Hari Toleransi Internasional: Krisis Lingkungan dan Urgensi Penanaman Nilai-nilai Ekoteologi
loading...
A
A
A
Gilang Ramadan
Center for Religious and Cross-Cultural Studies, UGM
BANJIR yang menerjang Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat sejak 21 Oktober lalu, sampai sekarang belum kunjung usai. Bermula dari hujan ekstrem yang mengguyur sekitar Sungai Kapuas dan Melawi, sehingga menyebabkan debit air sungai tersebut meluap.
Laporan terakhir menyebut bahwa, akumulasi warga yang terdampak banjir mencapai angka 35.807 kepala keluarga (KK) atau 124.497 jiwa. Hampir serupa dengan kasus di Sintang, intensitas hujan deras yang pada akhirnya mengakibatkan banjir dan tanah longsor turut terjadi di Kecamatan Jampang Tengah, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat dan mengakibatklan lima kampung yang berada di wilayah tersebut harus terisolir.
Kasus bencana alam di atas menunjukkan bahwa kasus kerusakan lingkungan dan perubahan iklim di Indonesia harus ditangani secara serius. Jika dilihat lebih jauh, perubahan iklim ini merupakan salah satu dampak dari era globalisasi yang tidak bisa dipisahkan dari persoalan ketimpangan.
Ketimpangan yang dimaksud di sini adalah berkaitan dengan tiga persoalan politis. Pertama, negara mana yang bertanggung jawab atas terjadinya perubahan iklim.
Kedua, negara mana yang harus menerima dampak perubahan iklim. Ketiga, negara mana yang pada akhirnya berpotensi akan menanggung dampak lebih besar untuk mengatasi dampak perubahan iklim.
Permasalahan semacam ini, bagi Clifford Geertz melahirkan kompleksitas sosial yang diakibatkan kemunduran petani saatsistem produksi hanya menekankan pada intensifikasi produksi komoditas tanpa adanya perbaikan teknologi dan kebijakan politik yang relevan (Geertz, 1963).
Tantangan era global turut membuka semua wacana keragaman yang selama ini tertutup. Keragaman sebagai sebuah keniscayaan pada satu sisi dan kebenaran sebagai sebuah keyakinan pada sisi lain seolah menjadi wacana yang sulit dipisahkan dalam kehidupan masyarakat modern yang melahirkan problematika tersendiri.
Keduanya seperti dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan dari nilainya. Ini tentu memiliki konsekuensi yang rumit; ketidakdewasaan dalam menerima perbedaan pasti melahirkan konflik, dimana setiap individu meyakini akan kebenaran yang dibawanya masing-masing. Keyakinan semacam ini merupakan kelanjutan logis dan pengakuan ontologis atas fakta tentang pluralisme sosial dan kultural.
Melihat kerumitan di atas, maka pemetaan masalah penting untuk dilakukan. Karena jika tidak, sulit menemukan sumber masalah yang kompleks serta beragam dan karenanya juga sulit menemukan solusi yang tepat.
Dalam menyelesaikan pelbagai permasalahan yang kompleks, bagaimanapun, kita harus membahas konsep kebaikan yang maknanya universal. Meski pada kenyatannya, secara prinsip kita telah bergeser ke wacana kebenaran.
Mungkin bisa kita katakan, nilai 'benar' dan 'salah' yang kemudian diinterpretasi tunggal ini yang menjadi akar masalah.Dalam kondisi tersebut, pluralisme menjadi 'formula' dalam proses kesatuan. Makna pluralisme di sini yang saya maksud adalah sosio-politik yang hampir sama dengan multikulturalisme (Scott Lash, 2002) yang dapat diartikan menerima keragaman (Kymlicka, 1995).
Indonesia sebagai bangsa yang pluralistik tergambar dalam semboyan 'Bhinneka Tunggal Ika' untuk melihat keragaman sosial-budaya masyarakat Indonesia. Sebagai negara dengan heterogenitas sosial-budaya yang beragam, Indonesia telah menjadi bangsa yang memiliki masyarakat dengan kehidupan multikultural dan memiliki warna tersendiri.
Meski begitu, masih banyak masyarakat Indonesia yang belum siap menerima keberagaman yang pada akhirnya berujung pada konflik yang disebabkan oleh perbedaan. Selain itu, kuatnya arus pengaruh politik kelompok mayoritas telah membuat pelbagai kebijakan hanya menguntungkan beberapa kelompok saja.
