Ambiguitas Kedudukan Pemerintahan Otorita IKN Nusantara
Jum'at, 28 Januari 2022 - 17:54 WIB
Namun perlu diingat bahwa mekanisme tersebut diadopsi karena didasarkan pada asal usul historis yang dimiliki oleh Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Paku Alaman yang merupakan negara bagian atau kerajaan merdeka yang diakui oleh pemerintah kolonial jauh sebelum negara Indonesia diproklamirkan. Tidak hanya sampai di situ, peranan Yogyakarta dalam sejarah perjuangan pasca kemerdekaan pun pernah menjadi Ibu Kota Republik Indonesia sementara pada kurun waktu 1946-1949 disebabkan situasi keamanan Jakarta tidak lagi kondusif sebagai pusat pemerintahan negara.
Tak hanya Yogyakarta, faktor historis perjuangan nasional juga turut menjadi alasan bagi pemerintah memberikan status daerah kekhususan kepada Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) yang memiliki ketahanan dan daya juang tinggi. Di samping itu, status kekhususan Provinsi NAD lahir disebabkan adanya perjanjian Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemerintah RI dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 15 Agustus 2005 yang bermuara pada terbitnya UU No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dengan berbagai macam kekhususan daerahnya yang diberikan oleh negara.
Baca juga: Istana: Tidak Ada Timsus Pemilihan Kepala Otorita IKN
Dari sekian banyak kekhususan daerah yang diberikan kepada Provinsi NAD, dapat kita jumpai antara lain produk hukum yang disebut Qanun, setingkat peraturan daerah, yang mengadopsi konsep Jinayah (hukum pidana Islam) yang dapat menentukan jenis dan bentuk ancaman pidana sendiri, di mana jenis produk hukum ini tidak dikenal dalam UU No 12 Tahun 2011 jo UU No. 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagai guidance pembentukan produk hukum nasional dan daerah.
Adapun pemberian status otonomi yang bersifat khusus kepada Provinsi Papua dan Papua Barat lahir akibat terjadinya kesenjangan pembangunan dan taraf hidup antara Provinsi Papua dan provinsi lainnya serta adanya berbagai pelanggaran HAM yang terjadi di tanah Papua. Hal ini kemudian menjadi pemicu rasa kekecewaan dan ketidakpuasan dari penduduk Papua Asli yang pada gilirannya melahirkan Organisasi Papua Merdeka (OPM), sehingga perlu adanya kebijakan khusus guna tercipta pemerataan dan keadilan di berbagai sektor kehidupan.
Salah satu wadah kekhususan daerah yang dimiliki Papua dan Papua Barat terletak pada bentuk dan susunan pemerintahannya yang terdiri atas Pemerintahan Provinsi sebagai badan eksekutif dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) sebagai badan legislatif yang tidak dikenal dalam sistem peraturan perundang-undangan nasional. Dalam bingkai sistem otonomi daerah, Indonesia tidak mengadopsi konsep pemisahan kekuasaan (separation of power) di tingkat daerah yang mana pemerintahan daerah terdiri dari pemerintah daerah dan DPRD merupakan satu kesatuan mitra kerja dan bukanlah bentuk separation of power yang terpisah atas cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif.
Penggunaan terminologi atau istilah DPRP juga tidak dikenal dalam ketentuan Pasal 18 ayat (3) UUD maupun UU No 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawatan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) dengan menggunakan istilah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Penggunaan istilah DPRP tanpa dibubuhi kata daerah identik dengan penggunaan istilah DPR RI yang menunjuk pada badan perwakilan di tingkat pusat.
Selain itu, Provinsi Papua dan Papua Barat memiliki kekhususan dari aspek peraturan daerah yang berbentuk Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) selain daripada Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) sebagaimana yang juga diadopsi oleh Pemerintah NAD di atas dan memiliki Bendera Daerah dan Lagu Daerah sebagaimana Sang Saka Merah Putih dan Lagu Indonesia Raya. Meskipun tidak dimaksudkan sebagai simbol kedaulatan, namun dengan adanya DPRP di tingkat provinsi dan Bendera Daerah serta Lagu Daerah sudah mengarah pada bentuk negara serikat.
Sedangkan letak kekhususan Provinsi DKI Jakarta sebelum disahkan UU IKN baru terletak pada kedudukannya sebagai Ibukota negara dengan status otonominya di tingkat provinsi. Pembagian wilayah di Provinsi DKI Jakarta ke dalam wilayah kabupaten/kota hanyalah bersifat administratif. Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta dipilih secara langsung melalui pemilihan umum, sedangkan wali kota/bupati di lingkungan wilayah Provinsi DKI Jakarta diangkat Gubernur dengan pertimbangan DPRD. Mekanisme ini berbanding terbalik dengan model yang diterapkan di Provinsi DIY. Walaupun letak keistimewaan Provinsi DIY berada pada tingkat provinsi seperti halnya DKI Jakarta, namun bupati/wali kota yang berada di lingkungan Provinsi DIY dipilih secara langsung melalui pemilihan umum. Sedangkan terhadap Gubernur dan Wakilnya diangkat berdasarkan penetapan yang dilaksanakan DPRD DIY.
