Garuda Indonesia, Kolaborasi Antar-Pihak, dan Kewirausahaan Negara
Selasa, 07 Desember 2021 - 12:39 WIB
Situasi sulit ini jelas menyebabkan kondisi keuangan Garuda yang kurang efisien. Sebagian publik juga masih ingat insiden ‘penyelundupan’ sepeda brompton dan onderdil Harley Davidson beberapa tahun lalu oleh eks pimpinan eksekutif maskapai pelat merah ini.
Berbagai mismanajemen di atas tentu berakibat pada goyahnya kepercayaan pasar dan pemangku kepentingan terhadap Garuda. Yang mutakhir, Garuda kini bergulat restrukturisasi berbagai hal terkait finansial. Maskapai ini kini sedang menghadapi litigasi gugatan payment suspension atau penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) oleh salah satu kreditornya. Maskapai ini juga berjuang merestrukturisasi skema sewa (leasing) pesawat-pesawatnya.
Menyikapi PKPU: bukan menuju pailit
Perlu menjadi perhatian bersama bahwa pailit bukanlah opsi paling dekat yang dimiliki oleh Garuda. Banyak pihak berpikir bahwa dengan adanya proses litigasi PKPU, maskapai ini sedang berada di ambang jurang kapailitan. Pendapat bijak tentu tak berasumsi demikian.
PKPU ini, jika pun nanti gugatan di pengadilan dikabulkan, akan diteruskan pada proses negosiasi lanjutan. Dalam jangka waktu sekitar 45 hari, Garuda dan pihak kreditor penggugat akan diberikan kesempatan untuk menegosiasikan kesepakatan restrukturisasi kredit. Dengan kata lain, PKPU membuka kesempatan untuk ‘kerja bersama’ antara Garuda dengan kreditornya untuk memperbaiki kinerja Garuda ke depannya.
Perlu diakui, bahwa dalam kesempatan kolaboratif dalam kerangka PKPU ini punya potensi memailitkan Garuda—sebagaimana berkembang sebagai pendapat populer saat ini. Namun demikian, perlu juga menjadi perhatian bahwa PKPU ini bukan semata kesempatan memailitkan Garuda. Karena, dengan PKPU ini, malah potensi untuk berkolaborasi antara maskapai dan kreditor terbuka lebar. Sebab, semua pihak akan terikat oleh putusan pengadilan untuk bekerja keras mencari solusi terbaik bersama. Selain itu, dengan PKPU, proses negosiasinya dapat dimonitor secara terbuka, termasuk proses tambahan selama 270 hari penyelesaian sengketa jika perdamaian belum dicapai di 45 hari pertama di atas.
Tentu, proses PKPU ini adalah proses litigasi, yang tentunya memakan energi baik secara pikiran, fisik maupun finansial bagi siapapun yang bersengketa. Kesempatan restrukturisasi beban keuangan maskapai BUMN ini sebenarnya bisa dilakukan di luar proses litigasi atau di luar proses peradilan. Namun, proses non-litigasi ini menguras lebih banyak tenaga, ketimbang melewati proses peradilan.
Proses non-litigasi tentunya akan melibatkan berbagai lessor dan kreditur lainnya, dan ini tentu lebih melelahkan karena tidak adanya ruang negosiasi yang mengikat, plus dengan payung hukum di Indonesia. Dengan kata lain, PKPU akan menjadi peluang kebijakan (window of policy opportunity) untuk perihal negosiasi dengan lessor pesawat yang umumnya perusahaan yang berada di luar negeri. Jikapun harus tanpa litigasi, Garuda tentu tetap perlu bekerja keras untuk memastikan bahwa negosiasi restrukturisasi leasing dengan para para lessor berbasis asas kolaboratif.
Pada akhirnya, keterpurukan Garuda saat ini bukanlah momentum bagi para lessor untuk meninggalkan maskapai plat merah ini. Akan tetapi, ini momen ini adalah momentum untuk bekerja sama untuk bertanggung jawab atas masalah yang merundung Garuda saat ini sehingga nanti juga sama-sama menikmati kesuksesan maskapai ini ke depannya. Sebagian berpendapat bahwa memailitkan Garuda adalah solusi. Argumen ini berdasar umumnya pada bahwa Garuda beroperasi di sistem pasar di mana ketika ada perusahaan gagal, maka membiarkannya ‘mati’ adalah pilihan paling tepat.
