Hari Toleransi Internasional: Krisis Lingkungan dan Urgensi Penanaman Nilai-nilai Ekoteologi
Rabu, 17 November 2021 - 16:57 WIB
Ketiga, menjamin pemisahan kekuasaan. Keempat, jaminan bahwa Tuhan yang dicoret memungkinkan untuk menstabilkan mekanisme asimetris dengan memastikan fungsi arbitrase (Latour, 1991). Di sini, Latour menekankan bahwa jaminan pemisahan kekuasaan tidak pernah terjadi.
Paradigma Latour yang mengarahkan modernisme tidak pada masalah ‘periode waktu’ (an existing historical period) melainkan mengarah pada ‘suatu cara berpikir’ (the way of thingking), menemukan relevansinya. Perubahan iklim dan masifnya pembangunan yang merusak alam merupakan kasus yang diakibatkan oleh cara pandang yang keliru terhadap modernisasi.
Kembali pada pemikiran Nasr, ia dengan cukup detail memberikan penjelasan hubungan korelatif antara manusia dan alam semesta, yang menurutnya ketiga hal tersebut merupakan entitas kesatuan yang saling meliputi antara yang satu dan lainnya. Hubungan saling meliputi ini merupakan bentuk pengejawantahan dari realitas watak ketuhanan Yang Abosolut.
Maksud dari watak ketuhanan absolut adalah, manusia perlu dilihat dan diposisikan sebagai jembatan penghubung antara langit dan bumi, dan instrumen manifestasi serta kristalisasi pesan-pesan Allah di muka bumi (khalifatullah fi al-ardi) (Nasr, Knowledge and the Sacred, 1981).
Nasr sebenarnya hendak mengajak manusia untuk merenungkan bahwa hakikat dirinya adalah bagian integral dari alam.Alam merupakan cermin dari dirinya sendiri. Dalam konteks ini, pemikiran Nasr menemukan bentuk konkretnya, yaitu menempuh langkah untuk berdamai dan hidup harmoni dengan alam sekitar merupakan jalan yang arif dan bijak (Maftukhin, 2016).
Untuk memahami krisis lingkungan dan perubahan iklim, Nasr turut memberikanpenjelasan bahwa kerusakan alam tidak semerta-merta disebabkan oleh faktor alam itu sendiri. Ada faktor intervensi manusia dan arogansi sains yang menjadi penyebab degradasi lingkungan (Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis in Modern Man, 1968).
Faktor intervensi manusia antara lain adalah masifnya penebangan hutan secara liar, pembuangan sampah sembarangan, dan lain sebagainya. Sementara, arogansi sains bisa dilihat dari pola kerja sains yang memandang alam sebagai objek yang berada di bawah manusia, berhak untuk digunakan semau dan sekehendak manusia.
Dalam pluralisme sosial politik, terdapat tawaran alternasi untuk mengatasi perubahan iklim yang terus menerus terjadi. Tawaran tersebut oleh Jenkins disebut dengan advokasi sosial (Jenkins, 2006), yang berusaha untuk memengaruhi opini publik dalam mendorong partisipasi warga dan politik yang lebih luas. Seperti misalnya kelompok pembela lingkungan yang sering memfokuskan perhatian pada perusahaan-perusahaan yang dinilai paling bertanggungjawab atas rusaknya lingkungan yang sering terjadi.
Dari sebab itu, solusi untuk mengatasi problem kerusakan alam dan perubahan iklim yang terus membabi buta ini adalah merekontekstualisasikan kembali nilai-nilai agama dan kearifan moral, yang tujuan akhirnya adalah untuk merawat konservasi alam. Sains harus diintegrasikan dengan nilai-nilai keagamaan yang pada titik kulminasinya mengkristal pada akar keilahian.
Narasi-narasi yang secara massif dan kontinyu menyuarakan bahwa yang paling bertanggung jawab kerusakan iklim dan lingkungan yang telah merugikan generasi masa kini adalah mereka yang hidup pada masa sebelumnya, sekaligus bertanggung jawab pula pada generasi masa depan, adalah akibat dari hilangnya dimensi ekologi-esoterik.
Paradigma Latour yang mengarahkan modernisme tidak pada masalah ‘periode waktu’ (an existing historical period) melainkan mengarah pada ‘suatu cara berpikir’ (the way of thingking), menemukan relevansinya. Perubahan iklim dan masifnya pembangunan yang merusak alam merupakan kasus yang diakibatkan oleh cara pandang yang keliru terhadap modernisasi.
Kembali pada pemikiran Nasr, ia dengan cukup detail memberikan penjelasan hubungan korelatif antara manusia dan alam semesta, yang menurutnya ketiga hal tersebut merupakan entitas kesatuan yang saling meliputi antara yang satu dan lainnya. Hubungan saling meliputi ini merupakan bentuk pengejawantahan dari realitas watak ketuhanan Yang Abosolut.
Maksud dari watak ketuhanan absolut adalah, manusia perlu dilihat dan diposisikan sebagai jembatan penghubung antara langit dan bumi, dan instrumen manifestasi serta kristalisasi pesan-pesan Allah di muka bumi (khalifatullah fi al-ardi) (Nasr, Knowledge and the Sacred, 1981).
Nasr sebenarnya hendak mengajak manusia untuk merenungkan bahwa hakikat dirinya adalah bagian integral dari alam.Alam merupakan cermin dari dirinya sendiri. Dalam konteks ini, pemikiran Nasr menemukan bentuk konkretnya, yaitu menempuh langkah untuk berdamai dan hidup harmoni dengan alam sekitar merupakan jalan yang arif dan bijak (Maftukhin, 2016).
Untuk memahami krisis lingkungan dan perubahan iklim, Nasr turut memberikanpenjelasan bahwa kerusakan alam tidak semerta-merta disebabkan oleh faktor alam itu sendiri. Ada faktor intervensi manusia dan arogansi sains yang menjadi penyebab degradasi lingkungan (Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis in Modern Man, 1968).
Faktor intervensi manusia antara lain adalah masifnya penebangan hutan secara liar, pembuangan sampah sembarangan, dan lain sebagainya. Sementara, arogansi sains bisa dilihat dari pola kerja sains yang memandang alam sebagai objek yang berada di bawah manusia, berhak untuk digunakan semau dan sekehendak manusia.
Dalam pluralisme sosial politik, terdapat tawaran alternasi untuk mengatasi perubahan iklim yang terus menerus terjadi. Tawaran tersebut oleh Jenkins disebut dengan advokasi sosial (Jenkins, 2006), yang berusaha untuk memengaruhi opini publik dalam mendorong partisipasi warga dan politik yang lebih luas. Seperti misalnya kelompok pembela lingkungan yang sering memfokuskan perhatian pada perusahaan-perusahaan yang dinilai paling bertanggungjawab atas rusaknya lingkungan yang sering terjadi.
Dari sebab itu, solusi untuk mengatasi problem kerusakan alam dan perubahan iklim yang terus membabi buta ini adalah merekontekstualisasikan kembali nilai-nilai agama dan kearifan moral, yang tujuan akhirnya adalah untuk merawat konservasi alam. Sains harus diintegrasikan dengan nilai-nilai keagamaan yang pada titik kulminasinya mengkristal pada akar keilahian.
Narasi-narasi yang secara massif dan kontinyu menyuarakan bahwa yang paling bertanggung jawab kerusakan iklim dan lingkungan yang telah merugikan generasi masa kini adalah mereka yang hidup pada masa sebelumnya, sekaligus bertanggung jawab pula pada generasi masa depan, adalah akibat dari hilangnya dimensi ekologi-esoterik.
tulis komentar anda