Garuda Indonesia, Kolaborasi Antar-Pihak, dan Kewirausahaan Negara
loading...
A
A
A
Muhamad Rosyid Jazuli
Peneliti di Paramadina Public Policy Institute
Selain kedutaan besar di berbagai negara, maskapai penerbangan nasional adalah simbol kehadiran sebuah negara di dunia. Kondisi pembangunan sebuah negara, banyak pihak menilai, terefleksi dari kualitas pelayanan dari maskapai nasionalnya.
Dalam konteks Indonesia, maskapai ini tak lain tak bukan: Garuda Indonesia . Dari namanya, publik internasional dengan mudah mengidentifikasi bahwa ia dari Indonesia. Berbagai prestasi perihal pelayanan sudah jadi langganan maskapai ini.
Misalnya, maskapai ini pernah dinobatkan sebagai salah satu maskapai terbaik di Asia pada 2019 untuk kategori "Maskapai Penerbangan Utama" oleh TripAdvisor. Garuda pun diganjar penghargaan lainnya yakni sebagai maskapai dengan "Kelas Bisnis Asia Terbaik" dan "Maskapai Penerbangan Terbaik di Indonesia".
Garuda pernah didapuk sebagai maskapai dengan tingkat ketepatan waktu terbaik dunia versi OAG Flightview pada Mei 2019 lalu, predikat yang dipertahankan selama enam bulan berturut-turut dari Desember 2018.
Namun sejak pandemi, Garuda terus dirundung masalah. Menurunnya permintaan transportasi penerbangan berimbas pada terjunnya pendapatan maskapai ini. di awal 2020, pendapatannya sempat hanya berkisar 10 persen dari ketika beroperasi di masa normal pre-pandemi. Meski trennya sudah positif, pendapatan Garuda masih berkisar 30 persen dari era normal (data per Desember 2021).
Pandemi ini sebenarnya momentum yang hadir membuka tabir inefisiensi manajemen di dalam tubuh Garuda. Di antaranya adalah isu korupsi terkait mark-up nilai pesawat dan kasus pencucian uang pada 2011-2012. Selain itu, maskapai ini dikabarkan memiliki kontrak ‘tak sehat’ terkait sewa pesawat yang nilainya di atas rata-rata maskapai penerbangan internasional lainnya.
Situasi sulit ini jelas menyebabkan kondisi keuangan Garuda yang kurang efisien. Sebagian publik juga masih ingat insiden ‘penyelundupan’ sepeda brompton dan onderdil Harley Davidson beberapa tahun lalu oleh eks pimpinan eksekutif maskapai pelat merah ini.
Berbagai mismanajemen di atas tentu berakibat pada goyahnya kepercayaan pasar dan pemangku kepentingan terhadap Garuda. Yang mutakhir, Garuda kini bergulat restrukturisasi berbagai hal terkait finansial. Maskapai ini kini sedang menghadapi litigasi gugatan payment suspension atau penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) oleh salah satu kreditornya. Maskapai ini juga berjuang merestrukturisasi skema sewa (leasing) pesawat-pesawatnya.
Menyikapi PKPU: bukan menuju pailit
Perlu menjadi perhatian bersama bahwa pailit bukanlah opsi paling dekat yang dimiliki oleh Garuda. Banyak pihak berpikir bahwa dengan adanya proses litigasi PKPU, maskapai ini sedang berada di ambang jurang kapailitan. Pendapat bijak tentu tak berasumsi demikian.
PKPU ini, jika pun nanti gugatan di pengadilan dikabulkan, akan diteruskan pada proses negosiasi lanjutan. Dalam jangka waktu sekitar 45 hari, Garuda dan pihak kreditor penggugat akan diberikan kesempatan untuk menegosiasikan kesepakatan restrukturisasi kredit. Dengan kata lain, PKPU membuka kesempatan untuk ‘kerja bersama’ antara Garuda dengan kreditornya untuk memperbaiki kinerja Garuda ke depannya.
