Kaji Ulang Pelatihan Kartu Prakerja!
Kamis, 23 April 2020 - 06:01 WIB
JAKARTA - Pelatihan daring program Kartu Prakerja tidak tepat jika dipaksakan digelar di tengah bencana nasional virus Corona (Covid-19) saat ini. Pemerintah patut mengkaji ulang program ini dengan segera mengalihkan anggaran sekitar Rp5,6 triliun itu untuk bantuan pangan rakyat atau alat kesehatan.
Dorongan pengalihan anggaran untuk kebutuhan-kebutuhan yang lebih mendesak itu disampaikan sejumlah kalangan seperti dari organisasi kemasyarakatan (ormas), akademisi, maupun politisi. Mereka menilai, penggunaan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) yang sangat besar untuk pelatihan berbasis online sangat tidak relevan dan tak memiliki alasan yang bersifat mendesak.
“Di saat segenap elemen bangsa sedang fokus mencegah sebaran wabah Covid-19 dan dampaknya terhadap ketersediaan dan keterjangkauan pangan masyarakat, maka pelatihan ini tidak relevan," kata Sekjen Majelis Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (MN KAHMI) Manimbang Kahariady dalam keterangan tertulisnya di Jakarta kemarin.
MN KAHMI meminta pemerintah segera mengkaji ulang program pelatihan prakerja secara komprehensif, transparan, efisien, dan tepat sasaran. Bahkan, lembaga atau instansi penyelenggaranya diwajibkan kredibel. "Agar terhindar dari conflict of interest, menguntungkan pihak/kelompok tertentu, dan berpotensi merugikan keuangan negara," ujar Manimbang.
Dorongan serupa disampaikan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Ketua PBNU Aizzudin Abdurrahman mengatakan, skema penyaluran bantuan dalam bentuk pelatihan kerja berbasis online salah kaprah di masa pandemi virus Corona. Karena itu, tokoh yang akrab disapa Gus Aiz ini meminta program ini segera dihentikan untuk dikaji ulang. "Program Kartu Prakerja ini menjadi madharat (kerugian) dan syubhat (samar) di tangan orang-orang yang tidak tepat. Mumpung belum terlalu jauh, hentikan untuk ditata ulang lagi," katanya.
Secara teknis, program yang dirancang dan digarap oleh Tim Kartu Prakerja tidak beda dengan startup, unicorn, decacorn dan sejenisnya. Mereka berupaya mengolah profil pengguna, memanfaatkan Algoritma dan membuat role agent, antara penjual dan pembeli atau penyedia barang dan penyewa. "Ini juga bisa menjadi contoh buruknya pendataan kependudukan di negara ini," tutur Gus Aiz.
Dalam pandangannya, program yang membutuhkan anggaran sebesar Rp20 triliun, yang Rp5,6 triliun di antaranya untuk pelatihan online itu, sarat konflik kepentingan. Gus Aiz menilai anggaran yang mencapai puluhan triliun itu berpotensi besar hanya berputar di segelintir orang. “Masyarakat Indonesia hanya dijadikan user. Penerima program Kartu Prakerja dijadikan objek," kata cucu Pendiri NU KH Hasyim Asy'ari ini.
Sikap lebih tegas disampaikan Pimpinan Pusat Fatayat Nahdlatul Ulama (PP Fatayat NU). Ketua Umum PP Fatayat NU Anggia Erma Rini meminta pemerintah lebih baik mengevaluasi program Kartu Prakerja sebelum memicu masalah di masyarakat yang lebih besar. Ada berbagai hal yang tidak tepat diterapkan dalam mekanisme program Kartu Prakerja di situasi sekarang. Poin kelemahan tersebut ini ada pada tiga aspek. Pertama, pelatihan online dalam Kartu Prakerja tidak tepat diterapkan saat ini, dan sebaiknya dihapus saja. Kedua, untuk mendaftar program sangat susah dan sulit lolos. Ketiga, masyarakat saat ini lebih membutuhkan sembako, bukan pelatihan.