Dalam hal ini, toleransi dan isu pluralisme akan selalu menjadi milik kelompok mayoritas sebagai role model; hanya kelompok mayoritas yang memiliki keistimewaan (privilege). Lemahnya penegakan hukum dan sikap oportunistik kekuasaan dalam menghadapi permasalahan yang ada hanyalah 'pelengkap' dari pelbagai permasalahan diskriminasi yang ada (Beyer, 2013)
Selanjutnya, toleransi yang diperingati setahun sekali dalam Hari Toleransi Internasional telah ‘meringsek’ lebih luas lagi, yaitu menghargai alam dan masa depan manusia. Agenda merayakan dan mengingat momen toleransi ini tertuang dalam Deklarasi Prinsip Toleransi PBB dan aksi lanjutan setiap tahunannya.
Berkaitan dengan Hari Toleransi Internasional tahun ini yang mengusung tema "Climate as a 'Wicked' Problem" merupakan momentum merefleksikan dan mengampanyekan kesadaran saling menghargai dan menghormati satu sama lain baik sesama manusia ataupun alam, menumbuhkan empati baik antar individu atau kepada semesta. Gagasan harmonisasi alam maupun kelestarian tidak lain menjelaskan tentang kedudukan manusia sebagai subjek atas alam ini.
Keberadaan alam ini memang diperuntukkan memenuhi kebutuhan hidup manusia. Akan tetapi pemanfaatan yang berlebihan (eksploitasi) juga berdampak pada kerusakan alam, yang berimbas mengancam manusia itu sendiri.
Sebagai contoh dari dampak pemanfaatan yang berlebihan terhadap alam adalah meningkatnya polusi, pemanasan global, hujan asam, radiasi nuklir, ledakan sampah dan lain sebagainya. Kejadian alam semacam itu tentu perlu mendapatkan perhatian dan evaluasi dari masyarakat umum.
Perhatian dan evaluasi tersebut harus difokuskan pada level kosmik. Mengevaluasinya pada level kosmik berarti membawanya melampaui batas dari kepentingan kemanusiaan itu sendiri. Mempertautkannya dengan dinamika bumi, langit, lingkungan, dan semesta luas.
Sehingga, hasil akhir dari evaluasi tersebut dapat dijadikan sebagai bahan dasar atau pijakan dalam menilai dan melihat dampak dari tindakan manusia terhadap alam di sekitarnya. Sayangnya, perhatian terhadap lingkungan semacama ini kurang dikaji dan mendapat perhatian yang cukup serius.
Anna M. Gade menyebut bahwa, kejadian seperti di atas, diakibatkan oleh kurang memadainya landasan antropologis dari umat beragama secara khusus sdan seluruh manusia pada umumnya, untuk memandang alam, satwa liar, dan lain sebagainya sebagai satu kesatuan utuh dengan manusia itu sendiri (Gade, 2019).
Padahal dalam kajian ilmu interdisipliner, antara alam, satwa liar dan manusia sendiri adalah bagian terpisah dan memiliki aspek kajian tersindiri. Mudahnya, Anna hendak menawarkan dan memberitahu bahwa, manusia tidak harus memposisikan diri sebagai subjek yang berhak untuk memanfaatkan alam secara berlebihan yang berakibat pada penyalahgunaan alam untuk kepentingan pribadinya.
Sejalan dengan Anna M. Gade, Seyyed Hosein Nasr turut menawarkan rumusuan gagasannya perihal masalah evaluasi kosmik. Konsepsi kosmik Nasr mengarah pada pola yang dalam studi agama disebut dengan pendekatan teologis (Bahri, 2011).
Ia bertolak pada upaya mewujudkan relasi-konstruktif antara Tuhan, manusia, dan alam. Seperti yang disampaikan Nasr, krisis ekologi yang masif terjadi merupakan akibat langsung dari ambisiusnya manusia modern dalam memperlakukan dan mengeksploitasi alam.
Atau dalam kata lain, penyebab utama perubahan iklim ini adalah akibat dari gaya hidup saintisme manusia yang tidak menganggap ilmu modern sebagai salah satu cara untuk mengenal alam, melainkan dipandang sebagai filsafat yang secara keseluruhan mengurangi semua realitas ke dalam bagian fisik dan tidak menerima adanya pandangan-pandangan dunia yang non-saintis.(Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis in Modern Man, 1968).
Sejalan dengan pemikiran Nasr, Bruno Latour melihat bahwa cara pandang manusia modern tidak bisa diungkapkan sebagai suatu periode antar waktu untuk mendeskripsikan realitas, melainkan merujuk pada cara berfikir. Dalam bukunya We Have Never Been Modern, Latour membagi empat jaminan yang gagal dipenuhi oleh konstitusi modern.
