secara delegasi untuk melaksanakan kewenangan tertentu dari pemerintah pusat.
Sementara pemerintah daerah merupakan kesatuan masyarakat hukum pada wilayah tertentu yang diberi hak untuk mengatur dan mengurus daerahnya sendiri berdasarkan prinsip otonomi. Konstitusi mengatur adanya pemerintahan daerah provinsi dan kabupaten/kota. Kemudian adanya pemerintahan daerah khusus. Sementara konsep otorita hanya menjalankan peran dan fungsi pemerintahan sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah pusat. Otorita tidak dapat mengatur urusan kepentingan publik di daerah kawasan tersebut. Padahal, konsep pemerintahan daerah berbanding sebaliknya yakni mengurusi berbagai persoalan administrasi pelayanan masyarakat sejak kelahiran hingga kematian. Termasuk soal urusan pendidikan, kesehatan, ekonomi hingga budaya sehingga berwenang pula untuk memungut pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD).
Indonesia pernah menerapkan sistem otorita di era Orde Baru yaitu Otorita Batam yang bertugas melaksanakan kewenangan teknis tertentu dari pemerintah pusat dalam mengurus industri teknologi tinggi, alih kapal, perdagangan, dan pariwisata di Kota Batam. Selain juga terdapat lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang bertugas menjalankan kewenangan teknis dari pemerintah pusat dalam pengawasan terhadap lembaga jasa keuangan di sektor perbankan, lembaga finance, pasar modal, perasuransian dll yang sebelumnya merupakan kewenangan Bank Indonesia (BI).
Yang menjadi persoalan adalah Otorita IKN didesain layaknya pemerintahan daerah setingkat provinsi, di mana berdasarkan ketentuan Pasal 18, 18A ayat (1) UUD 1945 jenis pemerintahan daerah dalam sistem pemerintahan nasional menentukan dengan sangat jelas dan rigid terbatas hanya daerah provinsi dan kabupaten/kota yang masing-masing dikepalai oleh Gubernur, Bupati atau wali kota yang tidak memungkinkan adanya nama dan konsep pemerintahan daerah dan kepala daerah selain yang telah ditentukan norma konstitusional di atas sebagai kebijakan hukum terbuka (opened legal policy).
Ketentuan Pasal 18B UUD 1945 memang mengakui dan menghormati adanya pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa, tapi pengaturannya masih dalam bentuk provinsi maupun kabupaten/kota sebagaimana yang ditentukan secara eksplisit dalam Pasal 18 dan 18 ayat (1) UUD 1945 sebagai kebijakan hukum tertutup (closed legal policy). Kekhususan atau keistimewaan tersebut dalam praktiknya pengaturan tentang Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Nanggroe Aceh Darussalam. Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat serta Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang semuanya berbentuk Pemerintahan Daerah Provinsi sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.
Persoalan di atas memberikan dampak lanjutan apabila Otorita IKN Nusantara dipersamakan kedudukannya dengan pemerintahan daerah di tingkat provinsi karena Otorita IKN yang dipimpin oleh Kepala Otorita juga harus dipilih secara demokratis berdasarkan optik Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 baik melalui pemilihan umum maupun melalui DPRD sebagaimana yang dilakukan di Pemerintahan DIY dalam menjalankan otonomi daerah. Tidaklah tepat apabila Kepala Otorita IKN (dalam perspektif dipersamakan dengan Kepala Daerah) dilakukan dengan mekanisme penunjukan langsung atau penetapan oleh Presiden dengan syarat pertimbangan/fit and proper test/konsultasi dengan DPR sebelumnya karena mekanisme tersebut dipraktikkan untuk memilih pejabat yang menjalankan tugas pemerintahan pusat di rumpun kekuasaan eksekutif seperti Menteri, Kapolri, Panglima TNI,
Komisioner KPK, Jaksa Agung, Ketua Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) dll.
Begitu pun pula menjadi tidak sejalan dengan ketentuan konstitusi dan UU Kementerian Negara apabila pelembagaan otorita dan Kepala Otorita IKN disejajarkan setingkat dengan lembaga kementerian dan jabatan menteri karena berdasarkan ketentuan Pasal 17 UUD 1945 secara eksplisit pula nomenklatur yang dipakai perihal pejabat yang bertugas membantu Presiden dalam membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan beserta pengangkatan dan pemberhentiannya ditunjuk langsung oleh Presiden adalah jabatan Menteri, bukan jabatan Kepala Otorita walaupun mekanisme pengangkatannya juga ditunjuk langsung oleh Presiden dengan adanya perbedaan tipis setelah melewati mekanisme konsultasi dengan DPR yang mana mekanisme ini tidak dikenal dalam penunjukan jabatan Menteri.
Pemerintah perlu menyikapi secara serius terkait persoalan ambiguitas kedudukan Otorita IKN baru ini dalam bentuk pemerintahan yang relevan agar tidak terjadi tumpang tindih (overlapping) kewenangan dan sinergitas dengan kementerian, pemerintah daerah maupun para pemangku kepentingan (stakeholders) terkait sebagaimana yang telah diuraikan di atas.