Perlu diakui, bahwa dalam kesempatan kolaboratif dalam kerangka PKPU ini punya potensi memailitkan Garuda—sebagaimana berkembang sebagai pendapat populer saat ini. Namun demikian, perlu juga menjadi perhatian bahwa PKPU ini bukan semata kesempatan memailitkan Garuda. Karena, dengan PKPU ini, malah potensi untuk berkolaborasi antara maskapai dan kreditor terbuka lebar. Sebab, semua pihak akan terikat oleh putusan pengadilan untuk bekerja keras mencari solusi terbaik bersama. Selain itu, dengan PKPU, proses negosiasinya dapat dimonitor secara terbuka, termasuk proses tambahan selama 270 hari penyelesaian sengketa jika perdamaian belum dicapai di 45 hari pertama di atas.
Tentu, proses PKPU ini adalah proses litigasi, yang tentunya memakan energi baik secara pikiran, fisik maupun finansial bagi siapapun yang bersengketa. Kesempatan restrukturisasi beban keuangan maskapai BUMN ini sebenarnya bisa dilakukan di luar proses litigasi atau di luar proses peradilan. Namun, proses non-litigasi ini menguras lebih banyak tenaga, ketimbang melewati proses peradilan.
Proses non-litigasi tentunya akan melibatkan berbagai lessor dan kreditur lainnya, dan ini tentu lebih melelahkan karena tidak adanya ruang negosiasi yang mengikat, plus dengan payung hukum di Indonesia. Dengan kata lain, PKPU akan menjadi peluang kebijakan (window of policy opportunity) untuk perihal negosiasi dengan lessor pesawat yang umumnya perusahaan yang berada di luar negeri. Jikapun harus tanpa litigasi, Garuda tentu tetap perlu bekerja keras untuk memastikan bahwa negosiasi restrukturisasi leasing dengan para para lessor berbasis asas kolaboratif.
Pada akhirnya, keterpurukan Garuda saat ini bukanlah momentum bagi para lessor untuk meninggalkan maskapai plat merah ini. Akan tetapi, ini momen ini adalah momentum untuk bekerja sama untuk bertanggung jawab atas masalah yang merundung Garuda saat ini sehingga nanti juga sama-sama menikmati kesuksesan maskapai ini ke depannya. Sebagian berpendapat bahwa memailitkan Garuda adalah solusi. Argumen ini berdasar umumnya pada bahwa Garuda beroperasi di sistem pasar di mana ketika ada perusahaan gagal, maka membiarkannya ‘mati’ adalah pilihan paling tepat.
Namun argumen tersebut kurang bijak adanya mengingat bahwa sebagai negara berkembang, kehadiran maskapai nasional adalah faktor penting dalam hubungan luar negerinya di berbagai bidang. Memailitkan Garuda sebagai ‘muka’ negara boleh jadi seperti mencoreng muka negara sendiri.
Sinyal konfidensi pasar
Oleh karenanya, kolaborasi antar berbagai pihak menjadi pilihan bijak bagi situasi Garuda saat ini. Setiap stakeholders punya tanggung jawab baik di masa untung maupun di masa buruk maskapai ini. Namun perlu menjadi perhatian bersama bahwa kolaborasi antar pihak ini akan sulit terwujud tanpa tindakan yang dapat menghidupkan kepercayaan diri atau konfidensi pasar (market confidence).
Momentum untuk Garuda berbenah, sebagaimana disebut di atas, perlu di-mukadimah-i komitmen nyata dari sisi maskapai tersebut—tentunya dengan bekerjasama dengan pemerintah. Sinyal ini perlu dimulai dengan menunjuk atau meramu tim ‘nakhoda’ yang memang dianggap kapabel dalam hal manajemen maskapai penerbangan.
Tanpa leadership team yang punya kaliber tinggi soal manajemen tersebut, segala upaya negosiasi restrukturisasi baik lewat proses litigasi atau tidak, tak akan membuahkan hasil. Selain itu, tim pemimpin eksekutif ini perlu diisi figur-figur yang dapat berkomunikasi efektif ke setidaknya dua kutub yang berbeda: di satu sisi, pemerintah dan politis; di sisi lain, kalangan bisnis.