Tak hanya Yogyakarta, faktor historis perjuangan nasional juga turut menjadi alasan bagi pemerintah memberikan status daerah kekhususan kepada Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) yang memiliki ketahanan dan daya juang tinggi. Di samping itu, status kekhususan Provinsi NAD lahir disebabkan adanya perjanjian Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemerintah RI dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 15 Agustus 2005 yang bermuara pada terbitnya UU No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dengan berbagai macam kekhususan daerahnya yang diberikan oleh negara.
Baca juga: Istana: Tidak Ada Timsus Pemilihan Kepala Otorita IKN
Dari sekian banyak kekhususan daerah yang diberikan kepada Provinsi NAD, dapat kita jumpai antara lain produk hukum yang disebut Qanun, setingkat peraturan daerah, yang mengadopsi konsep Jinayah (hukum pidana Islam) yang dapat menentukan jenis dan bentuk ancaman pidana sendiri, di mana jenis produk hukum ini tidak dikenal dalam UU No 12 Tahun 2011 jo UU No. 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagai guidance pembentukan produk hukum nasional dan daerah.
Adapun pemberian status otonomi yang bersifat khusus kepada Provinsi Papua dan Papua Barat lahir akibat terjadinya kesenjangan pembangunan dan taraf hidup antara Provinsi Papua dan provinsi lainnya serta adanya berbagai pelanggaran HAM yang terjadi di tanah Papua. Hal ini kemudian menjadi pemicu rasa kekecewaan dan ketidakpuasan dari penduduk Papua Asli yang pada gilirannya melahirkan Organisasi Papua Merdeka (OPM), sehingga perlu adanya kebijakan khusus guna tercipta pemerataan dan keadilan di berbagai sektor kehidupan.
Salah satu wadah kekhususan daerah yang dimiliki Papua dan Papua Barat terletak pada bentuk dan susunan pemerintahannya yang terdiri atas Pemerintahan Provinsi sebagai badan eksekutif dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) sebagai badan legislatif yang tidak dikenal dalam sistem peraturan perundang-undangan nasional. Dalam bingkai sistem otonomi daerah, Indonesia tidak mengadopsi konsep pemisahan kekuasaan (separation of power) di tingkat daerah yang mana pemerintahan daerah terdiri dari pemerintah daerah dan DPRD merupakan satu kesatuan mitra kerja dan bukanlah bentuk separation of power yang terpisah atas cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif.
Penggunaan terminologi atau istilah DPRP juga tidak dikenal dalam ketentuan Pasal 18 ayat (3) UUD maupun UU No 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawatan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) dengan menggunakan istilah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Penggunaan istilah DPRP tanpa dibubuhi kata daerah identik dengan penggunaan istilah DPR RI yang menunjuk pada badan perwakilan di tingkat pusat.
Selain itu, Provinsi Papua dan Papua Barat memiliki kekhususan dari aspek peraturan daerah yang berbentuk Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) selain daripada Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) sebagaimana yang juga diadopsi oleh Pemerintah NAD di atas dan memiliki Bendera Daerah dan Lagu Daerah sebagaimana Sang Saka Merah Putih dan Lagu Indonesia Raya. Meskipun tidak dimaksudkan sebagai simbol kedaulatan, namun dengan adanya DPRP di tingkat provinsi dan Bendera Daerah serta Lagu Daerah sudah mengarah pada bentuk negara serikat.
Sedangkan letak kekhususan Provinsi DKI Jakarta sebelum disahkan UU IKN baru terletak pada kedudukannya sebagai Ibukota negara dengan status otonominya di tingkat provinsi. Pembagian wilayah di Provinsi DKI Jakarta ke dalam wilayah kabupaten/kota hanyalah bersifat administratif. Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta dipilih secara langsung melalui pemilihan umum, sedangkan wali kota/bupati di lingkungan wilayah Provinsi DKI Jakarta diangkat Gubernur dengan pertimbangan DPRD. Mekanisme ini berbanding terbalik dengan model yang diterapkan di Provinsi DIY. Walaupun letak keistimewaan Provinsi DIY berada pada tingkat provinsi seperti halnya DKI Jakarta, namun bupati/wali kota yang berada di lingkungan Provinsi DIY dipilih secara langsung melalui pemilihan umum. Sedangkan terhadap Gubernur dan Wakilnya diangkat berdasarkan penetapan yang dilaksanakan DPRD DIY.
Lihat Juga :
tulis komentar anda