Sementara pemerintah daerah merupakan kesatuan masyarakat hukum pada wilayah tertentu yang diberi hak untuk mengatur dan mengurus daerahnya sendiri berdasarkan prinsip otonomi. Konstitusi mengatur adanya pemerintahan daerah provinsi dan kabupaten/kota. Kemudian adanya pemerintahan daerah khusus. Sementara konsep otorita hanya menjalankan peran dan fungsi pemerintahan sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah pusat. Otorita tidak dapat mengatur urusan kepentingan publik di daerah kawasan tersebut. Padahal, konsep pemerintahan daerah berbanding sebaliknya yakni mengurusi berbagai persoalan administrasi pelayanan masyarakat sejak kelahiran hingga kematian. Termasuk soal urusan pendidikan, kesehatan, ekonomi hingga budaya sehingga berwenang pula untuk memungut pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD).
Indonesia pernah menerapkan sistem otorita di era Orde Baru yaitu Otorita Batam yang bertugas melaksanakan kewenangan teknis tertentu dari pemerintah pusat dalam mengurus industri teknologi tinggi, alih kapal, perdagangan, dan pariwisata di Kota Batam. Selain juga terdapat lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang bertugas menjalankan kewenangan teknis dari pemerintah pusat dalam pengawasan terhadap lembaga jasa keuangan di sektor perbankan, lembaga finance, pasar modal, perasuransian dll yang sebelumnya merupakan kewenangan Bank Indonesia (BI).
Yang menjadi persoalan adalah Otorita IKN didesain layaknya pemerintahan daerah setingkat provinsi, di mana berdasarkan ketentuan Pasal 18, 18A ayat (1) UUD 1945 jenis pemerintahan daerah dalam sistem pemerintahan nasional menentukan dengan sangat jelas dan rigid terbatas hanya daerah provinsi dan kabupaten/kota yang masing-masing dikepalai oleh Gubernur, Bupati atau wali kota yang tidak memungkinkan adanya nama dan konsep pemerintahan daerah dan kepala daerah selain yang telah ditentukan norma konstitusional di atas sebagai kebijakan hukum terbuka (opened legal policy).
Ketentuan Pasal 18B UUD 1945 memang mengakui dan menghormati adanya pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa, tapi pengaturannya masih dalam bentuk provinsi maupun kabupaten/kota sebagaimana yang ditentukan secara eksplisit dalam Pasal 18 dan 18 ayat (1) UUD 1945 sebagai kebijakan hukum tertutup (closed legal policy). Kekhususan atau keistimewaan tersebut dalam praktiknya pengaturan tentang Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Nanggroe Aceh Darussalam. Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat serta Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang semuanya berbentuk Pemerintahan Daerah Provinsi sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.
Persoalan di atas memberikan dampak lanjutan apabila Otorita IKN Nusantara dipersamakan kedudukannya dengan pemerintahan daerah di tingkat provinsi karena Otorita IKN yang dipimpin oleh Kepala Otorita juga harus dipilih secara demokratis berdasarkan optik Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 baik melalui pemilihan umum maupun melalui DPRD sebagaimana yang dilakukan di Pemerintahan DIY dalam menjalankan otonomi daerah. Tidaklah tepat apabila Kepala Otorita IKN (dalam perspektif dipersamakan dengan Kepala Daerah) dilakukan dengan mekanisme penunjukan langsung atau penetapan oleh Presiden dengan syarat pertimbangan/fit and proper test/konsultasi dengan DPR sebelumnya karena mekanisme tersebut dipraktikkan untuk memilih pejabat yang menjalankan tugas pemerintahan pusat di rumpun kekuasaan eksekutif seperti Menteri, Kapolri, Panglima TNI,
Komisioner KPK, Jaksa Agung, Ketua Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) dll.
Begitu pun pula menjadi tidak sejalan dengan ketentuan konstitusi dan UU Kementerian Negara apabila pelembagaan otorita dan Kepala Otorita IKN disejajarkan setingkat dengan lembaga kementerian dan jabatan menteri karena berdasarkan ketentuan Pasal 17 UUD 1945 secara eksplisit pula nomenklatur yang dipakai perihal pejabat yang bertugas membantu Presiden dalam membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan beserta pengangkatan dan pemberhentiannya ditunjuk langsung oleh Presiden adalah jabatan Menteri, bukan jabatan Kepala Otorita walaupun mekanisme pengangkatannya juga ditunjuk langsung oleh Presiden dengan adanya perbedaan tipis setelah melewati mekanisme konsultasi dengan DPR yang mana mekanisme ini tidak dikenal dalam penunjukan jabatan Menteri.
Pemerintah perlu menyikapi secara serius terkait persoalan ambiguitas kedudukan Otorita IKN baru ini dalam bentuk pemerintahan yang relevan agar tidak terjadi tumpang tindih (overlapping) kewenangan dan sinergitas dengan kementerian, pemerintah daerah maupun para pemangku kepentingan (stakeholders) terkait sebagaimana yang telah diuraikan di atas.
(abd)
Lihat Juga :
tulis komentar anda