Namun argumen tersebut kurang bijak adanya mengingat bahwa sebagai negara berkembang, kehadiran maskapai nasional adalah faktor penting dalam hubungan luar negerinya di berbagai bidang. Memailitkan Garuda sebagai ‘muka’ negara boleh jadi seperti mencoreng muka negara sendiri.
Berbagai mismanajemen di atas tentu berakibat pada goyahnya kepercayaan pasar dan pemangku kepentingan terhadap Garuda. Yang mutakhir, Garuda kini bergulat restrukturisasi berbagai hal terkait finansial. Maskapai ini kini sedang menghadapi litigasi gugatan payment suspension atau penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) oleh salah satu kreditornya. Maskapai ini juga berjuang merestrukturisasi skema sewa (leasing) pesawat-pesawatnya.
Menyikapi PKPU: bukan menuju pailit
Perlu menjadi perhatian bersama bahwa pailit bukanlah opsi paling dekat yang dimiliki oleh Garuda. Banyak pihak berpikir bahwa dengan adanya proses litigasi PKPU, maskapai ini sedang berada di ambang jurang kapailitan. Pendapat bijak tentu tak berasumsi demikian.
PKPU ini, jika pun nanti gugatan di pengadilan dikabulkan, akan diteruskan pada proses negosiasi lanjutan. Dalam jangka waktu sekitar 45 hari, Garuda dan pihak kreditor penggugat akan diberikan kesempatan untuk menegosiasikan kesepakatan restrukturisasi kredit. Dengan kata lain, PKPU membuka kesempatan untuk ‘kerja bersama’ antara Garuda dengan kreditornya untuk memperbaiki kinerja Garuda ke depannya.
Perlu diakui, bahwa dalam kesempatan kolaboratif dalam kerangka PKPU ini punya potensi memailitkan Garuda—sebagaimana berkembang sebagai pendapat populer saat ini. Namun demikian, perlu juga menjadi perhatian bahwa PKPU ini bukan semata kesempatan memailitkan Garuda. Karena, dengan PKPU ini, malah potensi untuk berkolaborasi antara maskapai dan kreditor terbuka lebar. Sebab, semua pihak akan terikat oleh putusan pengadilan untuk bekerja keras mencari solusi terbaik bersama. Selain itu, dengan PKPU, proses negosiasinya dapat dimonitor secara terbuka, termasuk proses tambahan selama 270 hari penyelesaian sengketa jika perdamaian belum dicapai di 45 hari pertama di atas.
Tentu, proses PKPU ini adalah proses litigasi, yang tentunya memakan energi baik secara pikiran, fisik maupun finansial bagi siapapun yang bersengketa. Kesempatan restrukturisasi beban keuangan maskapai BUMN ini sebenarnya bisa dilakukan di luar proses litigasi atau di luar proses peradilan. Namun, proses non-litigasi ini menguras lebih banyak tenaga, ketimbang melewati proses peradilan.
Proses non-litigasi tentunya akan melibatkan berbagai lessor dan kreditur lainnya, dan ini tentu lebih melelahkan karena tidak adanya ruang negosiasi yang mengikat, plus dengan payung hukum di Indonesia. Dengan kata lain, PKPU akan menjadi peluang kebijakan (window of policy opportunity) untuk perihal negosiasi dengan lessor pesawat yang umumnya perusahaan yang berada di luar negeri. Jikapun harus tanpa litigasi, Garuda tentu tetap perlu bekerja keras untuk memastikan bahwa negosiasi restrukturisasi leasing dengan para para lessor berbasis asas kolaboratif.
Pada akhirnya, keterpurukan Garuda saat ini bukanlah momentum bagi para lessor untuk meninggalkan maskapai plat merah ini. Akan tetapi, ini momen ini adalah momentum untuk bekerja sama untuk bertanggung jawab atas masalah yang merundung Garuda saat ini sehingga nanti juga sama-sama menikmati kesuksesan maskapai ini ke depannya. Sebagian berpendapat bahwa memailitkan Garuda adalah solusi. Argumen ini berdasar umumnya pada bahwa Garuda beroperasi di sistem pasar di mana ketika ada perusahaan gagal, maka membiarkannya ‘mati’ adalah pilihan paling tepat.
Namun argumen tersebut kurang bijak adanya mengingat bahwa sebagai negara berkembang, kehadiran maskapai nasional adalah faktor penting dalam hubungan luar negerinya di berbagai bidang. Memailitkan Garuda sebagai ‘muka’ negara boleh jadi seperti mencoreng muka negara sendiri.
Lihat Juga :
tulis komentar anda