Menyoal Karantina 14 Hari
Kamis, 30 Desember 2021 - 07:16 WIB
Omicron adalah sebuah varian yang baru-baru diidentifikasi di Afrika Selatan. Dengan cepat varian ini menyebar ke berbagai negara Afrika. Karena varian ini muncul dan menyebar di negara-negara Afrika maka tindakan pemerintah Indonesia melarang warga negara Afrika masuk ke Indonesia serta memberlakukan karantina 14 hari bagi WNI dari Afrika merupakan tindakan tepat. Ini merupakan early and effective protection.
Namun, ketika pemerintah ingin memberlakukan karantina 14 hari secara merata kepada semua WNI yang akan masuk ke Indonesia, kebijaksanaan ini perlu ditelisik ulang.
Pertama, risiko penyebaran Omicron dari setiap negara berbeda. Pada sebagian negara, seperti Amerika dan Inggris, Omicron sudah menyebar cepat. Karenanya, orang yang berasal dari negara-negara ini patut dianggap berpotensi menyebarkan Omicron. Pada sebagian negara lain, kasus Omicron belum terdeteksi. Artinya, saat ini risikonya masih kecil. Dengan perbedaan tingkat risiko tiap negara ini, terlalu naif bila pemerintah hendak memberlakukan aturan universal karantina 14 hari. Apalagi tiap negara memiliki kualitas penatalaksanaan pandemi yang berbeda. Sebagian melakukan penatalaksanaan sangat baik; jumlah kasus dan kematiannya sangat berkurang, positive rate sangat rendah dan cakupan vaksinasi sangat tinggi. Sebagian lagi masih tertatih-tatih dengan kualitas pelayanan yang rendah; jumlah kasus dan kematiannya sangat tinggi, positive rate masih tinggi dan cakupan vaksinasi rendah.
Perbedaan kualitas penatalaksanaan ini seharusnya menjadi indikator penting penentuan durasi karantina. Negara-negara yang kualitas penatalaksanaannya sangat baik selayaknya dikategorikan sebagai negara risiko rendah (green list countries), sedangkan yang penatalaksanaannya sedang atau buruk masing-masing dikategorikan sebagai negara risiko sedang (yellow countries) dan risiko tinggi (red list countries). Perlakuan dan durasi karantina selayaknya berbeda bagi setiap kategori ini. Pendatang dari green list countries durasi karantinanya mesti lebih rendah dan minimal dibanding pendatang dari red list countries. Kenyataannya, banyak negara di dunia memang menggunakan sistem pengategorian (risk stratification and categorization) saat menentukan tipe dan durasi karantina. Di Qatar saat ini, pendatang dari green and yellow risk countries tidak perlu menjalani karantina. Namun yang dari red list countries harus menjalani karantina yang durasinya berbeda tergantung risiko transmisi tiap negara. Sebagian hanya dua hari dan sebagian lagi tujuh hari.
Kedua, hingga saat ini belum ada bukti konklusif terkait keparahan Omicron. Studi pendahuluan menunjukkan varian ini menyebar cepat; bahkan puluhan kali lipat dari varian Delta. Dalam seminggu saja, prevalensinya di Amerika meningkat tujuh kali lipat. Saat yang sama, beberapa jenis vaksin menurun kemanjurannya saat berhadapan dengan Omicron. Bahkan dua dosis vaksin Pfizer dan Moderna tidak terbukti efektif memproteksi. Meski demikian, hingga saat ini belum ada bukti adekuat bahwa keluhan klinis dan keparahan akibat varian ini sifatnya sangat serius. Evidence-nya masih conflicting. Bahkan laporan yang ada menunjukkan bahwa saat varian ini menyebar di Afrika, jumlah orang yang mengalami perawatan rumah sakit tidak meningkat dan bahkan menurun. Banyak dokter juga melaporkan bahwa keluhan pasien yang tertular varian ini ringan; hanya batuk, sakit badan dan beringus. Tidak banyak keluhan serius. Artinya, varian ini memang menyebar cepat, menyebabkan penurunan kemanjuran vaksin tetapi pada saat yang sama tidak parah dan fatal. Kesan ini masih tentatif dan tentu saja terlalu prematur mengambil kesimpulan berdasar data terbatas.