Anggia menegaskan bahwa sebagian besar masyarakat, terutama pekerja informal, saat ini dalam kondisi tidak mempunyai penghasilan. "Sebaiknya program Kartu Prakerja lebih fokus menyasar pada apa yang dibutuhkan masyarakat. Bukan lagi konsep pelatihan," ujarnya.
Dorongan pengalihan anggaran untuk kebutuhan-kebutuhan yang lebih mendesak itu disampaikan sejumlah kalangan seperti dari organisasi kemasyarakatan (ormas), akademisi, maupun politisi. Mereka menilai, penggunaan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) yang sangat besar untuk pelatihan berbasis online sangat tidak relevan dan tak memiliki alasan yang bersifat mendesak.
“Di saat segenap elemen bangsa sedang fokus mencegah sebaran wabah Covid-19 dan dampaknya terhadap ketersediaan dan keterjangkauan pangan masyarakat, maka pelatihan ini tidak relevan," kata Sekjen Majelis Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (MN KAHMI) Manimbang Kahariady dalam keterangan tertulisnya di Jakarta kemarin.
MN KAHMI meminta pemerintah segera mengkaji ulang program pelatihan prakerja secara komprehensif, transparan, efisien, dan tepat sasaran. Bahkan, lembaga atau instansi penyelenggaranya diwajibkan kredibel. "Agar terhindar dari conflict of interest, menguntungkan pihak/kelompok tertentu, dan berpotensi merugikan keuangan negara," ujar Manimbang.
Dorongan serupa disampaikan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Ketua PBNU Aizzudin Abdurrahman mengatakan, skema penyaluran bantuan dalam bentuk pelatihan kerja berbasis online salah kaprah di masa pandemi virus Corona. Karena itu, tokoh yang akrab disapa Gus Aiz ini meminta program ini segera dihentikan untuk dikaji ulang. "Program Kartu Prakerja ini menjadi madharat (kerugian) dan syubhat (samar) di tangan orang-orang yang tidak tepat. Mumpung belum terlalu jauh, hentikan untuk ditata ulang lagi," katanya.
Secara teknis, program yang dirancang dan digarap oleh Tim Kartu Prakerja tidak beda dengan startup, unicorn, decacorn dan sejenisnya. Mereka berupaya mengolah profil pengguna, memanfaatkan Algoritma dan membuat role agent, antara penjual dan pembeli atau penyedia barang dan penyewa. "Ini juga bisa menjadi contoh buruknya pendataan kependudukan di negara ini," tutur Gus Aiz.
Dalam pandangannya, program yang membutuhkan anggaran sebesar Rp20 triliun, yang Rp5,6 triliun di antaranya untuk pelatihan online itu, sarat konflik kepentingan. Gus Aiz menilai anggaran yang mencapai puluhan triliun itu berpotensi besar hanya berputar di segelintir orang. “Masyarakat Indonesia hanya dijadikan user. Penerima program Kartu Prakerja dijadikan objek," kata cucu Pendiri NU KH Hasyim Asy'ari ini.
Sikap lebih tegas disampaikan Pimpinan Pusat Fatayat Nahdlatul Ulama (PP Fatayat NU). Ketua Umum PP Fatayat NU Anggia Erma Rini meminta pemerintah lebih baik mengevaluasi program Kartu Prakerja sebelum memicu masalah di masyarakat yang lebih besar. Ada berbagai hal yang tidak tepat diterapkan dalam mekanisme program Kartu Prakerja di situasi sekarang. Poin kelemahan tersebut ini ada pada tiga aspek. Pertama, pelatihan online dalam Kartu Prakerja tidak tepat diterapkan saat ini, dan sebaiknya dihapus saja. Kedua, untuk mendaftar program sangat susah dan sulit lolos. Ketiga, masyarakat saat ini lebih membutuhkan sembako, bukan pelatihan.
Anggia menegaskan bahwa sebagian besar masyarakat, terutama pekerja informal, saat ini dalam kondisi tidak mempunyai penghasilan. "Sebaiknya program Kartu Prakerja lebih fokus menyasar pada apa yang dibutuhkan masyarakat. Bukan lagi konsep pelatihan," ujarnya.
tulis komentar anda