Dua sektor tersebut jelas punya pengaruh besar terhadap proses bisnis Garuda. Namun, mereka punya cara pengambilan keputusan dan pertimbangan bisnis yang berbeda. Misalnya, boleh jadi kelompok pertama punya perspektif bahwa Garuda adalah simbol atau muka ‘sakral’ pembangunan Indonesia. Sementara, kelompok kedua melihat maskapai ini adalah pelaku pasar semata yang harus mengikuti aturan pasar.
Hadirnya tim eksekutif yang dapat diterima oleh dua sektor tersebut akan memberikan setidaknya dua sinyal penting. Pertama, Garuda akan tetap terbang dan menjadi medium promosi bahwa Indonesia adalah negara yang terus berbenah dan berjalan pembangunannya. Kedua, maskapai ini akan secara bertahap mengadopsi prinsip efisiensi dan daya saing yang menjadi elemen utama untuk dapat bertahan di pasar, khususnya penerbangan internasional.
Dengan demikian, terbuka lebar potensi untuk membangun kerja kolaboratif lebih efektif dan efisien ke depannya dengan berbagai pihak baik dari sisi pemerintah, maupun dari sisi swasta termasuk kreditor dan lessor pesawat yang dipakai Garuda. Kiranya, sudah saatnya menggemakan ide kewirausahaan negara atau state entrepreneurship dalam situasi yang dialami Garuda saat ini.
Sederhananya, Garuda sebagai simbol pembangunan Indonesia harus tetap menjadi milik dan kebanggaan negara ini. Namun, di sisi pengolahannya, nilai-nilai kewirausahaan perlu dipegang erat-erat, seperti efektivitas, efisiensi, penciptaan inisiatif, kerja kolaborasi, transparansi, serta senantiasa membangun kepercayaan atau trust kepada berbagai pihak.
Tanpa semangat kewirausahaan tersebut, bukan hanya pintu restrukturisasi yang tertutup bagi Garuda, tapi juga pintu masa depan bagi maskapai ini akan rapat terkunci. Dengan semangat kewirausahaan tersebut, diharapkan para kreditur dan lessor Garuda dapat kembali yakin akan masa depan maskapai ini. Bahwa masa depan kesuksesan Garuda masih berpotensi tercapai di masa depan dengan kolaborasi antar-pihak di atas—jika tidak dalam waktu dekat, tentu dalam jangka menengah atau jangka panjang.
Peneliti di Paramadina Public Policy Institute
Selain kedutaan besar di berbagai negara, maskapai penerbangan nasional adalah simbol kehadiran sebuah negara di dunia. Kondisi pembangunan sebuah negara, banyak pihak menilai, terefleksi dari kualitas pelayanan dari maskapai nasionalnya.
Dalam konteks Indonesia, maskapai ini tak lain tak bukan: Garuda Indonesia . Dari namanya, publik internasional dengan mudah mengidentifikasi bahwa ia dari Indonesia. Berbagai prestasi perihal pelayanan sudah jadi langganan maskapai ini.
Misalnya, maskapai ini pernah dinobatkan sebagai salah satu maskapai terbaik di Asia pada 2019 untuk kategori "Maskapai Penerbangan Utama" oleh TripAdvisor. Garuda pun diganjar penghargaan lainnya yakni sebagai maskapai dengan "Kelas Bisnis Asia Terbaik" dan "Maskapai Penerbangan Terbaik di Indonesia".
Garuda pernah didapuk sebagai maskapai dengan tingkat ketepatan waktu terbaik dunia versi OAG Flightview pada Mei 2019 lalu, predikat yang dipertahankan selama enam bulan berturut-turut dari Desember 2018.
Namun sejak pandemi, Garuda terus dirundung masalah. Menurunnya permintaan transportasi penerbangan berimbas pada terjunnya pendapatan maskapai ini. di awal 2020, pendapatannya sempat hanya berkisar 10 persen dari ketika beroperasi di masa normal pre-pandemi. Meski trennya sudah positif, pendapatan Garuda masih berkisar 30 persen dari era normal (data per Desember 2021).
Pandemi ini sebenarnya momentum yang hadir membuka tabir inefisiensi manajemen di dalam tubuh Garuda. Di antaranya adalah isu korupsi terkait mark-up nilai pesawat dan kasus pencucian uang pada 2011-2012. Selain itu, maskapai ini dikabarkan memiliki kontrak ‘tak sehat’ terkait sewa pesawat yang nilainya di atas rata-rata maskapai penerbangan internasional lainnya.