Pertama, membuat jaminan perbedaan transendensi antara alam dan struktur masyarakat. Kedua, menjamin dimensi imanen kemasyarakatan dengan membuat warga negara sepenuhnya bebas untuk membangun kembali kebebasannya secara artificial.
Ketiga, menjamin pemisahan kekuasaan. Keempat, jaminan bahwa Tuhan yang dicoret memungkinkan untuk menstabilkan mekanisme asimetris dengan memastikan fungsi arbitrase (Latour, 1991). Di sini, Latour menekankan bahwa jaminan pemisahan kekuasaan tidak pernah terjadi.
Paradigma Latour yang mengarahkan modernisme tidak pada masalah ‘periode waktu’ (an existing historical period) melainkan mengarah pada ‘suatu cara berpikir’ (the way of thingking), menemukan relevansinya. Perubahan iklim dan masifnya pembangunan yang merusak alam merupakan kasus yang diakibatkan oleh cara pandang yang keliru terhadap modernisasi.
Kembali pada pemikiran Nasr, ia dengan cukup detail memberikan penjelasan hubungan korelatif antara manusia dan alam semesta, yang menurutnya ketiga hal tersebut merupakan entitas kesatuan yang saling meliputi antara yang satu dan lainnya. Hubungan saling meliputi ini merupakan bentuk pengejawantahan dari realitas watak ketuhanan Yang Abosolut.
Maksud dari watak ketuhanan absolut adalah, manusia perlu dilihat dan diposisikan sebagai jembatan penghubung antara langit dan bumi, dan instrumen manifestasi serta kristalisasi pesan-pesan Allah di muka bumi (khalifatullah fi al-ardi) (Nasr, Knowledge and the Sacred, 1981).
Nasr sebenarnya hendak mengajak manusia untuk merenungkan bahwa hakikat dirinya adalah bagian integral dari alam.Alam merupakan cermin dari dirinya sendiri. Dalam konteks ini, pemikiran Nasr menemukan bentuk konkretnya, yaitu menempuh langkah untuk berdamai dan hidup harmoni dengan alam sekitar merupakan jalan yang arif dan bijak (Maftukhin, 2016).
Untuk memahami krisis lingkungan dan perubahan iklim, Nasr turut memberikanpenjelasan bahwa kerusakan alam tidak semerta-merta disebabkan oleh faktor alam itu sendiri. Ada faktor intervensi manusia dan arogansi sains yang menjadi penyebab degradasi lingkungan (Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis in Modern Man, 1968).
Faktor intervensi manusia antara lain adalah masifnya penebangan hutan secara liar, pembuangan sampah sembarangan, dan lain sebagainya. Sementara, arogansi sains bisa dilihat dari pola kerja sains yang memandang alam sebagai objek yang berada di bawah manusia, berhak untuk digunakan semau dan sekehendak manusia.
Dalam pluralisme sosial politik, terdapat tawaran alternasi untuk mengatasi perubahan iklim yang terus menerus terjadi. Tawaran tersebut oleh Jenkins disebut dengan advokasi sosial (Jenkins, 2006), yang berusaha untuk memengaruhi opini publik dalam mendorong partisipasi warga dan politik yang lebih luas. Seperti misalnya kelompok pembela lingkungan yang sering memfokuskan perhatian pada perusahaan-perusahaan yang dinilai paling bertanggungjawab atas rusaknya lingkungan yang sering terjadi.
Dari sebab itu, solusi untuk mengatasi problem kerusakan alam dan perubahan iklim yang terus membabi buta ini adalah merekontekstualisasikan kembali nilai-nilai agama dan kearifan moral, yang tujuan akhirnya adalah untuk merawat konservasi alam. Sains harus diintegrasikan dengan nilai-nilai keagamaan yang pada titik kulminasinya mengkristal pada akar keilahian.
Narasi-narasi yang secara massif dan kontinyu menyuarakan bahwa yang paling bertanggung jawab kerusakan iklim dan lingkungan yang telah merugikan generasi masa kini adalah mereka yang hidup pada masa sebelumnya, sekaligus bertanggung jawab pula pada generasi masa depan, adalah akibat dari hilangnya dimensi ekologi-esoterik.
Karenanya, kesadaran ekologi yang bersifat esoterik ini perlu untuk terus didesiminasikan kedepannya, dengan menggunakan advokasi sosial yang berorientasi untuk menjaga kondusifitas iklim yang lebih baik.