Sejumlah alasan di atas mengisyaratkan bahwa dalam menghadapi Omicron diperlukan kewaspadaan tetapi bukan kepanikan. Sikap ini harus direfleksikan pada aturan atau kebijakan yang dibuat. Jangan karena Omicron terdengar “ganas” lantas diberlakukan kebijakan yang sangat ketat tanpa evidence-base jelas. Terdengar “ganas” bukan berarti “ganas beneran”. “Ganas beneran” baru terbukti apabila telah ada evidence-base yang solid. Kenyataannya, banyak varian yang sebelumnya dikategorikan sebagai varian serius (variant of concern), ujung-ujungnya berubah menjadi varian yang dianggap kurang serius (varian of interest atau varian under monitoring).
Waspada Bukan Panik
Pemerintah memang harus waspada tetapi bukan panik. Rencana menerapkan karantina 14 hari secara universal bagi pendatang WNI tanpa memperhatikan asal negaranya lebih merefleksikan sikap kepanikan daripada kewaspadaan. Sejatinya, karantina memang harus diberlakukan. Tetapi tipe dan durasi karantina tidak boleh sama terhadap semua negara. Pendatang dari negara risiko rendah, apalagi yang telah memperoleh vaksinasi Covid-19 lengkap, selayaknya dipertimbangkan menjalani karantina rumah dengan pemeriksaan serial PCR. Kalaupun diwajibkan karantina hotel, durasinya cukup 2-3 hari. Pendatang dari negara risiko tinggi perlu karantina hingga 7-10 hari dengan serial PCR. Pendatang dari Afrika yang merupakan asal muasal Omicron bisa dipertimbangkan 14 hari di mana 7-10 hari bisa karantina hotel dilanjutkan dengan karantina di rumah. Intinya, keketatan karantina mesti berdasar level risiko (risk stratification and categorization) tiap negara. Bukan hanya dipukul rata semua sama. Di Indonesia saja saat ini, level pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) tiap daerah didasarkan pada tingkat risiko tiap daerah. Bila ini bisa berlaku dalam negeri, kenapa tidak diberlakukan kenapa pendatang WNI dari luar? Prinsip yang dipegang mesti jelas,
“Jangan membunuh laron dengan tongkat. Efek negatifnya justru ke mana-mana”.
Namun, ketika pemerintah ingin memberlakukan karantina 14 hari secara merata kepada semua WNI yang akan masuk ke Indonesia, kebijaksanaan ini perlu ditelisik ulang.
Pertama, risiko penyebaran Omicron dari setiap negara berbeda. Pada sebagian negara, seperti Amerika dan Inggris, Omicron sudah menyebar cepat. Karenanya, orang yang berasal dari negara-negara ini patut dianggap berpotensi menyebarkan Omicron. Pada sebagian negara lain, kasus Omicron belum terdeteksi. Artinya, saat ini risikonya masih kecil. Dengan perbedaan tingkat risiko tiap negara ini, terlalu naif bila pemerintah hendak memberlakukan aturan universal karantina 14 hari. Apalagi tiap negara memiliki kualitas penatalaksanaan pandemi yang berbeda. Sebagian melakukan penatalaksanaan sangat baik; jumlah kasus dan kematiannya sangat berkurang, positive rate sangat rendah dan cakupan vaksinasi sangat tinggi. Sebagian lagi masih tertatih-tatih dengan kualitas pelayanan yang rendah; jumlah kasus dan kematiannya sangat tinggi, positive rate masih tinggi dan cakupan vaksinasi rendah.
Perbedaan kualitas penatalaksanaan ini seharusnya menjadi indikator penting penentuan durasi karantina. Negara-negara yang kualitas penatalaksanaannya sangat baik selayaknya dikategorikan sebagai negara risiko rendah (green list countries), sedangkan yang penatalaksanaannya sedang atau buruk masing-masing dikategorikan sebagai negara risiko sedang (yellow countries) dan risiko tinggi (red list countries). Perlakuan dan durasi karantina selayaknya berbeda bagi setiap kategori ini. Pendatang dari green list countries durasi karantinanya mesti lebih rendah dan minimal dibanding pendatang dari red list countries. Kenyataannya, banyak negara di dunia memang menggunakan sistem pengategorian (risk stratification and categorization) saat menentukan tipe dan durasi karantina. Di Qatar saat ini, pendatang dari green and yellow risk countries tidak perlu menjalani karantina. Namun yang dari red list countries harus menjalani karantina yang durasinya berbeda tergantung risiko transmisi tiap negara. Sebagian hanya dua hari dan sebagian lagi tujuh hari.