Situasi sulit ini jelas menyebabkan kondisi keuangan Garuda yang kurang efisien. Sebagian publik juga masih ingat insiden ‘penyelundupan’ sepeda brompton dan onderdil Harley Davidson beberapa tahun lalu oleh eks pimpinan eksekutif maskapai pelat merah ini.
Berbagai mismanajemen di atas tentu berakibat pada goyahnya kepercayaan pasar dan pemangku kepentingan terhadap Garuda. Yang mutakhir, Garuda kini bergulat restrukturisasi berbagai hal terkait finansial. Maskapai ini kini sedang menghadapi litigasi gugatan payment suspension atau penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) oleh salah satu kreditornya. Maskapai ini juga berjuang merestrukturisasi skema sewa (leasing) pesawat-pesawatnya.
Menyikapi PKPU: bukan menuju pailit
Perlu menjadi perhatian bersama bahwa pailit bukanlah opsi paling dekat yang dimiliki oleh Garuda. Banyak pihak berpikir bahwa dengan adanya proses litigasi PKPU, maskapai ini sedang berada di ambang jurang kapailitan. Pendapat bijak tentu tak berasumsi demikian.
PKPU ini, jika pun nanti gugatan di pengadilan dikabulkan, akan diteruskan pada proses negosiasi lanjutan. Dalam jangka waktu sekitar 45 hari, Garuda dan pihak kreditor penggugat akan diberikan kesempatan untuk menegosiasikan kesepakatan restrukturisasi kredit. Dengan kata lain, PKPU membuka kesempatan untuk ‘kerja bersama’ antara Garuda dengan kreditornya untuk memperbaiki kinerja Garuda ke depannya.
Perlu diakui, bahwa dalam kesempatan kolaboratif dalam kerangka PKPU ini punya potensi memailitkan Garuda—sebagaimana berkembang sebagai pendapat populer saat ini. Namun demikian, perlu juga menjadi perhatian bahwa PKPU ini bukan semata kesempatan memailitkan Garuda. Karena, dengan PKPU ini, malah potensi untuk berkolaborasi antara maskapai dan kreditor terbuka lebar. Sebab, semua pihak akan terikat oleh putusan pengadilan untuk bekerja keras mencari solusi terbaik bersama. Selain itu, dengan PKPU, proses negosiasinya dapat dimonitor secara terbuka, termasuk proses tambahan selama 270 hari penyelesaian sengketa jika perdamaian belum dicapai di 45 hari pertama di atas.
Tentu, proses PKPU ini adalah proses litigasi, yang tentunya memakan energi baik secara pikiran, fisik maupun finansial bagi siapapun yang bersengketa. Kesempatan restrukturisasi beban keuangan maskapai BUMN ini sebenarnya bisa dilakukan di luar proses litigasi atau di luar proses peradilan. Namun, proses non-litigasi ini menguras lebih banyak tenaga, ketimbang melewati proses peradilan.
Proses non-litigasi tentunya akan melibatkan berbagai lessor dan kreditur lainnya, dan ini tentu lebih melelahkan karena tidak adanya ruang negosiasi yang mengikat, plus dengan payung hukum di Indonesia. Dengan kata lain, PKPU akan menjadi peluang kebijakan (window of policy opportunity) untuk perihal negosiasi dengan lessor pesawat yang umumnya perusahaan yang berada di luar negeri. Jikapun harus tanpa litigasi, Garuda tentu tetap perlu bekerja keras untuk memastikan bahwa negosiasi restrukturisasi leasing dengan para para lessor berbasis asas kolaboratif.
Pada akhirnya, keterpurukan Garuda saat ini bukanlah momentum bagi para lessor untuk meninggalkan maskapai plat merah ini. Akan tetapi, ini momen ini adalah momentum untuk bekerja sama untuk bertanggung jawab atas masalah yang merundung Garuda saat ini sehingga nanti juga sama-sama menikmati kesuksesan maskapai ini ke depannya. Sebagian berpendapat bahwa memailitkan Garuda adalah solusi. Argumen ini berdasar umumnya pada bahwa Garuda beroperasi di sistem pasar di mana ketika ada perusahaan gagal, maka membiarkannya ‘mati’ adalah pilihan paling tepat.
