Wawancara Khusus Kepala BRIN Laksana Tri Handoko: Swasta Harus Terlibat dalam Penelitian
Rabu, 22 Desember 2021 - 11:23 WIB
Bagaimana BRIN beradaptasi di era transformasi digital saat ini?
Digital sudah pasti. Tapi kan digital itu macam-macam, mulai darigame, animasi, aplikasi. Biayaproductdevelopmentdigital itu murah. Yang mahal itu membangun infrastrukturnya. Misalnya, kami membuka sebagian fasilitas komputasi yang tersisa untuk dipakai adik-adik untuk pengembangan animasi,gamedan sebagainya. Kalau bicaragame, kita menyediakanassetstore, di dalamnya itu ada karakter-karakter. Kita buat karakter, artefak dari lokal dan itu kita digitalkan.
baca juga: Rencana Wisata Malam Kebun Raya Bogor Dikritisi, Begini Jawaban BRIN dan Operator
Selain itu, kita juga sediakangameengine. Itu mahal dan harussubscribeke server, biasanya palingdeketitu ke Singapura. Nantinya kita akan sediakan di Indonesia dan kami yangbayarinsubscribeserver-nyasehingga developer lokal bisa membangun sesuatu,nggakkeluar duit. Kalaupun tidak berhasil (develop),nggakada problem. Tapi kalau berhasil, kita minta lisensi.Gituaja. Sehingga risiko kan tidak ada. Sebenarnya, itu yang paling penting, bagaimana kita mengurangi semaksimal mungkin risiko bisnis. Intinya kalau soal digital, sifatnya lebih ke fasilitasi. Kalau yang kesehatan, fokus ke pengujian.
Kepala BRIN Laksana Tri Handoko menghadiri Serah Terima SK Pengalihan Pegawai
Tahap 2 yaitu pegawai Kementerian/Lembaga menjadi pegawai di lingkungan BRIN.
foto/dok BRIN
Selama ini pihak yang memanfaatkan riset masih sedikit. Jika dibandingkan dengan sebelumnya, berapa target nanti jumlah riset setelah adanya BRIN?
Itu berangkat dari asumsi bahwa periset itu menghasilkan teknologi dan kemudian industri menjadi pemakai teknologinya. Padahal, praktik riil di semua negara tidak seperti itu. Riset itu sebenarnya proses yang tidak ada putusnya sampai komersialisasi. Makanya disebut sebagaiproductdevelopment. Itu sebenarnya terjadi sebagai kolaborasi.Jadi bukan saya bikin teknologi, kemudian ada yang beli teknologi dari industri, lalu dia produksi. Tidak begitu. Karena periset itu tidak paham pasar, tidak paham karakter konsumennya. Industringgakpaham betul teknologinya, tapi paham sekali pasar dan karakter konsumennya.
Digital sudah pasti. Tapi kan digital itu macam-macam, mulai darigame, animasi, aplikasi. Biayaproductdevelopmentdigital itu murah. Yang mahal itu membangun infrastrukturnya. Misalnya, kami membuka sebagian fasilitas komputasi yang tersisa untuk dipakai adik-adik untuk pengembangan animasi,gamedan sebagainya. Kalau bicaragame, kita menyediakanassetstore, di dalamnya itu ada karakter-karakter. Kita buat karakter, artefak dari lokal dan itu kita digitalkan.
baca juga: Rencana Wisata Malam Kebun Raya Bogor Dikritisi, Begini Jawaban BRIN dan Operator
Selain itu, kita juga sediakangameengine. Itu mahal dan harussubscribeke server, biasanya palingdeketitu ke Singapura. Nantinya kita akan sediakan di Indonesia dan kami yangbayarinsubscribeserver-nyasehingga developer lokal bisa membangun sesuatu,nggakkeluar duit. Kalaupun tidak berhasil (develop),nggakada problem. Tapi kalau berhasil, kita minta lisensi.Gituaja. Sehingga risiko kan tidak ada. Sebenarnya, itu yang paling penting, bagaimana kita mengurangi semaksimal mungkin risiko bisnis. Intinya kalau soal digital, sifatnya lebih ke fasilitasi. Kalau yang kesehatan, fokus ke pengujian.
Kepala BRIN Laksana Tri Handoko menghadiri Serah Terima SK Pengalihan Pegawai
Tahap 2 yaitu pegawai Kementerian/Lembaga menjadi pegawai di lingkungan BRIN.
foto/dok BRIN
Selama ini pihak yang memanfaatkan riset masih sedikit. Jika dibandingkan dengan sebelumnya, berapa target nanti jumlah riset setelah adanya BRIN?
Itu berangkat dari asumsi bahwa periset itu menghasilkan teknologi dan kemudian industri menjadi pemakai teknologinya. Padahal, praktik riil di semua negara tidak seperti itu. Riset itu sebenarnya proses yang tidak ada putusnya sampai komersialisasi. Makanya disebut sebagaiproductdevelopment. Itu sebenarnya terjadi sebagai kolaborasi.Jadi bukan saya bikin teknologi, kemudian ada yang beli teknologi dari industri, lalu dia produksi. Tidak begitu. Karena periset itu tidak paham pasar, tidak paham karakter konsumennya. Industringgakpaham betul teknologinya, tapi paham sekali pasar dan karakter konsumennya.
tulis komentar anda