Kedua, hingga saat ini belum ada bukti konklusif terkait keparahan Omicron. Studi pendahuluan menunjukkan varian ini menyebar cepat; bahkan puluhan kali lipat dari varian Delta. Dalam seminggu saja, prevalensinya di Amerika meningkat tujuh kali lipat. Saat yang sama, beberapa jenis vaksin menurun kemanjurannya saat berhadapan dengan Omicron. Bahkan dua dosis vaksin Pfizer dan Moderna tidak terbukti efektif memproteksi. Meski demikian, hingga saat ini belum ada bukti adekuat bahwa keluhan klinis dan keparahan akibat varian ini sifatnya sangat serius. Evidence-nya masih conflicting. Bahkan laporan yang ada menunjukkan bahwa saat varian ini menyebar di Afrika, jumlah orang yang mengalami perawatan rumah sakit tidak meningkat dan bahkan menurun. Banyak dokter juga melaporkan bahwa keluhan pasien yang tertular varian ini ringan; hanya batuk, sakit badan dan beringus. Tidak banyak keluhan serius. Artinya, varian ini memang menyebar cepat, menyebabkan penurunan kemanjuran vaksin tetapi pada saat yang sama tidak parah dan fatal. Kesan ini masih tentatif dan tentu saja terlalu prematur mengambil kesimpulan berdasar data terbatas.
Sejumlah alasan di atas mengisyaratkan bahwa dalam menghadapi Omicron diperlukan kewaspadaan tetapi bukan kepanikan. Sikap ini harus direfleksikan pada aturan atau kebijakan yang dibuat. Jangan karena Omicron terdengar “ganas” lantas diberlakukan kebijakan yang sangat ketat tanpa evidence-base jelas. Terdengar “ganas” bukan berarti “ganas beneran”. “Ganas beneran” baru terbukti apabila telah ada evidence-base yang solid. Kenyataannya, banyak varian yang sebelumnya dikategorikan sebagai varian serius (variant of concern), ujung-ujungnya berubah menjadi varian yang dianggap kurang serius (varian of interest atau varian under monitoring).
Waspada Bukan Panik
Pemerintah memang harus waspada tetapi bukan panik. Rencana menerapkan karantina 14 hari secara universal bagi pendatang WNI tanpa memperhatikan asal negaranya lebih merefleksikan sikap kepanikan daripada kewaspadaan. Sejatinya, karantina memang harus diberlakukan. Tetapi tipe dan durasi karantina tidak boleh sama terhadap semua negara. Pendatang dari negara risiko rendah, apalagi yang telah memperoleh vaksinasi Covid-19 lengkap, selayaknya dipertimbangkan menjalani karantina rumah dengan pemeriksaan serial PCR. Kalaupun diwajibkan karantina hotel, durasinya cukup 2-3 hari. Pendatang dari negara risiko tinggi perlu karantina hingga 7-10 hari dengan serial PCR. Pendatang dari Afrika yang merupakan asal muasal Omicron bisa dipertimbangkan 14 hari di mana 7-10 hari bisa karantina hotel dilanjutkan dengan karantina di rumah. Intinya, keketatan karantina mesti berdasar level risiko (risk stratification and categorization) tiap negara. Bukan hanya dipukul rata semua sama. Di Indonesia saja saat ini, level pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) tiap daerah didasarkan pada tingkat risiko tiap daerah. Bila ini bisa berlaku dalam negeri, kenapa tidak diberlakukan kenapa pendatang WNI dari luar? Prinsip yang dipegang mesti jelas,
“Jangan membunuh laron dengan tongkat. Efek negatifnya justru ke mana-mana”.
tulis komentar anda