Namun argumen tersebut kurang bijak adanya mengingat bahwa sebagai negara berkembang, kehadiran maskapai nasional adalah faktor penting dalam hubungan luar negerinya di berbagai bidang. Memailitkan Garuda sebagai ‘muka’ negara boleh jadi seperti mencoreng muka negara sendiri.
Sinyal konfidensi pasar
Oleh karenanya, kolaborasi antar berbagai pihak menjadi pilihan bijak bagi situasi Garuda saat ini. Setiap stakeholders punya tanggung jawab baik di masa untung maupun di masa buruk maskapai ini. Namun perlu menjadi perhatian bersama bahwa kolaborasi antar pihak ini akan sulit terwujud tanpa tindakan yang dapat menghidupkan kepercayaan diri atau konfidensi pasar (market confidence).
Momentum untuk Garuda berbenah, sebagaimana disebut di atas, perlu di-mukadimah-i komitmen nyata dari sisi maskapai tersebut—tentunya dengan bekerjasama dengan pemerintah. Sinyal ini perlu dimulai dengan menunjuk atau meramu tim ‘nakhoda’ yang memang dianggap kapabel dalam hal manajemen maskapai penerbangan.
Tanpa leadership team yang punya kaliber tinggi soal manajemen tersebut, segala upaya negosiasi restrukturisasi baik lewat proses litigasi atau tidak, tak akan membuahkan hasil. Selain itu, tim pemimpin eksekutif ini perlu diisi figur-figur yang dapat berkomunikasi efektif ke setidaknya dua kutub yang berbeda: di satu sisi, pemerintah dan politis; di sisi lain, kalangan bisnis.
Dua sektor tersebut jelas punya pengaruh besar terhadap proses bisnis Garuda. Namun, mereka punya cara pengambilan keputusan dan pertimbangan bisnis yang berbeda. Misalnya, boleh jadi kelompok pertama punya perspektif bahwa Garuda adalah simbol atau muka ‘sakral’ pembangunan Indonesia. Sementara, kelompok kedua melihat maskapai ini adalah pelaku pasar semata yang harus mengikuti aturan pasar.
Hadirnya tim eksekutif yang dapat diterima oleh dua sektor tersebut akan memberikan setidaknya dua sinyal penting. Pertama, Garuda akan tetap terbang dan menjadi medium promosi bahwa Indonesia adalah negara yang terus berbenah dan berjalan pembangunannya. Kedua, maskapai ini akan secara bertahap mengadopsi prinsip efisiensi dan daya saing yang menjadi elemen utama untuk dapat bertahan di pasar, khususnya penerbangan internasional.
Dengan demikian, terbuka lebar potensi untuk membangun kerja kolaboratif lebih efektif dan efisien ke depannya dengan berbagai pihak baik dari sisi pemerintah, maupun dari sisi swasta termasuk kreditor dan lessor pesawat yang dipakai Garuda. Kiranya, sudah saatnya menggemakan ide kewirausahaan negara atau state entrepreneurship dalam situasi yang dialami Garuda saat ini.
Sederhananya, Garuda sebagai simbol pembangunan Indonesia harus tetap menjadi milik dan kebanggaan negara ini. Namun, di sisi pengolahannya, nilai-nilai kewirausahaan perlu dipegang erat-erat, seperti efektivitas, efisiensi, penciptaan inisiatif, kerja kolaborasi, transparansi, serta senantiasa membangun kepercayaan atau trust kepada berbagai pihak.
Tanpa semangat kewirausahaan tersebut, bukan hanya pintu restrukturisasi yang tertutup bagi Garuda, tapi juga pintu masa depan bagi maskapai ini akan rapat terkunci. Dengan semangat kewirausahaan tersebut, diharapkan para kreditur dan lessor Garuda dapat kembali yakin akan masa depan maskapai ini. Bahwa masa depan kesuksesan Garuda masih berpotensi tercapai di masa depan dengan kolaborasi antar-pihak di atas—jika tidak dalam waktu dekat, tentu dalam jangka menengah atau jangka panjang.
(zik)