Center for Religious and Cross-Cultural Studies, UGM
BANJIR yang menerjang Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat sejak 21 Oktober lalu, sampai sekarang belum kunjung usai. Bermula dari hujan ekstrem yang mengguyur sekitar Sungai Kapuas dan Melawi, sehingga menyebabkan debit air sungai tersebut meluap.
Laporan terakhir menyebut bahwa, akumulasi warga yang terdampak banjir mencapai angka 35.807 kepala keluarga (KK) atau 124.497 jiwa. Hampir serupa dengan kasus di Sintang, intensitas hujan deras yang pada akhirnya mengakibatkan banjir dan tanah longsor turut terjadi di Kecamatan Jampang Tengah, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat dan mengakibatklan lima kampung yang berada di wilayah tersebut harus terisolir.
Kasus bencana alam di atas menunjukkan bahwa kasus kerusakan lingkungan dan perubahan iklim di Indonesia harus ditangani secara serius. Jika dilihat lebih jauh, perubahan iklim ini merupakan salah satu dampak dari era globalisasi yang tidak bisa dipisahkan dari persoalan ketimpangan.
Ketimpangan yang dimaksud di sini adalah berkaitan dengan tiga persoalan politis. Pertama, negara mana yang bertanggung jawab atas terjadinya perubahan iklim.
Kedua, negara mana yang harus menerima dampak perubahan iklim. Ketiga, negara mana yang pada akhirnya berpotensi akan menanggung dampak lebih besar untuk mengatasi dampak perubahan iklim.
Permasalahan semacam ini, bagi Clifford Geertz melahirkan kompleksitas sosial yang diakibatkan kemunduran petani saatsistem produksi hanya menekankan pada intensifikasi produksi komoditas tanpa adanya perbaikan teknologi dan kebijakan politik yang relevan (Geertz, 1963).
Tantangan era global turut membuka semua wacana keragaman yang selama ini tertutup. Keragaman sebagai sebuah keniscayaan pada satu sisi dan kebenaran sebagai sebuah keyakinan pada sisi lain seolah menjadi wacana yang sulit dipisahkan dalam kehidupan masyarakat modern yang melahirkan problematika tersendiri.
Keduanya seperti dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan dari nilainya. Ini tentu memiliki konsekuensi yang rumit; ketidakdewasaan dalam menerima perbedaan pasti melahirkan konflik, dimana setiap individu meyakini akan kebenaran yang dibawanya masing-masing. Keyakinan semacam ini merupakan kelanjutan logis dan pengakuan ontologis atas fakta tentang pluralisme sosial dan kultural.
Melihat kerumitan di atas, maka pemetaan masalah penting untuk dilakukan. Karena jika tidak, sulit menemukan sumber masalah yang kompleks serta beragam dan karenanya juga sulit menemukan solusi yang tepat.
Dalam menyelesaikan pelbagai permasalahan yang kompleks, bagaimanapun, kita harus membahas konsep kebaikan yang maknanya universal. Meski pada kenyatannya, secara prinsip kita telah bergeser ke wacana kebenaran.
Mungkin bisa kita katakan, nilai 'benar' dan 'salah' yang kemudian diinterpretasi tunggal ini yang menjadi akar masalah.Dalam kondisi tersebut, pluralisme menjadi 'formula' dalam proses kesatuan. Makna pluralisme di sini yang saya maksud adalah sosio-politik yang hampir sama dengan multikulturalisme (Scott Lash, 2002) yang dapat diartikan menerima keragaman (Kymlicka, 1995).
Indonesia sebagai bangsa yang pluralistik tergambar dalam semboyan 'Bhinneka Tunggal Ika' untuk melihat keragaman sosial-budaya masyarakat Indonesia. Sebagai negara dengan heterogenitas sosial-budaya yang beragam, Indonesia telah menjadi bangsa yang memiliki masyarakat dengan kehidupan multikultural dan memiliki warna tersendiri.
Meski begitu, masih banyak masyarakat Indonesia yang belum siap menerima keberagaman yang pada akhirnya berujung pada konflik yang disebabkan oleh perbedaan. Selain itu, kuatnya arus pengaruh politik kelompok mayoritas telah membuat pelbagai kebijakan hanya menguntungkan beberapa kelompok saja.
Dalam hal ini, toleransi dan isu pluralisme akan selalu menjadi milik kelompok mayoritas sebagai role model; hanya kelompok mayoritas yang memiliki keistimewaan (privilege). Lemahnya penegakan hukum dan sikap oportunistik kekuasaan dalam menghadapi permasalahan yang ada hanyalah 'pelengkap' dari pelbagai permasalahan diskriminasi yang ada (Beyer, 2013)
Selanjutnya, toleransi yang diperingati setahun sekali dalam Hari Toleransi Internasional telah ‘meringsek’ lebih luas lagi, yaitu menghargai alam dan masa depan manusia. Agenda merayakan dan mengingat momen toleransi ini tertuang dalam Deklarasi Prinsip Toleransi PBB dan aksi lanjutan setiap tahunannya.
Berkaitan dengan Hari Toleransi Internasional tahun ini yang mengusung tema "Climate as a 'Wicked' Problem" merupakan momentum merefleksikan dan mengampanyekan kesadaran saling menghargai dan menghormati satu sama lain baik sesama manusia ataupun alam, menumbuhkan empati baik antar individu atau kepada semesta. Gagasan harmonisasi alam maupun kelestarian tidak lain menjelaskan tentang kedudukan manusia sebagai subjek atas alam ini.
Keberadaan alam ini memang diperuntukkan memenuhi kebutuhan hidup manusia. Akan tetapi pemanfaatan yang berlebihan (eksploitasi) juga berdampak pada kerusakan alam, yang berimbas mengancam manusia itu sendiri.
Sebagai contoh dari dampak pemanfaatan yang berlebihan terhadap alam adalah meningkatnya polusi, pemanasan global, hujan asam, radiasi nuklir, ledakan sampah dan lain sebagainya. Kejadian alam semacam itu tentu perlu mendapatkan perhatian dan evaluasi dari masyarakat umum.
Perhatian dan evaluasi tersebut harus difokuskan pada level kosmik. Mengevaluasinya pada level kosmik berarti membawanya melampaui batas dari kepentingan kemanusiaan itu sendiri. Mempertautkannya dengan dinamika bumi, langit, lingkungan, dan semesta luas.
Sehingga, hasil akhir dari evaluasi tersebut dapat dijadikan sebagai bahan dasar atau pijakan dalam menilai dan melihat dampak dari tindakan manusia terhadap alam di sekitarnya. Sayangnya, perhatian terhadap lingkungan semacama ini kurang dikaji dan mendapat perhatian yang cukup serius.
Anna M. Gade menyebut bahwa, kejadian seperti di atas, diakibatkan oleh kurang memadainya landasan antropologis dari umat beragama secara khusus sdan seluruh manusia pada umumnya, untuk memandang alam, satwa liar, dan lain sebagainya sebagai satu kesatuan utuh dengan manusia itu sendiri (Gade, 2019).
Padahal dalam kajian ilmu interdisipliner, antara alam, satwa liar dan manusia sendiri adalah bagian terpisah dan memiliki aspek kajian tersindiri. Mudahnya, Anna hendak menawarkan dan memberitahu bahwa, manusia tidak harus memposisikan diri sebagai subjek yang berhak untuk memanfaatkan alam secara berlebihan yang berakibat pada penyalahgunaan alam untuk kepentingan pribadinya.
Sejalan dengan Anna M. Gade, Seyyed Hosein Nasr turut menawarkan rumusuan gagasannya perihal masalah evaluasi kosmik. Konsepsi kosmik Nasr mengarah pada pola yang dalam studi agama disebut dengan pendekatan teologis (Bahri, 2011).
Ia bertolak pada upaya mewujudkan relasi-konstruktif antara Tuhan, manusia, dan alam. Seperti yang disampaikan Nasr, krisis ekologi yang masif terjadi merupakan akibat langsung dari ambisiusnya manusia modern dalam memperlakukan dan mengeksploitasi alam.
Atau dalam kata lain, penyebab utama perubahan iklim ini adalah akibat dari gaya hidup saintisme manusia yang tidak menganggap ilmu modern sebagai salah satu cara untuk mengenal alam, melainkan dipandang sebagai filsafat yang secara keseluruhan mengurangi semua realitas ke dalam bagian fisik dan tidak menerima adanya pandangan-pandangan dunia yang non-saintis.(Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis in Modern Man, 1968).
Sejalan dengan pemikiran Nasr, Bruno Latour melihat bahwa cara pandang manusia modern tidak bisa diungkapkan sebagai suatu periode antar waktu untuk mendeskripsikan realitas, melainkan merujuk pada cara berfikir. Dalam bukunya We Have Never Been Modern, Latour membagi empat jaminan yang gagal dipenuhi oleh konstitusi modern.
Pertama, membuat jaminan perbedaan transendensi antara alam dan struktur masyarakat. Kedua, menjamin dimensi imanen kemasyarakatan dengan membuat warga negara sepenuhnya bebas untuk membangun kembali kebebasannya secara artificial.
Ketiga, menjamin pemisahan kekuasaan. Keempat, jaminan bahwa Tuhan yang dicoret memungkinkan untuk menstabilkan mekanisme asimetris dengan memastikan fungsi arbitrase (Latour, 1991). Di sini, Latour menekankan bahwa jaminan pemisahan kekuasaan tidak pernah terjadi.
Paradigma Latour yang mengarahkan modernisme tidak pada masalah ‘periode waktu’ (an existing historical period) melainkan mengarah pada ‘suatu cara berpikir’ (the way of thingking), menemukan relevansinya. Perubahan iklim dan masifnya pembangunan yang merusak alam merupakan kasus yang diakibatkan oleh cara pandang yang keliru terhadap modernisasi.
Kembali pada pemikiran Nasr, ia dengan cukup detail memberikan penjelasan hubungan korelatif antara manusia dan alam semesta, yang menurutnya ketiga hal tersebut merupakan entitas kesatuan yang saling meliputi antara yang satu dan lainnya. Hubungan saling meliputi ini merupakan bentuk pengejawantahan dari realitas watak ketuhanan Yang Abosolut.
Maksud dari watak ketuhanan absolut adalah, manusia perlu dilihat dan diposisikan sebagai jembatan penghubung antara langit dan bumi, dan instrumen manifestasi serta kristalisasi pesan-pesan Allah di muka bumi (khalifatullah fi al-ardi) (Nasr, Knowledge and the Sacred, 1981).
Nasr sebenarnya hendak mengajak manusia untuk merenungkan bahwa hakikat dirinya adalah bagian integral dari alam.Alam merupakan cermin dari dirinya sendiri. Dalam konteks ini, pemikiran Nasr menemukan bentuk konkretnya, yaitu menempuh langkah untuk berdamai dan hidup harmoni dengan alam sekitar merupakan jalan yang arif dan bijak (Maftukhin, 2016).
Untuk memahami krisis lingkungan dan perubahan iklim, Nasr turut memberikanpenjelasan bahwa kerusakan alam tidak semerta-merta disebabkan oleh faktor alam itu sendiri. Ada faktor intervensi manusia dan arogansi sains yang menjadi penyebab degradasi lingkungan (Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis in Modern Man, 1968).
Faktor intervensi manusia antara lain adalah masifnya penebangan hutan secara liar, pembuangan sampah sembarangan, dan lain sebagainya. Sementara, arogansi sains bisa dilihat dari pola kerja sains yang memandang alam sebagai objek yang berada di bawah manusia, berhak untuk digunakan semau dan sekehendak manusia.
Dalam pluralisme sosial politik, terdapat tawaran alternasi untuk mengatasi perubahan iklim yang terus menerus terjadi. Tawaran tersebut oleh Jenkins disebut dengan advokasi sosial (Jenkins, 2006), yang berusaha untuk memengaruhi opini publik dalam mendorong partisipasi warga dan politik yang lebih luas. Seperti misalnya kelompok pembela lingkungan yang sering memfokuskan perhatian pada perusahaan-perusahaan yang dinilai paling bertanggungjawab atas rusaknya lingkungan yang sering terjadi.
Dari sebab itu, solusi untuk mengatasi problem kerusakan alam dan perubahan iklim yang terus membabi buta ini adalah merekontekstualisasikan kembali nilai-nilai agama dan kearifan moral, yang tujuan akhirnya adalah untuk merawat konservasi alam. Sains harus diintegrasikan dengan nilai-nilai keagamaan yang pada titik kulminasinya mengkristal pada akar keilahian.
Narasi-narasi yang secara massif dan kontinyu menyuarakan bahwa yang paling bertanggung jawab kerusakan iklim dan lingkungan yang telah merugikan generasi masa kini adalah mereka yang hidup pada masa sebelumnya, sekaligus bertanggung jawab pula pada generasi masa depan, adalah akibat dari hilangnya dimensi ekologi-esoterik.
Karenanya, kesadaran ekologi yang bersifat esoterik ini perlu untuk terus didesiminasikan kedepannya, dengan menggunakan advokasi sosial yang berorientasi untuk menjaga kondusifitas iklim yang lebih baik.
(poe)